Ficool

Chapter 85 - Chapter 85 – Langkah Menuju Danau Langit Bening

Chapter 85 – Langkah Menuju Danau Langit Bening

Lawzi Zienxi sedang terbang di atas hutan lebat, pedang terbangnya melaju stabil di bawah kakinya. Angin berhembus kencang, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru saja terguncang. Dia ingin pergi ke arah barat, meski sebenarnya tidak tahu pasti kemana tujuannya.

Sesekali matanya menangkap pergerakan binatang buas di bawah, namun tidak ada yang cukup berani untuk menyerangnya. Zienxi berpikir untuk mencari tempat yang tenang untuk berkultivasi.

"Negara ini sangat luas… butuh waktu untuk mencari tempat yang benar-benar sepi," gumamnya pelan. "Aku juga tidak tahu apakah perang sudah mulai atau belum…" Pandangannya menyapu sekeliling, waspada kalau-kalau ada kultivator lain yang melintas.

Setelah beberapa saat terbang, dari arah timur terlihat gelombang besar orang. Jumlahnya… ratusan? Mungkin ribuan kultivator, terbang membentuk barisan panjang yang menutupi langit.

Zienxi segera bersembunyi di balik kabut hutan, mengamati dari kejauhan. Dari gerakan mereka, terlihat jelas bahwa semua kultivator itu mengarah ke arah yang sama dengannya.

"Mereka ke arah barat… apakah di sanalah lokasi perangnya?" pikirnya sambil menyipitkan mata. "Jika benar, maka di situlah Sumur Akar Langit seperti yang dikatakan Ruji Dei…"

Tebakannya tidak meleset. Di barat, tepatnya di dekat Danau Langit Bening, Sumur Akar Langit berdiri, tempat yang menjadi pusat perebutan dan medan perang besar kali ini.

Meski perang akan pecah, ada aturan yang mengikat semua sekte: manusia fana tidak boleh dilibatkan. Jika aturan ini dilanggar, sekte yang bersalah akan dimusnahkan tanpa ampun.

Di barisan terdepan kelompok kultivator itu, seorang tetua bersuara lantang. "Ketua sekte, sebentar lagi kita akan tiba di Danau Langit Bening!"

Ketua sekte itu mengangguk, wajahnya penuh kewaspadaan. "Perintahkan semua orang untuk bergerak lebih cepat! Pasti sekte-sekte lain juga akan segera tiba!!"

"Baik!" jawab tetua itu tegas, lalu memberi perintah agar seluruh barisan mempercepat laju mereka.

Di sisi lain, Sekte Kabut Awan juga hampir mencapai tujuan. Sepanjang perjalanan, mereka terkadang membunuh binatang buas yang melintas untuk menguji jurus sekaligus membangkitkan semangat tempur.

"Aku tidak sabar untuk membantai murid-murid sekte lain!" seru seorang murid dengan tatapan penuh darah setelah menebas leher seekor serigala raksasa.

"Benar! Ini pasti akan sangat menyenangkan!" sahut temannya sambil tertawa lepas.

Tawa keras mereka bergema di udara, dipenuhi antusiasme untuk mendapatkan sumur yang diyakini mampu meningkatkan kekuatan berkali-kali lipat.

Begitu rombongan Sekte Aliran Kabut Bumi lewat, Lawzi Zienxi kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia tidak terburu-buru. Ia memilih untuk menjaga jarak agar keberadaannya tidak terdeteksi.

"Aku ingin melihat seperti apa sumur itu… sumur seperti apa yang bisa membuat semua sekte rela mengorbankan begitu banyak nyawa," ucapnya pelan.

Namun, hatinya tetap waspada. "Melihatnya dari jauh saja sudah cukup. Kalau terlalu dekat, mungkin ada orang berkultivasi tinggi yang akan menyadari keberadaanku…"

Sementara itu, di arah lain, Sekte 3 Air Surgawi melaju dengan kecepatan terukur menuju Danau Langit Bening. Mereka tidak memacu diri terlalu cepat karena wilayah di sekitar danau terkenal dipenuhi binatang buas tingkat tinggi.

Bahkan Ketua Sekte mereka akan kewalahan jika menghadapi makhluk ini, karena sebagian dari binatang tersebut mampu menggunakan mantra layaknya seorang kultivator.

"Hati-hati! Tempat ini sangat berbahaya! Kita tidak tahu binatang jenis apa yang akan menghadang!" suara Ketua Sekte terdengar tenang namun tegas, membuat semua murid langsung menegakkan tubuh.

"Baik!!" jawab seluruh rombongan serempak. Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, terbang perlahan sambil mengawasi setiap bayangan yang bergerak di antara pepohonan dan kabut tebal.

Sementara itu, Ruji Dei masih melayang di atas jalur pegunungan, menuju sektenya. Ia memilih rute yang menurutnya aman, menjauhi arus utama para kultivator yang terbang menuju Danau Langit Bening. Kabut tipis menggantung di udara, membuat jalur ini terasa lebih sunyi daripada biasanya.

"Sebentar lagi aku akan tiba… Tapi apakah semua orang di sekte sudah pergi berperang?" pikirnya sambil mengerutkan dahi. "Kalau begitu… bagaimana denganku? Haruskah aku ikut atau tetap tinggal?"

Kepalanya dipenuhi keraguan. Setiap kemungkinan terasa seperti pedang bermata dua, ikut berarti mempertaruhkan nyawa, namun tidak ikut berarti kehilangan kesempatan untuk berkembang.

Ruji Dei mendengus pelan. "Hmph… kita lihat saja nanti." Ia mencondongkan tubuh ke depan, mempercepat laju terbangnya. Jalur itu begitu tenang; tidak ada suara lain selain angin yang memecah keheningan. Semua orang sepertinya memang sudah berangkat ke medan perang.

Di bawah sana, kota dan desa tetap berjalan seperti biasa. Anak-anak berlarian di jalan berbatu, pedagang memanggil pelanggan, dan para petani kembali dari ladang sambil membawa hasil panen.

Beberapa waktu lalu, warga sempat cemas perang ini akan menyeret mereka. Namun, kabar bahwa lokasi pertempuran sangat jauh dari permukiman membuat mereka bernapas lega. Aturan kuno yang melarang sekte melibatkan manusia fana membuat mereka yakin, setidaknya untuk saat ini bahwa mereka aman.

"Menurutmu, apakah perang itu akan berdampak pada kita?" tanya seorang lelaki tua di pinggir jalan sambil mengunyah biji bunga matahari.

"Ahh, tidak akan," jawab temannya sambil tersenyum santai. "Kudengar jaraknya sangat jauh. Paling-paling kita cuma merasa sedikit merinding, itu pun kalau kekuatan mereka terlalu besar."

"Kau ini!" Lelaki tua pertama menepuk bahu temannya agak keras. "Jangan main-main. Kita tetap harus waspada!"

"Percuma kita waspada," temannya menggeleng pelan. "Kalau mereka memang ingin, kita tidak akan bisa berbuat apa-apa."

Sementara itu, jauh di atas, Lawzi Zienxi masih membuntuti rombongan besar para kultivator. Jarak mereka sangat jauh, namun jumlah mereka yang masif membuat formasi itu terlihat jelas seperti kawanan serangga raksasa yang mengekor pada rajanya.

"Padahal aku sudah sejauh ini… tapi mereka masih terlihat," gumam Zienxi, bibirnya melengkung tipis. "Benar-benar seperti nyamuk yang mengejar pemimpin kawanan."

Namun, fokusnya mendadak terusik. Sebuah hawa mengancam terasa dari sisi kanannya. Refleks, pupil matanya menyempit, tubuhnya sedikit memutar untuk menghadap sumber ancaman.

Benar saja, dari sela-sela kabut hutan, seekor makhluk aneh muncul. Bentuknya seperti gabungan predator darat dan udara: tubuh berotot dengan cakar dan taring tajam, namun di punggungnya terdapat sepasang sayap berselaput yang membentang lebar.

"Apakah makhluk ini sudah memperhatikanku sejak tadi?!" pikir Zienxi, matanya tak beranjak dari gerakan binatang itu.

Makhluk itu meraung, raungannya berat dan penuh amarah. Dalam sekejap, ia menerjang, sayapnya mengibaskan angin kuat. Zienxi melesat ke samping, menghindar sambil melancarkan mantra angin ke arah sayap lawannya.

Whoosh!

Serangan itu mengenai sasaran. Makhluk itu meraung semakin keras, sayapnya sedikit robek, namun serangannya tak berhenti. Ia melesat lagi, kali ini ekor panjangnya menghantam Zienxi dengan kekuatan yang luar biasa.

Bugh!

Tubuh Zienxi terpental ke tanah, debu dan daun kering berhamburan. Rasa perih menyeruak di dadanya, membuatnya batuk darah.

"Aku sudah memperingatkan diriku… sepertinya tidak ada pilihan lain selain membunuhnya," ucapnya pelan namun tegas.

Dengan gerakan cepat, ia kembali ke udara, mengucap mantra angin yang terkonsentrasi tepat ke kepala makhluk itu. Hembusan tajam menghantam kuat, membuat kepala lawannya terpaksa menunduk.

Tak berhenti di situ, Zienxi melanjutkan dengan mantra pedang. Dalam sekejap, sebelas ilusi pedang berkilau terbentuk di udara, lalu melesat seperti badai baja, mengoyak sayap dan tubuh makhluk itu.

Makhluk itu mengerang kesakitan, darah gelap menetes dari luka-lukanya. Namun, niatnya untuk menyerang tidak padam. Sayangnya, ia sudah terlambat.

Zienxi mengeluarkan jurus terakhirnya: mantra daun. Ratusan daun tipis melesat seperti anak panah, menembus kulit tebal makhluk itu, beberapa langsung menancap di bagian vital.

Gerakan makhluk itu melemah. Ia jatuh tersungkur, napasnya memburu… lalu berhenti sepenuhnya.

Zienxi turun perlahan, matanya menatap dingin pada mayat di hadapannya. "Binatang ini cukup tangguh… padahal kekuatannya setara kultivator Meridian Awakening."

Ia menarik napas, lalu melirik mayat itu sekali lagi. "Atau… apakah aku yang masih terlalu lemah? Dan makhluk ini… aku belum pernah melihat jenis seperti ini."

Zienxi menyeka darah di sudut bibirnya, kemudian menghunus pedang untuk memotong sebagian daging dari tubuh makhluk itu.

"Walaupun aku sudah tidak perlu makan… tapi daging ini kelihatannya enak." Bibirnya menyeringai tipis, lalu ia menyimpan potongan itu di dalam kantong penyimpanan.

"Terima kasih… untuk dagingnya," gumam Zienxi sambil menatap sekilas mayat makhluk itu. Ia menghela napas pendek, lalu mengangkat kepalanya, menatap ke arah langit barat tempat para kultivator sebelumnya terbang. "Aku harus menyusul mereka, sebelum jarak terlalu jauh!"

Dengan satu gerakan, ia menginjak pedangnya dan melesat ke udara. Angin berdesir kencang di telinganya, dedaunan di bawah beterbangan karena hempasan aura yang ia keluarkan. Pertarungan tadi sudah membuang terlalu banyak waktu, dan setiap detik yang lewat membuat para kultivator itu semakin jauh dari pandangannya.

"Jaraknya pasti sudah sangat jauh," ujarnya sambil menyipitkan mata, mencoba mencari titik-titik hitam di cakrawala yang mungkin adalah rombongan tersebut. Otot-otot tubuhnya menegang, memaksanya melaju secepat mungkin. Udara tipis di ketinggian menampar wajahnya, namun Zienxi tak peduli, perasaan dikejar waktu membuatnya semakin memacu kecepatan.

More Chapters