Ficool

Chapter 78 - Chapter 78 – The Parting Promise

Chapter 78 – The Parting Promise

(Janji Sebuah Perpisahan)

Zienxi menatap mentari yang perlahan meninggi, sinarnya menerobos pepohonan dan memantul di permukaan sungai yang jernih. Dengan nada pelan dan tenang, ia berkata, "Vuyei, lihatlah matahari itu… dia datang dan menyinari seluruh dunia. Tapi saat sore tiba, dia pergi meninggalkan semua orang… dan digantikan oleh cahaya bulan. Namun, dia tak pernah lupa kepada dunia ini… dia selalu kembali di pagi hari berikutnya."

Vuyei menatap langit, mata cokelatnya membulat perlahan. Kata-kata kakaknya menggema dalam benaknya, menyentuh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar makna harfiah. Ia memahami apa yang ingin disampaikan kakaknya: bahwa meski perpisahan akan terjadi, seperti matahari yang selalu kembali, mereka juga akan saling menemukan kembali, tak peduli seberapa jauh jarak memisahkan. Sebuah senyum lembut mengembang di wajahnya, dan dengan lirih ia berbisik, “Aku percaya itu, kak…”

Mereka berdiri di sana cukup lama, membiarkan kesunyian berbicara atas nama mereka, membiarkan angin pagi menjadi perantara perasaan. Kemudian, tanpa banyak bicara, mereka mulai berlatih bersama. Suara mantra-mantra mengalir seperti nyanyian alam, berpadu dengan dentuman energi spiritual yang saling berbenturan. Tebasan pedang dan riak energi memenuhi udara. Sungai yang tenang memantulkan kilatan serangan mereka, seolah ikut menjadi saksi atas pertarungan latihan yang penuh semangat antara dua kakak beradik yang memiliki ikatan kuat.

Para penduduk desa yang mendengar suara-suara itu dari kejauhan hanya tersenyum kecil, mereka tahu pasti, itu berasal dari Zienxi dan Vuyei, yang tengah berlatih di sungai bawah bukit. Tak seorang pun merasa terganggu. Justru mereka bangga memiliki dua anak muda luar biasa seperti mereka.

Dalam pertarungan itu, Vuyei mulai menunjukkan ketangkasan dan ketelitian luar biasa. Beberapa kali ia berhasil memojokkan kakaknya sendiri, membuat Zienxi harus mengerahkan gerakan-gerakan yang lebih serius. Meskipun latihan itu keras, Zienxi tidak menunjukkan kelembutan hanya karena lawannya adalah adik perempuannya. Ia tetap menyerang dengan serius, membuat Vuyei tertantang namun juga berkembang.

Matahari perlahan meninggi, cahayanya mulai menghangatkan kulit mereka. Setelah beberapa jam, mereka berhenti dan duduk di bawah pohon tua di tepi sungai. Napas keduanya masih memburu, tapi wajah mereka cerah. Mereka saling bercanda dan tertawa, seperti dua anak kecil yang melupakan sejenak beban takdir yang mungkin menanti di depan sana.

“Kecepatan dan ketelitianmu sudah sangat bagus, Vuyei,” ujar Zienxi sambil mengusap dahinya yang basah keringat. “Kau harus lebih mengembangkannya… jangan hanya mengandalkan insting, tapi juga kepekaan terhadap lingkungan sekitar.”

“Baiklah, kak. Aku akan berlatih lebih giat lagi. Aku tidak mau mengecewakanmu,” balas Vuyei sambil tersenyum lebar, nafasnya masih belum teratur.

Waktu terus berjalan hingga senja mulai menunjukkan wajahnya. Mereka akhirnya kembali ke rumah. Sore itu menjadi waktu yang istimewa karena menjadi hari terakhir Vuyei di rumah sebelum ia memulai hidup barunya di Sekte Kabut Tengah.

Sebelum malam tiba, Zienxi menyerahkan dua benda kepada adiknya. Pertama, sebuah jimat pelindung perak dengan pola pusaran angin di tengahnya jimat itu mereka peroleh saat bertemu dengan kultivator di kota Feifei dulu. Kedua, sebuah kalung energi spiritual berwarna biru kehijauan, berbentuk tetesan air yang diukir halus, dengan tanda samar yang ditanamkan oleh Zienxi sendiri. Sebuah tanda pelindung, dan penghubung mereka.

“Simbol ini… adalah tanda dariku,” ujar Zienxi sambil menggenggam tangan adiknya yang mungil. “Jika kau dalam bahaya, cobalah memanggilku… mungkin aku akan mendengarnya, bahkan jika aku berada jauh di tempat lain.”

Vuyei menerima kedua benda itu dengan hati bergetar. Matanya yang bening menatap wajah tampan kakaknya, mencoba mengukir setiap detail dalam ingatan.

“Terima kasih… kakak,” gumamnya pelan, dengan suara hampir pecah. “Aku akan menjaganya… dan aku akan kembali padamu.”

Zienxi hanya tersenyum lembut, menyentuh puncak kepala adiknya sebelum memeluknya perlahan. Sore itu, sebelum malam benar-benar datang, mereka diam bersama, tanpa kata-kata lagi, membiarkan hati mereka saling berbicara.

Matahari pagi perlahan menyapu kabut tipis yang menggantung di atas desa, menumpahkan cahaya hangat ke rumah-rumah yang masih sunyi. Udara pagi membawa kesejukan, namun bagi dua sosok yang berdiri di depan sebuah rumah tua di pinggiran desa, pagi itu terasa berat. Zienxi dan Vuyei berdiri dalam diam, memandangi bangunan sederhana yang selama ini menjadi tempat mereka berbagi tawa, tangis, dan ribuan kenangan yang tak tergantikan.

Vuyei melangkah pelan ke arah dinding rumah. Jemarinya menyentuh kayu yang telah menua, mengelusnya perlahan seolah hendak menyerap kenangan yang tersimpan di balik tiap seratnya. Matanya berkaca-kaca, lalu setetes air mata jatuh dan membasahi ujung jarinya. "Terima kasih... sudah melindungi kami," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Zienxi berdiri di sampingnya, menatap rumah itu dengan sorot mata yang dalam. Ia menarik napas panjang, lalu berkata lembut, "Ayo kita pergi." Suaranya tegas namun mengandung nada berat yang tidak bisa disembunyikan.

Vuyei mengangguk perlahan. Mereka berdua melangkah menjauh dari rumah, dan sekejap kemudian, tubuh mereka terangkat ke udara, melesat menuju Sekte Kabut Tengah. Selama perjalanan, Vuyei terus menggenggam tangan kakaknya erat, genggaman yang penuh dengan kecemasan dan harapan, seolah dia tahu bahwa inilah momen terakhir mereka berjalan bersama sebagai kakak dan adik biasa, sebelum takdir membawa mereka ke jalan masing-masing.

Sesampainya di depan gerbang besar Sekte Kabut Tengah, mereka perlahan mendarat. Gerbang megah itu menjulang tinggi, dihiasi simbol kabut yang berkelok dan pahatan gunung berkabut yang menyiratkan ketenangan sekaligus misteri. Di hadapan mereka telah berdiri Ketua Sekte Kabut Tengah, dua tetua terhormat, dan beberapa murid senior yang berjaga. Aura spiritual yang tenang namun dalam menyelimuti tempat itu.

Zienxi dan Vuyei membungkuk dalam, memberi hormat. Ketua sekte, seorang pria tua berwajah ramah dengan jubah kelabu tersulam rapi, tersenyum menyambut mereka. “Aku sudah menunggu kalian,” ucapnya tenang.

“Maaf kami terlambat, Ketua Sekte,” jawab Zienxi sopan.

“Tidak masalah,” jawab sang ketua dengan anggukan kecil. “Dalam perjalanan hidup, tidak semua hal perlu tergesa-gesa.”

Salah satu tetua, pria berambut perak dan janggut panjang yang tampak bijak, menoleh kepada Zienxi. “Junior Zienxi, kau yakin tidak ingin bergabung dengan Sekte Kabut Tengah? Kau memiliki potensi yang luar biasa.”

Zienxi tersenyum tipis, matanya menatap adiknya. “Tidak, senior. Aku telah memilih jalanku sendiri. Aku datang ke sini hanya untuk mengantar adikku, memastikan ia berada di tempat yang aman.”

“Baiklah, kami tidak akan memaksamu,” jawab tetua itu dengan suara tenang.

Seorang murid wanita dari barisan belakang melangkah maju. Dia mengenakan jubah kelabu khas sekte, wajahnya cerah dan bersahabat. “Siapa nama adikmu?” tanyanya ramah.

“Namaku Vuyei, senior,” jawab Vuyei sambil menunduk memberi salam.

“Ah, Vuyei. Aku Xiao Pi. Kau tak perlu takut, aku akan menjadi temanmu di sini. Selama aku ada, tak akan ada yang berani mengganggumu,” ucapnya penuh semangat, senyumnya tulus.

“Terima kasih, Senior,” jawab Vuyei, tersenyum untuk pertama kalinya pagi itu, meskipun sorot matanya masih diselimuti kesedihan.

Ketua sekte melangkah maju. “Mulai hari ini, kau adalah murid dari Sekte Kabut Tengah. Selamat datang, Vuyei.”

Tetua wanita di sisi ketua sekte ikut melangkah. “Namaku Xei Hui. Aku akan menjadi guru pembimbingmu mulai sekarang.”

Vuyei membungkuk dengan hormat, kedua tangannya mengatup. “Ya, Guru.”

Namun sebelum dia melangkah masuk ke wilayah sekte, dia menoleh ke belakang. Matanya berkaca-kaca, dan bibirnya bergetar sebelum berkata dengan suara yang sangat lirih, “Kak… berjanjilah padaku… kau akan kembali. Aku akan menunggumu.”

Zienxi mendekat, menatap wajah adiknya yang masih polos namun kuat. Ia meletakkan kedua tangannya di bahu Vuyei, lalu menjawab lembut, “Aku berjanji, Vuyei. Tenanglah. Berlatihlah dengan sungguh-sungguh, tingkatkan kultivasimu. Jangan kecewakan aku… dan jangan pernah berhenti percaya pada dirimu sendiri.”

Vuyei tak mampu berkata lagi. Ia langsung memeluk kakaknya erat. Jubah putihnya basah oleh air mata, begitu pula jubah hitam milik Zienxi. Sang kakak membelai rambut adiknya lembut, lalu mencium keningnya, sebuah tanda perpisahan, dan juga perlindungan abadi.

Para tetua dan murid yang menyaksikan momen itu diam dalam keheningan. Bahkan Ketua Sekte terlihat menghela napas panjang, terharu oleh hubungan saudara yang begitu dalam dan tulus di hadapan mereka.

Dengan langkah berat, Vuyei pun mulai berjalan masuk ke dalam Sekte Kabut Tengah. Namun di tengah langkahnya, ia kembali menoleh ke belakang. Di sana, Zienxi masih berdiri, menatapnya dengan tenang. Untuk pertama kalinya, Zienxi mengangkat tangan dan melambaikannya pelan, lalu memberikan senyum hangat yang belum pernah ditunjukkan kepada siapapun, senyum yang hanya dimiliki oleh seorang kakak sejati.

Vuyei tersenyum kembali, air mata kembali menetes namun kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena harapan.

Ketika sosok Vuyei menghilang di balik gerbang sekte, Zienxi berbalik. Angin pagi menyapu rambutnya yang hitam, dan matanya kembali menatap ke depan. Langkahnya mantap. Ia telah mengantar adiknya ke tempat yang aman.

Sekarang, saatnya ia menempuh jalannya sendiri… dan ketika waktunya tiba, ia akan kembali.

Untuk menjemput Vuyei. Untuk menepati janjinya.

More Chapters