Besok siang, matahari sudah tinggi di langit, memancarkan sinarnya yang terik dan menyinari seluruh permukaan planet. Di Negara Zhongluan, berbagai sekte tengah bersiap-siap untuk memperebutkan Skyroot Spring.
Mereka akan berjuang mati-matian demi sumur itu, karena banyak di antara mereka yang menginginkan jalur instan untuk meningkatkan kekuatan.
Terlebih bagi para kultivator yang kultivasinya sudah buntu, kesempatan ini berarti lebih dari apa pun yang bisa mereka dapatkan di dunia ini.
Di Cloud Mist Sect, para tetua tengah menyiapkan murid-murid mereka untuk berangkat menuju Skyroot Spring.
"Apakah semuanya sudah siap?" tanya salah satu tetua yang mengenakan jubah biru keabu-abuan, suaranya terdengar tenang namun penuh wibawa.
"Ya, semua sudah siap. Para murid senior telah dikumpulkan!" jawab tetua lainnya dengan nada mantap.
"Baiklah, kita harus mendapatkan sumur itu untuk kejayaan sekte kita!" ujar tetua pertama dengan tatapan tajam.
Mereka pun keluar untuk menemui para murid Cloud Mist Sect yang sudah berkumpul di aula utama. Jumlah mereka mencapai ratusan, sebagian besar berada pada tingkat Spirit Root Cultivation dan Core Essence Formation.
Saat para tetua keluar, semua murid terdiam, tidak ada satu pun yang berani berbicara. Lalu, salah satu tetua berdiri di depan mereka, berbicara dengan suara yang tenang namun bergema hingga memenuhi seluruh aula.
"Apakah kalian siap memperebutkan Skyroot Spring untuk sekte kita?"
Para murid yang mendengar itu pun menjawab dengan lantang dan kompak, "Rebut! Rebut! Rebut!"
"Bagus. Ayo kita berangkat menuju Clear Sky Lake!" Setelah tetua itu berbicara, mereka semua terbang bersama menuju Danau Langit Bening.
Jumlah mereka yang ratusan, terbang berbaris di udara, mampu menutupi langit di atas sebuah kota kecil. Siapa pun yang melihat pemandangan ini pasti akan merasa gentar.
Sementara itu, di Three Heavenly Waters Sect, ketua sekte berdiri tegak di hadapan para tetua dan murid-muridnya. "Kalian… apakah benar-benar siap untuk berperang demi sumur itu?" tanyanya, suaranya dalam dan penuh wibawa.
Para murid menjawab serempak dengan penuh semangat, "Ya, Ketua Sekte! Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mendapatkan sumur itu!"
"Ketua Sekte, Skyroot Spring itu sangat berguna, baik untuk para tetua maupun para murid. Sumur itu mampu melipatgandakan kecepatan kultivasi kita," jelas salah satu tetua sambil menundukkan kepala memberi hormat.
Ketua sekte terdiam sejenak, merenung dalam-dalam. Ia khawatir perang ini akan membawa kerugian besar bagi sektenya. Namun, jika mereka berhasil mendapatkan sumur itu, keuntungan yang mereka peroleh akan sangat besar, bahkan mungkin mengubah nasib sekte mereka selamanya.
Setelah merenung cukup lama, akhirnya sang ketua sekte membuka suara. "Baiklah. Rebutlah sumur itu untuk sekte kita. Jangan biarkan orang lain mengambilnya dari kita!" Ucapannya tegas dan menggelegar di telinga semua orang di aula.
Para tetua dan murid langsung bersemangat, bersorak penuh tekad. Mereka pun segera bergerak menuju Clear Sky Lake untuk memperebutkan Skyroot Spring.
Di Five Fiber Grass Sect, para tetua sudah menerima perintah langsung dari para leluhur sekte: merebut Skyroot Spring dengan cara apa pun yang diperlukan. Tanpa ragu, mereka bergerak menuju medan pertempuran.
Sementara itu, Earth Mist Stream Sect sudah berangkat lebih awal dengan semangat membara dan niat membunuh. Mereka bertekad untuk menyingkirkan siapa pun yang berani menghalangi jalan mereka menuju Skyroot Spring.
Di Black Root Sect, ketua sekte tengah duduk di aula utama bersama para tetua. "Seribu tahun yang lalu, sekte kita gagal mendapatkan sumur itu. Apakah menurut kalian kali ini kita bisa meraihnya?" tanyanya dengan nada datar, namun sorot matanya penuh tekanan.
"Aku yakin kali ini kita akan berhasil, Ketua Sekte," jawab salah satu tetua dengan yakin.
Yang lainnya pun mengangguk setuju, wajah mereka dipenuhi tekad yang tak tergoyahkan. Mereka rela mengorbankan nyawa demi membawa pulang Skyroot Spring ke sekte mereka.
"Sudahlah, kalian pergilah. Aku akan menyusul nanti," ucap Ketua Sekte sambil mendengus pelan, seolah memikirkan sesuatu yang tidak ia katakan kepada siapa pun.
Para tetua saling berpandangan, lalu memberi hormat dalam-dalam kepada ketua sekte, memahami perintah itu tanpa bertanya lebih jauh. Mereka pun segera membawa para murid Black Root Sect menuju lokasi Skyroot Spring.
Di sela-sela suasana menegangkan yang melanda dunia kultivasi, Lawzi Zienxi yang berada di dalam gua perlahan membuka matanya. Pandangannya tertuju pada Ruji Dei yang masih duduk bersila dengan mata terpejam, memulihkan diri.
"Orang ini… lama sekali memulihkan diri. Seperti seseorang yang baru saja bertarung melawan binatang purba," gumamnya pelan dengan wajah datar. Andai adiknya, Vuyei, melihat ini, ia pasti akan menuliskannya dalam catatan sejarah keluarga.
Zienxi pun bangkit, langkahnya tenang saat melangkah keluar dari gua. Di hadapannya, terbentang hutan lebat yang diselimuti kabut tipis. Ia sama sekali tidak tahu bahwa sekte-sekte besar sudah bergerak menuju perang demi memperebutkan Sumur Akar Langit.
"Jika ibu masih hidup… apa yang akan beliau lakukan? Apakah beliau akan mengambil risiko pergi ke sumur itu?" gumamnya lirih, suara yang sarat dengan kerinduan.
"Lalu… kalau ayah… dia pasti akan memperebutkan harta seperti itu tanpa ragu. Ayah, Ibu… apakah kalian mendengar aku? Apa yang kalian pilih jika berada dalam situasi ini? Aku ingin tahu…"
Tatapan Zienxi menembus langit yang cerah, dan tanpa ia sadari, setitik air mata jatuh membasahi pipinya.
Saat ia masih terpaku menatap langit, Ruji Dei perlahan membuka matanya. Wajahnya menampakkan tanda-tanda pemulihan penuh, dan tubuhnya kini siap kembali bergerak. Ia menoleh ke arah Zienxi, namun mendapati tempat duduk itu kosong. Pandangannya beralih ke luar gua, dan di sanalah ia melihat sosok seniornya, berdiri diam menatap langit.
Ruji Dei bangkit, melangkah mendekati Zienxi. Suara langkahnya terdengar jelas, membuat Zienxi segera menghapus sisa kesedihan dari raut wajahnya.
"Senior, kau baik-baik saja?" tanya Ruji Dei dengan nada hati-hati, seolah bisa merasakan bahwa Zienxi baru saja diliputi kesedihan.
"Aku baik-baik saja," jawab Zienxi dengan suara tenang. "Apa kau sudah mau pergi?"
"Iya, Senior… aku akan kembali ke sekte, dan… mungkin akan ikut berperang." Nada suaranya terdengar seperti orang yang putus asa. Dalam hatinya, ia sebenarnya tidak ingin pulang. Ia ingin mengikuti Zienxi berkelana, berharap bisa mendapatkan pengalaman luar biasa yang tak akan ia peroleh di sektenya.
"Ada apa? Kau memikirkan sesuatu?" tanya Zienxi, menatapnya dengan tajam namun tidak mengintimidasi.
"Tidak, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkanku, Senior," jawab Ruji Dei, menundukkan kepala dalam-dalam memberi hormat.
Zienxi mengangguk pelan. "Pergilah. Hati-hati di perjalanan."
"Ya, Senior. Aku pamit." Ruji Dei mengatupkan kedua tangannya di depan dada, lalu melesat pergi menuju Black Root Sect.
Saat ia terbang menjauh, suaranya terdengar jelas di udara, "Semoga kita bertemu lagi, Senior!"
Zienxi hanya memandang arah kepergian Ruji Dei, bibirnya membentuk senyum tipis.
"Baiklah… mari kita pergi juga," gumamnya, kali ini dengan nada yang penuh tekad.
Di tengah kegaduhan yang mengguncang negeri-negeri kultivasi, hanya ada satu sekte yang memilih untuk tidak terlibat dalam perebutan Skyroot Spring. Mereka tidak ingin mengambil risiko hanya demi sebuah sumur, sekalipun sumur itu bisa mengubah nasib.
Sekte ini berdiri di bawah kaki pegunungan yang menjulang, anggun namun penuh wibawa. Kabut tipis senantiasa melayang di udara, menyelimuti pepohonan yang tumbuh rapat di sekelilingnya. Sinar matahari yang menembus celah kabut menciptakan kilauan lembut, seakan alam sendiri melindungi tempat ini dari hiruk-pikuk dunia luar.
Bangunan-bangunan sekte berdiri megah, dipenuhi warna hijau yang melambangkan kehidupan dan ketenangan, berpadu dengan merah yang menyiratkan keberanian. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran naga dan burung hong yang tampak seolah bergerak ketika kabut lewat. Para murid mengenakan jubah merah dengan hijau muda, sementara para tetua dan ketua sekte berbalut jubah merah berpadu abu-abu, simbol kebijaksanaan dan kekuatan.
Di ruang pertemuan utama, aroma dupa kayu cendana memenuhi udara. Ketua sekte duduk di kursi tinggi berukir naga emas, tatapannya tajam namun penuh ketenangan. Di hadapannya, para tetua duduk di sisi kiri dan kanan, wajah mereka serius.
"Perang sudah pecah," suara Ketua Sekte terdengar tenang namun berlapis ketegasan. "Ini adalah pilihan terbaik kita. Keselamatan dan masa depan tidak bisa ditentukan oleh sebuah sumur!"
Kata-katanya membuat ruangan hening. Ia tidak akan mengorbankan masa depan sekte hanya demi ambisi sesaat.
"Benar, Ketua Sekte," ucap seorang tetua wanita dengan nada mantap.
"Itu hanyalah sumur tua belaka. Untuk apa kita mempertaruhkan nyawa demi sesuatu yang tidak pasti?" tambah tetua pria paruh baya yang berdiri di sebelahnya.
"Keputusan Ketua Sekte sudah benar. Kita tidak perlu ikut memperebutkan sumur itu," sahut tetua lain, suaranya tegas namun mengandung rasa lega.
Ketua sekte mengamati satu per satu wajah para tetua, memastikan tidak ada keraguan di antara mereka. "Baiklah," katanya akhirnya, suaranya berat namun mantap. "Lanjutkan kegiatan kalian seperti biasa. Dan pastikan seluruh murid diberi perintah untuk tidak keluar dari sekte selama perang berlangsung. Tidak seorang pun diizinkan mengambil risiko."
"Baik!" jawab para tetua serempak, membungkuk memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan.
Kabut di luar masih menari di antara pepohonan, seolah menjadi tirai yang menyembunyikan sekte ini dari mata dunia. Mereka memilih jalan yang berbeda dari sekte lain tidak terlibat, tidak ikut memperebutkan sumur itu. Dan mungkin, di tengah hiruk-pikuk pertarungan yang akan datang, pilihan ini mungkin akan menjadi pilihan yang tepat.