Chapter 14: Bertemu Kembali di Jakarta
Suasana kota Jakarta menyambut Ayra dengan bising dan gemerlap yang bertolak belakang dari ketenangan desa. Langkahnya ragu saat turun dari kereta, tapi genggaman pada tas kecil berisi surat untuk Ren memberinya keberanian.
Ia mengikuti alamat galeri yang tertera di undangan pameran. Setiap langkah menuju tempat itu terasa seperti membuka kembali pintu ke babak yang belum ia kenal—bukan masa lalu, bukan sekadar masa kini, tapi masa depan yang belum ditulis.
Sesampainya di Galeri Arunika, suasananya hangat. Musik instrumental lembut mengalun. Dinding galeri dipenuhi karya-karya seniman muda, namun satu sudut menarik perhatian Ayra.
Serangkaian sketsa bertema "Jembatan dan Senja".
Dan di tengah-tengahnya, terpajang potret sketsa dirinya, yang berdiri dengan gaun tipis di tengah jembatan, dikelilingi kelopak bunga, mata menatap cakrawala.
Ayra menahan napas.
Sebuah suara familiar datang dari belakangnya.
"Aku hampir tidak percaya kamu benar-benar datang."
Ayra menoleh.
Ren berdiri di sana, mengenakan kemeja putih dan jeans gelap. Wajahnya sedikit lelah, tapi sorot matanya hangat—persis seperti terakhir kali ia lihat di desa.
"Aku hampir tidak percaya kamu benar-benar mengundangku," balas Ayra, tersenyum kecil.
Ren tertawa pelan. "Sebenarnya, aku takut kau tak datang."
Mereka berdiri berhadapan. Di antara mereka, tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Tapi tatapan mereka sudah cukup berkata bahwa semua jarak sudah terhapus.
"Aku membaca suratmu tadi pagi," kata Ren.
Ayra mengangkat alis. "Kau membukanya tanpa izin?"
"Surat itu tertinggal di resepsionis," katanya, pura-pura polos. "Dan aku hanya membacanya karena... aku ingin memastikan bahwa kamu datang bukan untuk melihat lukisan, tapi untukku."
Ayra tertawa kecil. "Sombong sekali kamu."
Ren menunduk sedikit, mendekat. "Ayra... kamu tetap rumahku. Tapi kalau kamu bersedia... bisakah kita mulai membangun rumah itu di kota ini?"
Ayra memandangi galeri itu. Penuh keramaian, tapi terasa hangat karena Ren di dalamnya.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa tinggal di kota sebesar ini selamanya," katanya jujur. "Tapi aku tahu satu hal—selama ada kamu... aku siap mencoba."
Ren tersenyum.
Dan saat lampu-lampu galeri mulai meredup menandai akhir pameran, mereka berjalan keluar bersama. Tak lagi di jembatan cinta, tapi kini di trotoar kota—membawa harapan yang sama.
Karena cinta sejati bukan soal tempat bertemu.
Tapi keberanian untuk tetap berjalan bersama... ke mana pun arah kehidupan membawa mereka.