Chapter 2: Percakapan yang Hilang
Malam telah lewat, tapi Kalya masih terjaga. Ia duduk di ruang tamu, lampu redup menyinari buku catatan kecil yang terbuka di pangkuannya. Di sana, ada daftar sederhana:
Hal-hal yang ingin aku bicarakan dengan Arvin:
Kenapa kamu pulang semakin malam?
Apa kamu masih bahagia bersamaku?
Kenapa kita berhenti tertawa?
Masihkah kamu mencintaiku?
Tapi semua itu hanya tertulis. Tak pernah terucap.
Dari balik pintu kamar, terdengar suara napas Arvin yang berat dan stabil. Ia sudah tertidur. Kalya tahu, jika ia masuk ke dalam dan memeluknya malam ini, Arvin mungkin tidak akan menolak. Tapi ia juga tahu... pelukan itu tidak akan terasa hangat.
Bukan karena tubuh Arvin dingin, tapi karena hatinya telah jauh.
Pagi harinya, mereka duduk di meja makan yang sama, memakan roti yang sama, tapi seolah berada di dua dunia yang berbeda.
"Jadwalmu hari ini?" tanya Kalya pelan.
"Meeting pagi, terus makan siang bareng klien. Malam aku mungkin pulang agak telat."
Kalya mengangguk, menggigit rotinya tanpa rasa.
"Kamu kenapa?" Arvin akhirnya bertanya, tapi tanpa menatap.
"Tidak apa-apa," jawab Kalya, tersenyum kecil—senyum yang tidak sampai ke mata.
Dan itu yang membuat hatinya makin hancur: bahkan saat ia diam, Arvin tidak benar-benar bertanya. Dan saat ia tersenyum palsu, Arvin tidak bisa membedakannya.
Apakah ini yang disebut hubungan yang berjalan tanpa jiwa? Saling hadir, tapi tidak saling hidup?
Hari itu, Kalya pergi ke kafe kecil tempat biasa ia menulis. Ia membuka laptopnya, mencoba menyelesaikan naskah novel barunya. Tapi pikirannya terus berputar.
Ia membuka folder lama berjudul: "Kalya & Arvin". Di dalamnya, video liburan, suara tawa, dan potongan momen kecil yang dulu terasa begitu penuh cinta.
Ia menekan tombol pause.
"Apakah kita masih bisa kembali ke sana?" bisiknya.
Dan untuk pertama kalinya, ia membuka tab baru... dan menulis:
"Apa jadinya jika dua orang saling mencintai, tapi kehilangan cara untuk berbicara satu sama lain?"