Ficool

Chapter 5 - CINTA YANG HILANG TANPA DISADARI

Chapter 5: Surat yang Tak Pernah Dikirim

Hujan turun deras malam itu, seperti menggantikan air mata yang tak sempat Kalya keluarkan di meja makan beberapa hari lalu.

Sejak percakapan jujur itu, Arvin dan Kalya tak banyak bicara. Mereka tetap tinggal di rumah yang sama, tidur di ranjang yang sama, tapi tak ada pelukan, tak ada percakapan tentang apa yang mereka rasakan. Seolah-olah... kejujuran itu justru membuka jurang yang lebih dalam.

Malam ini, Kalya duduk sendirian di ruang kerja kecilnya. Di hadapannya selembar kertas putih dan pena yang gemetar di tangannya.

Ia mulai menulis:

"Arvin,Aku menulis ini bukan karena aku sudah menyerah. Tapi karena aku sudah terlalu lama diam. Dan aku tahu... cinta tak bisa bertahan dalam diam yang terlalu panjang.

Aku rindu kamu. Tapi bukan kamu yang hari ini. Aku rindu versi dirimu yang dulu—yang pulang membawa cerita, yang memelukku saat aku gugup sebelum presentasi, yang mengingatkan aku makan, yang menatap mataku saat bilang, 'kita bisa lewati semuanya.'

Sekarang kamu selalu sibuk, dan aku terlalu takut mengganggu. Kita seperti dua aktor yang memerankan pasangan... tapi lupa caranya mencintai.

Kadang aku berpikir... apakah kita hanya bertahan karena kita tidak tahu bagaimana mengakhiri?"*

Kalya berhenti. Tangannya gemetar. Hatinya perih.

Ia melipat surat itu, memasukkannya ke dalam amplop, dan menuliskan nama Arvin di depannya.

Namun saat hendak meletakkannya di meja makan... ia berhenti.

Ia kembali ke ruang kerja, membuka laci, dan menyimpan surat itu di sana—bersama banyak surat lain yang tak pernah ia kirimkan.

Karena sesungguhnya, ini bukan kali pertama ia menulis seperti itu. Tapi setiap kali, ia takut. Takut menyakiti. Takut ditinggal. Atau... mungkin takut menghadapi kebenaran bahwa ia mencintai seseorang yang mungkin tak lagi mencintainya.

Di kamar, Arvin membuka mata. Ia mendengar langkah Kalya tadi. Ia tahu. Tapi ia juga takut.

Karena dalam hatinya... ia pun punya banyak hal yang ingin dikatakan. Tapi tak tahu harus mulai dari mana.

Dan malam itu, dua hati yang sama-sama ingin bicara... tetap memilih diam.

More Chapters