Ficool

Chapter 89 - Chapter 89 – Vengeance Fulfilled

Chapter 89 – Vengeance Fulfilled

Perang semakin kacau. Sudah banyak kultivator yang tewas dari berbagai pihak, tubuh mereka berserakan di tanah yang dipenuhi darah. Suara mantra, dentingan senjata, dan ledakan dari berbagai harta pusaka bergema tanpa henti, menghantui malam yang seharusnya sunyi.

Di tengah kekacauan itu, seorang wanita melesat di udara, tubuhnya berlumuran darah. Matanya merah, memancarkan campuran amarah dan kesedihan yang tak terlukiskan. Dialah Mei Yuna.

Dengan napas terengah, ia bergumam lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri, "Aku... harus menemukannya. Aku... harus membunuh orang itu..." Suaranya parau, kelelahan sudah menggerogoti tubuhnya, namun api dendam di hatinya terus menyala.

Wajah itu, pakaian itu, sekte itu semua masih melekat jelas dalam ingatannya. Ia tahu betul siapa yang harus dia cari.

"Sekte Aliran Kabut Bumi!!" Mei Yuna menggertakkan gigi, matanya menyapu setiap sudut medan perang, meneliti wajah-wajah musuh, berharap menemukan pria yang telah merenggut Chen Dong darinya.

Dengan amarah yang tak terkendali, ia terus terbang, menebas siapa pun yang menghalanginya. Pedangnya menari liar, meninggalkan jejak kematian setiap kali berayun.

Setelah beberapa saat, langkahnya terhenti di udara. Tatapan tajamnya tertuju pada seseorang di kejauhan, dan seketika darahnya mendidih. Amarah yang telah ia tekan meledak begitu saja.

"Akhirnya... aku menemukanmu!" suaranya bergetar penuh tekanan, matanya menyala seperti bara api. Tanpa ragu, Mei Yuna melesat ke arah sosok itu.

Di sisi lain, Qin Zibo sedang asyik membantai musuh-musuhnya. Tawa kerasnya menggema, matanya liar menatap darah yang berhamburan.

"Dengan ini aku pasti akan mendapatkan hadiah besar dari ketua sekte dan para tetua!" ucapnya penuh semangat. Tatapannya tajam, hatinya berambisi menambah daftar korban demi mendapatkan pengakuan.

Namun tiba-tiba, dadanya berdegup kencang. Sebuah tekanan mengerikan menyelimuti tubuhnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia terdiam, matanya melebar.

"Apa ini... kenapa tiba-tiba terasa begitu mencekam..." gumamnya. Rasa takut yang belum pernah ia alami sebelumnya merayap ke dalam hatinya.

Perlahan ia menoleh, dan di sana berdiri seorang wanita di udara. Tubuhnya berlumuran darah, pedang di tangannya masih meneteskan cairan merah, sorot matanya tajam, penuh amarah bercampur kesedihan.

Mei Yuna.

Dengan genggaman erat pada pedangnya, ia berkata dingin, "Kau... harus mati. Kau harus membayar semua kesalahanmu!"

Qin Zibo terperangah, wajahnya pucat. "S-siapa kau... aku tidak mengenalmu! A-aku... tidak melakukan kesalahan apa pun padamu!" Suaranya bergetar, terbata-bata. Rasa takut membuatnya kehilangan ketegasan yang biasanya ia tunjukkan.

Mei Yuna tertawa getir, namun suaranya penuh kebencian. "Kau membunuh orang yang kucintai! Kau membunuhnya, kau merampas hartanya... dan sekarang kau bilang tidak melakukan kesalahan?! Dasar bajingan!" Niat membunuh meledak keluar dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar.

Ia langsung melesat, pedang di tangannya mengeluarkan cahaya tajam. Qin Zibo tersentak, matanya menyipit, berusaha menahan rasa takut yang menguasai dirinya. Ia segera menyerang balik, mencoba mengimbangi.

Mei Yuna melepaskan mantranya, dan puluhan pedang spiritual tercipta di udara. Pedang-pedang itu berputar cepat, lalu melesat lurus ke arah Qin Zibo.

Qin Zibo tak mau kalah. Ia mengerahkan kekuatan tanahnya, memanggil ratusan jarum batu tajam dari dalam tanah yang melesat untuk menghadang pedang-pedang itu.

Ledakan keras terjadi ketika kedua mantra itu bertabrakan. Udara berguncang hebat, cahaya bercampur asap memenuhi langit.

Namun bagaimanapun juga, kekuatan Qin Zibo tidak sebanding dengan amarah Mei Yuna. Mantranya hancur, sementara sebagian pedang Mei Yuna masih bertahan dan terus menembus ke arahnya.

Lapisan pelindung Qin Zibo aktif, dentingan tajam terdengar ketika pedang-pedang itu menghantamnya. Pelindung itu runtuh hanya dalam hitungan detik. Qin Zibo terengah, tubuhnya bergetar karena tekanan besar itu.

Belum sempat ia bernapas lega, Mei Yuna sudah berada hanya beberapa langkah di depannya. Pedangnya berayun deras, tajam bagai badai.

Qin Zibo cepat-cepat mengangkat pedang kuningnya untuk menahan. Dua pedang itu bertubrukan keras, suara dentingan nyaring menggema, membuat mereka berdua sama-sama terdorong ke belakang.

Sorot mata Mei Yuna semakin tajam, amarahnya kian membara. Ia melesat kembali tanpa jeda, tubuhnya bagaikan anak panah yang terlepas dari busur.

Qin Zibo menggeram, wajahnya berubah serius. "Baiklah... kalau begitu, aku akan melawanmu dengan sungguh-sungguh kali ini!"

Kedua kultivator itu bertarung sengit di udara. Dentingan pedang beradu tanpa henti, memekakkan telinga, memecah kesunyian malam.

"Pedang Membelah Lautan!" teriak Mei Yuna, pedang spiritual berlapis energi air muncul, membentuk gelombang besar yang siap menelan Qin Zibo.

Mata Qin Zibo menyipit tajam. "Aliran Bumi Membelah!" Serangan tanah raksasa muncul dari bawah, berusaha menahan pedang air itu.

Namun benteng bumi itu tak bertahan lama. Retak, lalu hancur berkeping-keping. Pedang air Mei Yuna masih melesat maju, menghantam Qin Zibo dengan kekuatan brutal.

Qin Zibo tidak sempat menghindar. Tubuhnya tersayat pedang-pedang itu, darah memancar dari luka-luka baru. Ia batuk darah, wajahnya berubah pucat, namun matanya masih menyala dengan amarah.

"Kau... benar-benar membuatku marah!!" teriak Qin Zibo, nadanya penuh kebencian.

"Kaulah yang membuatku marah, dasar bodoh!" balas Mei Yuna, suaranya menggema, matanya memerah, niat membunuhnya meningkat semakin liar.

Mei Yuna melesat ke arah Qin Zibo, amarah yang membara di dalam dirinya meledak tanpa terkendali.

"Pedang Air Surgawi!" teriaknya lantang.

Seketika, sebuah pedang raksasa terbentuk dari energi air murni. Aura tajamnya melesat ke langit, lalu mengayun ke arah Qin Zibo dengan kekuatan yang sanggup membelah gunung.

Mata Qin Zibo melebar, tubuhnya gemetar hebat. Tekanan yang ditimbulkan pedang itu membuat napasnya tercekat, jantungnya berdegup kacau.

"Mantra ini… sangat kuat…" gumamnya dengan suara lirih, hampir tak terdengar.

Pedang raksasa itu kian mendekat, udara di sekitarnya terdistorsi dan bergetar hebat. Qin Zibo mengertakkan gigi, berusaha menahan serangan mengerikan itu dengan segala cara. Dia segera mengeluarkan sebuah harta berupa kain kuning. Kain itu melayang, membentang luas, berubah menjadi perisai bercahaya untuk menahan energi pedang surgawi tersebut.

Suara ledakan dahsyat terdengar, menggetarkan seluruh medan perang. Banyak kultivator yang tengah bertarung menghentikan pertarungan mereka sejenak, menoleh ke arah sumber suara. Tatapan mereka dipenuhi keterkejutan dan rasa takut.

"Apa itu? Sangat mengerikan…" ucap seorang murid dengan wajah pucat.

"Mei Yuna…" bisik seorang wanita yang mengenalnya.

"Bagaimana mungkin seorang murid bisa memancarkan aura pembunuhan setajam itu?" gumam salah satu tetua dari Sekte 3 Air Surgawi, keningnya berkerut tegang.

"Niat membunuh… begitu murni dan menakutkan." Ketua Sekte Kabut Awan mendengus pelan, sorot matanya menajam.

Dari kejauhan, Lawzi Zienxi yang berdiri di puncak bukit juga menyaksikan pertarungan itu. Angin malam meniup jubah hitamnya, rambut panjangnya berkibar liar. Tatapannya serius, menatap Mei Yuna yang penuh darah namun tetap berdiri gagah.

"Serangan itu… benar-benar mengerikan," gumam Zienxi lirih, matanya menyipit.

Di udara, kain pelindung Qin Zibo retak sedikit demi sedikit. Retakan itu kian meluas hingga akhirnya, dengan dentuman keras, kain itu hancur menjadi debu bercahaya yang tersebar di angin malam.

Ekspresi Qin Zibo berubah panik. Nafasnya memburu, keringat dingin mengalir di wajahnya. Tanpa membuang waktu, dia menghunus pedang kuning miliknya, mencoba menahan serangan terakhir dari pedang surgawi Mei Yuna.

Benturan pedang dengan pedang raksasa air kembali mengguncang udara. Energi yang keluar dari tabrakan itu menyebar ke segala arah, memecahkan tanah dan membuat para kultivator lain terhuyung. Mantra pedang Mei Yuna runtuh perlahan, namun pedang kuning Qin Zibo juga retak parah, nyaris pecah.

Mei Yuna batuk darah, tubuhnya berguncang. Namun sorot matanya tidak pudar api kebencian masih menyala. Dia kembali melesat ke arah Qin Zibo, mengangkat pedangnya dengan tekad yang tak tergoyahkan.

"Aku akan mengakhiri ini sekarang!" suaranya menggema, menusuk telinga Qin Zibo.

Qin Zibo, yang wajahnya sudah pucat pasi dan bibirnya berlumuran darah, gemetar ketakutan. Namun, dia memaksa dirinya menyerang balik.

"Dia… tidak ada lelahnya…" gumamnya lirih, lalu berteriak dengan suara gemetar, "Jarum Memecah Bumi!"

Seketika, sebuah jarum hitam raksasa, panjangnya hampir tiga meter, terbentuk dari tanah dan energi bumi. Jarum itu melesat dengan kecepatan tinggi, membelah udara menuju Mei Yuna.

Pupil mata Mei Yuna mengecil. Namun tanpa gentar, dia juga memanggil mantranya.

"Tombak Air Surgawi!" serunya lantang.

Dari energi air yang murni, sebuah tombak raksasa terbentuk. Cahaya biru keperakan mengelilinginya, menebarkan aura surgawi. Tombak itu pun melesat menyambut jarum Qin Zibo.

Kedua mantra bertabrakan di udara, ledakannya memekakkan telinga. Getaran menghancurkan pepohonan di hutan bawah, tanah merah terbelah, retakan besar menjalar cepat. Hewan-hewan berlarian panik, udara malam bergetar hebat.

Mei Yuna batuk darah lagi, tubuhnya melemah. Qin Zibo juga tak lebih baik, wajahnya pucat pasi, darah terus mengalir dari mulutnya. Namun, keduanya tetap menatap penuh kebencian, saling mengadu kekuatan terakhir.

"Aku… akan membunuhmu!!" teriak Qin Zibo dengan suara parau, matanya penuh amarah.

"Orang sepertimu… tidak pantas mengatakan itu." Mei Yuna membalas dengan suara tenang, namun tegas dan menusuk hati.

Jarum raksasa Qin Zibo mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan. Retakan kecil menyebar cepat, disertai suara berderak menakutkan. Sementara itu, tombak Mei Yuna juga bergetar hebat, retakan halus muncul di permukaannya.

Namun hanya butuh waktu singkat. Jarum itu runtuh, pecah menjadi debu dan lenyap di udara. Di saat yang sama, tombak air surgawi, meski penuh retakan, masih bertahan. Aura tajamnya masih menyala terang, lalu melesat menembus udara, langsung menuju Qin Zibo.

Mata Qin Zibo melebar. Ekspresinya campuran antara keterkejutan, ketakutan, dan penolakan.

"Bagaimana mungkin…? Kenapa aku kalah?!" gumamnya lirih, seolah tak percaya.

"Matilah kau!!" Mei Yuna berteriak dengan penuh amarah.

Tombak air itu menembus dada Qin Zibo tanpa ampun. Tubuhnya terhuyung, darah menyembur deras. Matanya melebar, perlahan kehilangan cahaya. Sesaat kemudian, tubuhnya runtuh, hancur menjadi abu yang terbawa angin malam.

Mei Yuna masih berdiri di udara, tubuhnya berlumuran darah, pedang di tangannya bergetar. Dia menatap abu Qin Zibo yang perlahan hilang, lalu mendongak menatap langit malam. Air matanya jatuh, bercampur dengan darah di pipinya.

"Chen Dong… aku telah membalas kematianmu… aku… telah membunuhnya…" suaranya lirih, hampir pecah oleh tangis.

Kelelahan luar biasa melanda tubuhnya. Pandangannya mulai kabur, sorot matanya meredup. Tubuhnya goyah, lalu jatuh dari udara, menghantam tanah dengan keras.

More Chapters