Ficool

Chapter 88 - Chapter 88 – Api Dendam dan Darah

Chapter 88 – Api Dendam dan Darah

Malam itu dipenuhi cahaya mantra yang bersilangan, berjatuhan, dan meledak di udara seperti kembang api dari neraka. Suara dentuman dari tabrakan harta spiritual mengguncang tanah dan langit, setiap benturan meninggalkan bekas kehancuran. Bau darah menyengat begitu kuat hingga membuat dada terasa sesak, bercampur dengan hawa niat membunuh yang semakin menebal. Jeritan manusia dan tawa gila para pembunuh bergema di antara cahaya yang membakar langit, membuat pertempuran ini terasa seperti neraka yang turun ke dunia.

Di tengah hiruk pikuk itu, sosok seorang wanita menerjang siapa pun yang ada di hadapannya. Rambutnya yang biasanya tertata kini berantakan, matanya basah oleh air mata, namun tatapannya setajam pedang yang siap merobek apa saja. Dialah Mei Yuna, murid Sekte 3 Air Surgawi yang terkenal ceria dan penuh senyum. Kini, yang tersisa darinya hanyalah bayangan seorang wanita yang terbakar dendam.

"Kalian, matilah!" suaranya pelan, namun setiap kata terasa tajam, menusuk langsung ke hati orang-orang yang mendengarnya. Mereka yang berani menghadang hanya sempat berteriak sebentar sebelum tubuhnya roboh, ditebas pedang atau terkoyak oleh serangan mantranya.

Teman-temannya menatap terkejut. Wanita yang selama ini mereka kenal lembut dan ramah, kini berubah menjadi iblis haus darah yang membantai musuh tanpa ampun.

"Ada apa dengan Mei Yuna?!" salah satu dari mereka berseru, nadanya panik bercampur bingung. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Mei Yuna sendiri melihat dengan mata kepala kematian Chen Dong, orang yang paling ia cintai.

Bahkan para tetua Sekte 3 Air Surgawi yang bertarung sengit melawan tetua sekte lain sempat menoleh. Tatapan mereka muram, menyadari ada sesuatu yang salah pada murid mereka, tapi mereka tidak bisa meninggalkan pertarungan mereka sendiri.

"Di mana kau!" teriak Mei Yuna dengan suara parau. Tangannya menggenggam pedang yang sudah dilumuri darah, menetes dari ujungnya ke tanah. Tubuhnya kecil, tapi aura membunuh yang memancar dari dirinya membuat siapa pun enggan mendekat.

Meskipun tingkat kultivasinya hanya berada di Meridian Awakening puncak, tekadnya tidak tergoyahkan. Dia melangkah maju tanpa gentar, meski setiap langkahnya melewati lautan darah.

Seorang teman dekatnya, gadis dengan wajah cemas, menghampiri meski harus mengibaskan beberapa serangan musuh di sekitarnya.

"Mei Yuna, ada apa dengan dirimu?" suaranya lembut, bergetar namun tulus. Ia tahu ada sesuatu yang menghancurkan sahabatnya dari dalam.

Mei Yuna menoleh, tatapannya basah namun penuh kepedihan. Air matanya menetes melewati pipi yang berlumuran debu dan bercak darah.

"Chen Dong... Chen Dong mati..." suaranya lirih, parau, penuh kesedihan yang meremukkan hati.

"Apa?! Chen Dong... sudah mati?!" teman dekatnya terkejut, matanya membesar tak percaya. Akhirnya ia memahami sebab perubahan mendadak Mei Yuna, sebab di balik kekejamannya sekarang hanyalah luka yang tidak tertahankan.

Mei Yuna menggertakkan giginya, wajahnya berubah murka. "Aku harus mencari pembunuhnya, apapun yang terjadi!!" teriaknya lantang. Aura membunuhnya pecah seperti badai, membuat murid-murid sekte lain yang berada di dekatnya segera mundur ketakutan.

Dengan pedang terhunus, dia terbang ke langit, menembus kerumunan. Tidak ada satu pun yang berani menghalangi jalannya. Mereka yang mencoba, hanya berakhir dengan kematian cepat.

Sementara itu, di sisi lain medan perang, Qin Zibo berdiri di atas tumpukan mayat. Tubuhnya basah oleh darah yang bukan miliknya, wajahnya dipenuhi kegilaan.

"Mati! Mati! Mati!" teriaknya sambil menebas lagi seorang murid yang mencoba kabur. Tawa gilanya bergema di udara. "Hahaha! Ini sangat menyenangkan!" Pedangnya berkilau keemasan, setiap ayunannya merebut harta dan nyawa sekaligus.

Jauh di tempat lain, Ruji Dei berlari di udara, tubuhnya lelah namun tekadnya tetap membara. "Akhirnya... aku akan sampai," gumamnya. Matanya berkilat saat melihat cahaya terang dari tabrakan mantra semakin dekat.

Begitu ia tiba, pandangannya segera mencari sektenya. "Guru! Senior! Di mana kalian?!" teriaknya dengan suara lantang. Ia melihat sekeliling dengan cemas, sebelum akhirnya menemukan sektenya yang sedang bertarung mati-matian.

Namun langkahnya terhenti saat seorang murid dari sekte lain menghadangnya. "Kau tak akan lewat, bocah!" seru lawannya dengan tatapan dingin.

Mata Ruji Dei menyipit, nafasnya teratur meski tubuhnya gemetar karena tekanan medan perang.

"Minggir kau bajingan!!"

Dengan satu mantra, akar-akar muncul dari tanah, berputar lalu membentuk pedang. Pedang itu melesat deras ke arah lawannya. Musuh itu terkejut, segera mengeluarkan mantranya, membuat rumput liar tumbuh menjulang dan menghantam pedang akar Ruji Dei.

Ledakan besar terjadi, tanah terbelah, udara berguncang, dan puing beterbangan. Namun Ruji Dei tidak berhenti. Ia menggertakkan gigi dan mengangkat tangannya lagi.

"Akar Pedang!"

Puluhan pedang akar kembali muncul, lebih padat dan kuat. Mereka melesat menembus pertahanan lawan. Pedang musuhnya runtuh, mantranya hancur, dan salah satu pedang Ruji Dei menembus tubuhnya.

"Ughhh!" musuh itu menjerit, tubuhnya terpelanting dan jatuh menghantam tanah. Darah muncrat memenuhi udara sebelum tubuhnya tergeletak tak bernyawa.

Ruji Dei menatap dengan dingin. "Lemah," gumamnya lirih, lalu segera melesat menuju sektenya.

Sesampainya di dekat kelompoknya, Ruji Dei segera bergabung. Meski kultivasinya terhitung rendah dibanding para seniornya, ia tidak peduli.

"Senior! Aku akan membantu!" suaranya penuh keberanian, tanpa gentar sedikitpun.

Seorang seniornya menoleh, terkejut sekaligus lega. "Ruji Dei?! Kau berhasil sampai!"

Ruji Dei mengangguk mantap. "Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membantu kalian, apapun yang terjadi!"

Seniornya mengangguk cepat, tak ada waktu untuk berbicara lebih panjang. "Baik! Ayo bertarung!"

Bersama mereka, Ruji Dei kembali menerjang musuh. Pedang, akar, darah, dan jeritan kembali memenuhi langit malam.

Sementara itu, dari kejauhan, Lawzi Zienxi masih berdiri di atas puncak bukit yang gelap. Tatapannya tajam menembus hiruk-pikuk pertempuran. Di tengah lautan cahaya mantra yang menyilaukan, ia menangkap sosok yang tidak asing baginya.

"Ruji Dei?!" gumamnya pelan, mata sipitnya berkilat. Tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah tak percaya pada apa yang baru ia lihat. Anak yang pernah ia selamatkan, yang ia anggap terlalu lemah untuk ikut dalam pertarungan besar seperti ini, ternyata benar-benar berdiri di garis depan.

"Anak itu benar-benar memilih ikut berperang..." desis Zienxi dengan suara dalam, nyaris seperti gumaman angin malam. Rambut panjangnya yang terurai berkibar pelan, jubah hitamnya bergetar ringan tersapu tekanan dari gelombang energi yang meledak-ledak di medan perang.

Area sekitar bukit tempat Zienxi berdiri sudah beberapa kali terkena dampak pertempuran batu-batu retak, pohon tumbang, dan tanah menganga akibat ledakan mantra. Namun Zienxi tetap tegak, tenang, seolah dirinya bukan bagian dari kegilaan di bawah sana. Matanya kemudian bergeser, dari medan perang menuju Danau Langit Bening. Danau itu berkilau indah di bawah sinar bulan, seolah dunia tidak sedang dilanda pertumpahan darah.

Di tengah danau tersebut, samar-samar terlihat Sumur Akar Langit, sebuah sumur tua yang dalamnya tak terukur. Banyak orang hanya tahu air yang diambil dari sumur itu memiliki kekuatan misterius, namun hampir tak seorang pun mengetahui apa sebenarnya yang terkandung di dalamnya. Dan kini, semua sekte yang bertarung, sadar atau tidak, tengah dipandu oleh ambisi untuk merebut rahasia sumur itu.

Suasana semakin memanas ketika salah seorang kultivator dari Sekte Kabut Awan melesat cepat, mencoba menembus kerumunan menuju sumur. Namun langkahnya segera terhenti.

"Kau jangan coba-coba mendekat ke sumur itu!!" teriak seorang murid dari Sekte Aliran Kabut Bumi, tubuhnya berkilau cahaya abu-abu dari mantra pertahanan yang dia bangun.

"Hah, jadi kau ingin berbuat licik, ya?" sahut murid dari Sekte Akar Hitam dengan tawa dingin, matanya menyipit penuh kecurigaan.

Seorang murid lain, dari Sekte Rumput Lima Serat, menatap geli sambil tersenyum miring. "Aduh... caramu ini terlalu amatir. Kalian pikir bisa menguasai sumur itu sendirian?"

Ketegangan semakin menebal. Dari arah lain, seorang murid Sekte 3 Air Surgawi tiba-tiba melangkah maju dengan ekspresi dingin. "Cukup banyak bicara. Kalau begitu... ku bunuh saja kalian semua!"

Tanpa peringatan lebih lanjut, dia mengangkat tangannya, mengerahkan spiritual power, dan seketika semburan air berbentuk bilah melesat ke segala arah. Ledakan kecil terjadi, memaksa semua orang di sekitarnya untuk bereaksi.

"Dasar gila!" maki murid dari Sekte Kabut Awan, langsung membalas dengan mantra kabut yang menyelimuti udara.

Tak lama, semua sekte di sekitar danau pun ikut terseret dalam pertempuran sengit. Suara dentuman mantra, jeritan, dan ledakan terdengar bersahut-sahutan, membuat area di sekitar Danau Langit Bening berguncang hebat.

Kultivator Sekte Kabut Awan kini berhadapan langsung dengan kultivator dari Sekte Aliran Kabut Bumi. Tatapan mereka saling mengunci, penuh permusuhan.

"Dasar tidak berguna!" teriak murid Kabut Awan sambil melepaskan jurus kabut tajam yang menyambar cepat.

"Kau tidak akan bisa membunuhku, dasar lemah!" balas murid Kabut Bumi dengan suara berat. Ia membalas serangan itu, tanah di sekitarnya retak ketika energi bumi mengalir keluar, membentuk perisai keras yang melindungi tubuhnya.

Sementara itu, murid Sekte Rumput Lima Serat telah bertarung sengit dengan murid Sekte Akar Hitam. Rumput-rumput hijau menjelma cambuk tajam yang berputar di udara, sementara akar-akar hitam pekat berusaha menjerat dan menghancurkan musuhnya. Keduanya sama-sama mengeluarkan jurus pamungkas, menyebabkan udara di sekitar mereka bergetar keras.

Di sisi lain, murid Sekte 3 Air Surgawi berdiri sendirian, menghadapi dua lawan sekaligus dari Sekte Kabut Awan dan Sekte Aliran Kabut Bumi. Namun bukannya takut, ia justru menyeringai lebar.

"Bagus, majulah kalian berdua. Akan kubunuh kalian sekaligus!" Tatapannya tajam, aura haus darah memancar dari tubuhnya.

Mereka bertiga langsung saling bertarung. Suara mantra yang bertabrakan memekakkan telinga, cahaya dari tabrakan spiritual power menyilaukan mata. Masing-masing dari mereka adalah murid senior, dengan kultivasi tinggi, sehingga setiap benturan hampir setara dengan pertempuran para tetua muda.

"Lemah! Lemah! Lemah!" teriak murid Sekte 3 Air Surgawi dengan tawa gila, tombak air di tangannya melesat ke arah dua musuhnya.

"Kabut Membelah Bumi!" teriak murid Sekte Aliran Kabut Bumi, menyalurkan seluruh energi spiritualnya.

"Pedang Kabut Perak!" seru murid Sekte Kabut Awan, pedang kabut bercahaya perak muncul dan menebas dengan kecepatan luar biasa.

Tatapan murid Sekte 3 Air Surgawi menyempit, lalu ia menggerakkan tangannya dengan cepat. Air yang mengelilinginya berputar deras, membentuk sebuah tombak raksasa. "Tombak Air Surgawi!"

Ketiga mantra itu bertabrakan keras di udara. Ledakan besar terjadi, gelombang kejut menghantam area sekitar hingga membuat banyak kultivator lain terpental. Tanah retak, pohon-pohon hancur, dan air danau beriak liar.

Ketiganya sama-sama batuk darah, wajah mereka pucat, namun tidak ada yang mundur. Mereka kembali mengerahkan seluruh tenaga, sekali lagi menerjang satu sama lain.

More Chapters