"Hahahaha, dasar kalian orang lemah!! Kalian semua bukan tandinganku, dasar bodoh!!" suara keras dari tetua Sekte Akar Hitam bergema sambil menerjang semua musuh di depannya.
"Rekan kultivator, jangan banyak bicara, buktikan saja!!" seru tetua dari Sekte Aliran Kabut Bumi di kejauhan yang juga menyerang.
"Baik!! Akan kutunjukkan kekuatanku, orang tua!!" tetua Sekte Akar Hitam langsung melepaskan seluruh kekuatan Core Essence Formation tahap awalnya.
"Menarik, aku akan ikut serta!" tetua lain dari Sekte Kabut Awan tertawa keras, hendak terbang ke arah mereka.
Namun sebelum dia sempat maju, tiba-tiba langkahnya terhenti karena dihalangi oleh tetua dari Sekte 3 Air Surgawi. "Lawanmu adalah aku!!" ucapnya sambil menatap penuh ejekan.
"Dasar Tang Bo tua bangka!! Akan kubunuh kau!!" teriak tetua Pong Dui dengan nada membara.
Mereka berdua pun langsung terlibat pertarungan sengit, melepaskan aura kultivator Spirit Root puncaknya. Murid-murid di sekitar medan perang sempat melirik ke arah pertempuran para tetua yang membuat tanah bergetar dan udara berdenyut karena energi spiritual.
Murid dari masing-masing sekte berseru lantang, penuh semangat membara. Mereka tidak memedulikan darah yang terciprat di wajah atau tubuh, niat membunuh yang kuat terus mendorong mereka bertarung tanpa mundur selangkah pun.
"Huh!! Kau ini sangat lemah! Murid Sekte Rumput Lima Serat tidak ada apa-apanya!" seru salah satu murid Sekte 3 Air Surgawi setelah memenggal lawannya.
Salah satu tetua Sekte Rumput Lima Serat yang mendengar hinaan itu pun marah besar dan langsung melesat menyerang. "Kau berani berbicara seperti itu, junior?! Nyawamu akan jadi taruhannya!!" matanya memancarkan kekejaman, tatapannya setajam pisau yang siap merobek.
Murid itu mencoba melawan. Meskipun tingkat kultivasinya rendah, dia tidak akan menyerah begitu saja. "Kemarilah, orang tua!! Aku tidak takut padamu!!"
Temannya yang melihat situasi itu ingin membantu, namun mereka segera dihadang oleh kultivator dari sekte lain. Pertarungan sengit pun pecah di antara mereka, suara benturan senjata dan ledakan mantra bercampur menjadi simfoni kekacauan.
Lawzi Zienxi yang melihat semua ini dari jauh hanya bisa mengerutkan kening. Pemandangan di depannya begitu mengerikan dan penuh kekejaman, darah mengalir seperti hujan merah di tanah.
"Perang ini pasti akan berlangsung sangat lama..." ucapnya dalam hati sambil menajamkan pandangan, terus memperhatikan pertempuran.
Aether Wisp Fox yang berada di sisinya mengeluarkan aura peringatan, tanda bahaya yang langsung bisa dirasakan oleh Zienxi.
"Tenanglah, kita sangat jauh, jadi seharusnya kita aman." Zienxi menatap pusaran angin kecil berbentuk tanda di tangan kirinya.
Tak hanya Aether Wisp Fox, Breeze Moth juga memancarkan cahaya samar, seolah ikut merasakan hawa pembantaian yang menguasai udara.
Mereka bersembunyi di balik bukit penuh pepohonan, jaraknya ribuan kaki dari medan perang, namun teriakan dan dentuman tetap terdengar jelas.
Waktu terus berlalu. Hingga malam tiba, peperangan masih belum usai, malah semakin intens. Darah menodai tanah dan batu, aura pembunuhan menyelimuti seluruh area, membuat udara terasa berat dan menusuk dada.
Di tempat lain, Ruji Dei masih dalam perjalanan. Dia melaju di udara dengan kecepatan kultivator Vein Opening tahap akhir, matanya lurus menatap ke depan. Dia harus sampai ke medan perang sesegera mungkin untuk membantu guru dan teman-temannya.
Selama perjalanan, dia tidak bertemu kultivator lain, hanya mendengar lolongan binatang buas yang mencari mangsa di tengah kegelapan malam.
"Situasi ini baru kualami seumur hidup!! Aku tidak tahu apakah aku akan hidup atau mati di medan perang nanti... Namun aku tidak bisa membiarkan mereka bertarung sendirian! Aku harus membantu!!" suara Ruji Dei tegas, penuh tekad, dan tatapannya tajam bagaikan bilah pedang yang menembus malam.
Salah satu murid Sekte Aliran Kabut Bumi melesat mengejar murid Sekte 3 Air Surgawi, mereka terbang rendah di antara pepohonan lebat dan bebatuan besar, suara desir angin memecah kesunyian hutan yang sudah ternodai bau darah.
Murid Sekte 3 Air Surgawi itu, Chen Dong, terus memacu kecepatannya di atas pedang terbang, mencoba menjauh dari kejaran lawannya. Pandangannya menyapu cepat ke segala arah, mencari celah untuk membalikkan keadaan.
"Jika terus-terusan dikejar seperti ini, tenagaku akan terkuras habis… aku harus menemukan kesempatan untuk menyerang balik," gumamnya dalam hati sambil tetap menjaga jarak.
"Hei, bocah! Jangan kabur terus dong!! Ayo bertarung!!" teriak murid Sekte Aliran Kabut Bumi dari belakang, suaranya penuh ejekan dan niat membunuh.
"Tchh!" Chen Dong mendesis kesal, lalu matanya menangkap pohon besar menjulang di depannya. Dia menurunkan ketinggian, melesat lurus seakan hendak menabrak, namun tepat sebelum sampai, tubuhnya berbelok tajam.
Murid Sekte Aliran Kabut Bumi itu kaget. Kecepatannya terlalu tinggi untuk menghindar.
GEDEBUGHHH!!
Tubuhnya menghantam batang pohon dengan keras, ranting dan daun berjatuhan. "Sialan kau!!" geramnya, wajah meringis menahan sakit. Dia berusaha bangkit sambil berbalik, namun belum sempat menstabilkan tubuhnya, Chen Dong sudah menerjang.
"Matilah kau, bajingan bodoh!!" teriak Chen Dong, matanya menyala penuh amarah.
Dia langsung melepaskan mantranya, pusaran air kecil muncul di sekeliling tubuhnya, lalu melesat membentuk tebasan air. Lawannya, Qin Zibo, bereaksi cepat. Dia menghunus pedang kuning yang memancarkan kilatan tajam, melepaskan gelombang energi pedang ke arah Chen Dong.
Chen Dong memutar kain pusaka di tangannya, kain itu membentang seperti perisai, menahan hantaman energi pedang tersebut. Ledakan terjadi, membuat pepohonan berguncang dan beberapa roboh, tanah terangkat, dan burung-burung terbang panik.
"Akan kubunuh kau!!" Qin Zibo meraung, melesat bagaikan kilat, pedangnya bergetar dengan aura pembunuhan yang padat.
Chen Dong membentuk pusaran air yang memadat menjadi tombak, lalu menghentakkannya ke arah Qin Zibo. Cahaya kuning dari pedang Qin Zibo bertabrakan dengan tombak air itu, menciptakan ledakan cahaya dan air yang memercik liar, membasahi hutan.
Tak berhenti di situ, Qin Zibo membentuk mantra baru, cahaya coklat menyala di belakangnya, tanah di sekitarnya bergetar dan naik, membentuk puluhan jarum tanah yang langsung meluncur dengan kecepatan mematikan.
Chen Dong bergegas membuat pertahanan cahaya tipis di sekeliling tubuhnya, namun jarum-jarum itu terlalu cepat dan kuat.
KRAKK!!
Perisai cahaya itu retak, pecah, dan jarum-jarum tanah menembus tubuh Chen Dong.
"Aaaarghhh!!" Chen Dong berteriak, darah muncrat dari perut, pipinya tergores, dan lengannya tertembus. Nafasnya memburu, matanya kehilangan fokus.
"Dasar lemah!! Mari kita selesaikan ini!!" Qin Zibo menghentakkan pedangnya ke depan, cahaya kuning memanjang seperti tombak cahaya, menembus dada Chen Dong.
Tubuh Chen Dong terhuyung, darah bercucuran di udara, lalu ambruk ke tanah tanpa nyawa.
"TIDAAAAK!!" teriak seorang wanita dari kejauhan, suaranya parau, penuh ketidakrelaan. Itu adalah rekan satu sekte sekaligus orang yang diam-diam dia sukai. Matanya membelalak, wajahnya dipenuhi kesedihan yang menusuk hati.
Qin Zibo menatap mayat Chen Dong dengan senyum puas. Dia melangkah santai, menunduk, lalu meraih kantong penyimpanan di pinggang korban. Setelah menguras semua harta di dalamnya, dia berdiri lagi, menghunus pedangnya, dan kembali terbang mencari korban berikutnya.
Udara medan perang dipenuhi bau besi yang menusuk hidung, suara dentingan logam dan ledakan mantra saling bersahutan. Di antara hiruk-pikuk itu, seorang wanita dari Sekte 3 Air Surgawi berdiri terpaku, tubuhnya bergetar, matanya tak lepas menatap sosok yang tergeletak di tanah, Chen Dong. Napasnya memburu, amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu.
Dada wanita itu naik turun, dan tiba-tiba, tanpa pikir panjang, ia melepaskan teriakan penuh kemarahan. "AKU TIDAK INGIN MELIHATMU MATI, CHEN DONG!!" suaranya tegas, namun di balik ketegasan itu terselip retakan pilu yang dalam.
Tatapannya beralih pada musuh di depannya, murid Sekte Aliran Kabut Bumi yang masih memegang pedang berlumuran darah. Wajahnya memerah karena amarah, dan seketika ia melesat maju. Kedua tangannya bergerak cepat membentuk segel, aura tajam menyembur dari tubuhnya, pusaran pedang energi mulai berputar di sekelilingnya.
Suara lengkingan tajam memekakkan telinga. Dalam sekejap, puluhan bilah pedang ilusi meluncur bagai hujan meteor, menembus tubuh lawannya dari segala arah.
"Aaarghhh!!" teriakan itu hanya terdengar sejenak sebelum tubuh sang murid musuh mulai retak seperti pecahan kaca, lalu hancur menjadi abu yang tertiup angin malam.
Wanita itu tak menghiraukan mayat lawannya. Ia segera terbang menuju tempat Chen Dong terbaring. Begitu sampai, lututnya jatuh menghantam tanah di samping tubuh pria itu. Kedua tangannya menggenggam bahunya, wajahnya mendekat, menatap mata Chen Dong yang mulai kehilangan cahaya.
"Tidak… tidak… Chen Dong, jangan tinggalkan aku…" suaranya serak, bergetar, dan setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk jantungnya sendiri. Air matanya jatuh membasahi wajah pria itu.
Namun, tubuh Chen Dong perlahan memudar, kulitnya berubah menjadi butiran abu halus yang tertiup angin. Wanita itu berusaha memeluknya lebih erat, seakan bisa menghentikan proses itu, tetapi pelukannya hanya menggenggam kehampaan. Dalam beberapa detik, yang tersisa hanyalah udara kosong dan sedikit abu yang melayang lalu menghilang di bawah cahaya bulan pucat.
Ia tetap meringkuk di tanah, bahunya bergetar. Matanya yang basah menatap ke langit gelap, mencari jawaban yang tidak akan pernah datang. Tapi di balik kesedihan itu, sesuatu mulai menyala,bukan lagi kelembutan, melainkan api dendam yang membara.
Perlahan ia berdiri, matanya berubah tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Nafasnya stabil, namun aura di sekitarnya bergetar hebat, menandakan niat membunuh yang menebal.
"Kalian… harus membayar ini semua… Sekte Aliran Kabut Bumi…" suaranya rendah, namun setiap katanya mengandung tekad yang mengerikan.
Tanpa ragu, ia menginjak pedang terbangnya, melesat ke langit malam seperti kilatan cahaya biru, menuju kumpulan murid Sekte Aliran Kabut Bumi. Kini, dia tak lagi peduli pada keselamatan dirinya, hanya satu yang ada di pikirannya membalas kematian Chen Dong dengan darah musuh-musuhnya.