Chapter 79 – Napas Angin dan Cahaya
Langit menyala lembut saat pagi menembus kabut, dan tubuh Zienxi melesat melintasi horizon, meninggalkan jejak qi yang nyaris tak terlihat. Tujuannya telah jelas, Lembah Arashi, tempat sakral yang dahulu menjadi saksi awal pemahamannya terhadap elemen angin dan petir. Kali ini, ia kembali bukan sekadar untuk mengenang, tetapi untuk menelusuri kedalaman yang belum terungkap. Di tengah terbangnya yang tenang, ia melintasi Kota Feifei, kota yang dahulu menyimpan kenangan bersama Vuyei tawa kecilnya, rasa takut di malam hari, dan janji-janji kecil yang kini terasa besar. Hatinya menghangat dan menegang sekaligus, namun ia tidak memperlambat lajunya. Waktunya tidak untuk nostalgia, tapi untuk pendewasaan.
Beberapa hari perjalanan kemudian, Zienxi tiba di tepi luar Lembah Arashi. Di sanalah, di tempat bernama Pinggir Arus, tubuhnya mendarat perlahan, kaki menyentuh tanah yang telah mengenalnya. Ia berdiri diam sejenak, membiarkan angin pertama lembah menyapa wajahnya. Tanah di sini masih mengandung riak energi petir dan hembusan angin yang lembut namun tajam. Ia duduk bersila dan mulai berkultivasi. Energi spiritual dari alam sekitar mengalir masuk ke tubuhnya perlahan, seolah menyambut kembalinya seorang murid yang telah pergi terlalu lama. Tiga hari berlalu dalam keheningan. Saat ia membuka matanya, ada ketenangan baru yang terpancar.
“Aku akan menelusuri lebih jauh lembah ini… mungkin aku akan menemukan sesuatu,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Ia pun mulai berjalan ke dalam lembah, melewati area di mana angin dan petir bersemayam lebih pekat. Dentuman lembut dan desiran tajam terasa di setiap langkah. Akhirnya ia tiba di tempat yang pernah ia kenal sebagai wilayah Arashi Wyrm. Tanah di sana diliputi kabut tipis, dan tumbuh-tumbuhan aneh dengan kelopak berkilau tumbuh bebas. Dari balik kabut, sesosok raksasa perlahan muncul Arashi Wyrm, ular petir legendaris. Mata makhluk itu menyala, menatap Zienxi dengan aura dominan yang bisa mengguncang hati siapapun. Namun Zienxi tetap diam, berdiri tegap. Tatapan keduanya bertemu tanpa kata. Arashi Wyrm mendekat dan mendengus, tubuh panjangnya yang mencapai seribu kaki membuat tanah bergetar.
“Mungkinkah… ada makhluk lain selain Arashi Wyrm di sini?” pikir Zienxi dalam hati, namun ia tidak merasa terancam. Ia justru duduk di atas batu besar, mulai menyerap energi sekitar, mencoba memahami. Namun sebulan berlalu, dan pemahamannya terasa terhenti di dinding yang tak kasat mata.
“Aku belum bisa memahami lebih dalam… apakah karena tingkat kultivasiku masih rendah? Atau karena pemahamanku yang dangkal?” tanyanya pelan.
Ia pun memutuskan untuk bergerak ke wilayah lain di lembah: tempat yang dikenal sebagai Lingkaran Angin Mati. Saat ia memasuki area itu, dunia seolah teredam. Tidak ada suara. Tidak ada angin. Tidak ada gema. Tidak ada detak napas. Tempat ini sempurna untuk menyatu dengan alam… atau tersesat dalam pikirannya sendiri. Ia hanya lewat, tidak berani duduk terlalu lama, dan melanjutkan ke tempat berikutnya, Kolam Refleksi Petir.
Saat ia melihatnya, kilatan langit memantul di permukaan air, seolah langit dan bumi sedang berbicara satu sama lain. “Ini adalah Kolam Refleksi Petir… apakah aku bisa memahami elemen petir di sini?” bisiknya penuh harap. Ia duduk, mencoba bermeditasi. Namun begitu energi petir menyentuh tubuhnya, ia terlempar ke belakang. Terlalu kuat. Tubuhnya belum siap.
Zienxi bangkit, sedikit terengah. Ia tidak memaksa, dan memilih menjelajahi lembah lebih jauh. Beberapa waktu kemudian, ia menemukan jalur alami di sisi barat tidak tertandai pada peta qi maupun oleh spiritual sense para kultivator. Tempat itu seperti oasis tersembunyi: batuan kristal membentuk dinding alami yang berkilau, dan vegetasi ringan tumbuh indah. Kabut pagi menari lembut, menciptakan pelangi samar yang tampak hampir ilusi. Energi di sini… aneh, tetapi damai. Campuran angin dan cahaya, lembut namun tajam. Di sela rerumputan, terlihat makhluk kecil seperti Aether Wisp Fox dan Breeze Moth berlarian, makhluk elemental langka.
Zienxi menarik napas dalam, duduk, dan menutup mata. Energi yang ia rasakan di sini jauh berbeda dari tempat lain di lembah. Ia mulai berkultivasi. Satu bulan. Dua bulan. Tiga bulan. Hingga tujuh bulan berlalu. Saat ia membuka matanya, cahaya halus mengalir di iris matanya. Tubuhnya terasa lebih ringan, lebih jernih. Fluktuasi energi dalam dirinya jadi lebih halus, keterikatan dengan elemen angin meningkat, dan pemurnian qi terasa lebih cepat.
“Aku merasa mendapatkan sedikit energi angin dan cahaya di sini,” ujarnya tenang, “dan pemahamanku terhadap fluktuasi energi di sini meningkat, walaupun tidak banyak. Keterikatanku dengan elemen angin bertambah… mungkin mantraku akan semakin kuat.”
Zienxi mengangkat tangannya perlahan, membentuk mantra. Hembusan angin spiral mengikuti gerakannya. Kekuatan mantra itu memang lebih halus dan padat daripada sebelumnya. Namun sebelum ia sempat merasa puas, angin di sekelilingnya mulai berputar tak terkendali. Spiral besar terbentuk di udara, tak kasat mata namun nyata. Dari tengah pusaran itu, muncullah sesosok makhluk agung.
Seekor makhluk menyerupai burung raksasa, namun memiliki kemurnian yang tak bisa dijelaskan. Bulu-bulunya berwarna perak kebiruan, sayap transparannya berkilau seperti embun di pagi hari, matanya berwarna perak dengan pola bulan sabit di dalamnya. Sosok itu berdiri, atau lebih tepatnya melayang, dengan keagungan yang tidak mengintimidasi, melainkan menenangkan. Ia adalah Aeravis Lunara, Penjaga Langkan Aetheris.
Makhluk itu mengepakkan sayapnya perlahan, lalu suaranya terdengar, tidak keluar dari paruhnya melainkan langsung menyentuh kesadaran.
“Langkahmu telah membangunkan napas angin dan matahari. Maka katakan, Lawzi Zienxi… apa yang mendorongmu berjalan sejauh ini?”
Zienxi terdiam, sedikit tertegun. Suara itu tak hanya terdengar, tapi terasa. Ia mengangkat wajah dan menjawab dengan jujur, “Untuk memahami… dan menjadi.”
Namun belum sempat ia melanjutkan, Aeravis Lunara mengepakkan sayapnya lagi. Dunia di sekitar Zienxi lenyap. Ia dibawa ke dalam ruang spiritual, ruang hampa. Tidak ada suara dedaunan. Tidak ada napas. Tidak ada detak jantung. Tidak ada gema. Hanya keheningan yang pekat, begitu pekat hingga terasa menusuk jiwa.
“Di mana ini…?” gumamnya dalam hati. Namun suara lembut menggema di dalam ruang sunyi itu.
“Bisakah kau mendengar suara hatimu dalam diam dunia?”
Zienxi memejamkan mata, mencoba menyimak, bukan dengan telinga, tetapi dengan batinnya. Lalu angin bertiup, lembut, menyusup ke dalam dirinya. Bukan dingin, bukan menenangkan… tapi seperti menyentuh inti kesadaran. Dari dalam dirinya, muncul bisikan-bisikan yang tak berasal dari luar.
“Apakah kau akan membunuh siapa pun demi kekuatan?”
“Apakah kau ingin dikenal, atau sekadar dikenang?”
“Apakah jalanmu pantas… atau hanya keras?”
Pertanyaan-pertanyaan itu mengguncang keyakinan terdalamnya. Namun Zienxi tak melawan. Ia tak bersembunyi. Ia menerima. Ia biarkan jiwanya menjawab.
“Aku… tidak sempurna,” bisiknya lirih. “Tapi aku tidak ingin menjadi alat dendam. Aku ingin menjadi kekuatan… untuk melindungi.”
Badai sunyi mereda. Angin kembali mengalir perlahan. Hangat. Penuh makna.
Dalam diam yang nyaris tak bernapas, ruang kosong di hadapan Zienxi mulai bergetar. Setelah berhasil melewati ujian pertama dari Aeravis, energi di sekitar tubuhnya terasa berbeda lebih padat, lebih pekat, seperti menahan napas dunia itu sendiri. Lantai di bawahnya tidak benar-benar tanah, tapi juga bukan langit. Cahaya dan kegelapan berputar membentuk pusaran, hingga cahaya itu menggumpal di depannya, seperti cermin yang terbelah dari kehampaan. Dan dari dalamnya… keluar sesosok makhluk yang membuat tubuh Zienxi menegang.
Itu adalah dirinya, namun lebih tinggi, dengan tubuh yang dipenuhi garis-garis energi merah gelap, auranya seperti badai yang ingin menghancurkan segalanya. Mata sosok itu memancarkan kebencian yang mendalam, bukan pada dunia… tapi pada kelemahan, pada kesabaran, pada belas kasih.
Bayangan Zienxi menatapnya lurus dengan tatapan tajam. Suaranya berat dan dalam, seperti suara guntur yang menahan amarah selama ribuan tahun.
“Kau tahu takdir keluargamu. Kau tahu bagaimana mereka dihancurkan, dikhianati, dibantai… Mengapa kau masih bersikap lembut?” Bayangan itu melangkah maju, suaranya menggema. “Gunakan kekuatan itu. Bangkitlah sebagai dewa penghancur. Buang belas kasihanmu! Kau dan aku… kita bisa menjadi akhir dari dunia yang busuk ini!”
Zienxi menggenggam kedua tangannya dengan kuat. Nafasnya berat, jantungnya berdebar. Kata-kata bayangan itu seperti racun yang memanggil sisi tergelap dari dalam dirinya, sisi yang sudah lama ia redam, sisi yang ingin membalas semua rasa sakit dengan darah dan api.
Namun, ia tidak mundur. Dengan langkah mantap, ia mendekati sosok itu. Wajahnya tenang, matanya tetap menatap lurus, meski dalam hatinya berkecamuk.
“Aku tidak akan menyangkalmu,” ucap Zienxi dengan nada yang dalam namun tenang. “Karena kau adalah bagian dari diriku. Kau adalah luka yang membentukku, dendam yang menuntunku hingga ke titik ini.” Ia berhenti tepat di depan bayangan itu, wajah mereka saling mencerminkan satu sama lain.
“Tapi…” lanjutnya, “aku memilih. Dan aku memilih bukan kau yang memimpin.”
Untuk sesaat, keheningan menyelimuti segalanya.
Cahaya di sekeliling mulai bergetar, seperti tersentak oleh kebenaran yang diucapkan Zienxi. Bayangan itu terdiam, dan dalam matanya yang penuh amarah, untuk sesaat muncul keretakan… seperti topeng yang mulai rapuh. Sosok itu mulai memudar, tubuhnya terurai menjadi serpihan cahaya merah yang menghilang pelan-pelan ke udara, seperti abu yang tertiup angin.
Cermin cahaya pun pecah, dan dari pecahannya muncul titik-titik cahaya yang mengitari Zienxi. Auranya berubah. Bukan lagi hanya kekuatan… tetapi keteguhan. Ia tidak menghilangkan kegelapan dalam dirinya, namun memilih mengendalikannya.