Chapter 12: Pergi untuk Kembali
Tiga hari setelah menerima undangan itu, Ren akhirnya mengambil keputusan.
Ia mengetuk pintu kamar Ayra menjelang malam, dengan ransel di punggung dan senyum yang setengah ragu.
"Aku berangkat malam ini," katanya lirih.
Ayra, yang membuka pintu dengan piyama lusuh dan rambut masih basah habis keramas, hanya bisa menatapnya tanpa kata. Ia tahu hari ini akan datang. Tapi tetap saja—perpisahan selalu terasa berat.
Ren menyodorkan sebuah amplop kecil. "Aku tidak meninggalkan pesan. Tapi aku meninggalkan janji."
Ayra menerimanya. Tak membukanya—belum.
"Aku butuh kamu percaya satu hal," lanjut Ren. "Aku tidak pergi untuk meninggalkanmu. Aku pergi untuk kembali... dengan membawa mimpi yang selama ini aku pendam sendiri."
Ayra mengangguk. Senyumnya tipis, tapi tulus. "Aku percaya. Tapi izinkan aku egois sebentar... dan bilang aku akan rindu."
Ren menatapnya lama, lalu menarik Ayra dalam pelukan hangat. Bukan pelukan perpisahan—tapi pelukan penuh harapan.
"Aku akan kembali ke jembatan ini," bisik Ren, "dan aku ingin melihat kamu masih di sini... bukan menunggu, tapi hidup."
Ayra menahan air mata. "Aku tidak akan menunggu. Aku akan terus berjalan. Tapi... jembatan ini akan selalu jadi tempat kita bertemu."
Kereta malam itu membawa Ren menuju ibu kota.
Di jembatan, Ayra berdiri sendirian, menatap langit yang gelap tapi dipenuhi bintang. Ia membuka amplop kecil yang Ren tinggalkan. Isinya adalah satu lembar sketsa—gambar mereka berdua di jembatan, tangan mereka saling menggenggam, di bawah langit senja.
Di bawah gambar itu, hanya ada satu tulisan:
"Love is not where we meet. It's where we choose to return."
Ayra tersenyum.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Ayra merasa tenang meskipun ditinggal. Karena ia tahu—cinta yang tumbuh dengan sabar... selalu tahu jalan pulang.