Minggu pagi di rumah orang tua Rania selalu dipenuhi aroma masakan khas Ibu: opor ayam, sambal goreng kentang, dan teh manis hangat. Itu adalah ritual wajib setiap minggu pertama setelah menikah kunjungan keluarga.
Namun pagi ini, rasa lapar Rania tertutup oleh perasaan tidak nyaman yang belum bisa ia jelaskan.
Dimas duduk di sampingnya, mengenakan kemeja rapi. Sesekali dia tersenyum dan menjawab pertanyaan ringan dari Papa. Tapi Rania bisa melihat dari gerak-geriknya Dimas juga merasa aneh.
Dan seperti yang Rania duga, topik sensitif itu akhirnya muncul di meja makan, diselipkan oleh satu kalimat sederhana dari Mama.
"Ran, kamu udah telat berapa hari ini?"
Rania hampir tersedak.
Dimas berhenti mengunyah. Ruangan terasa membeku sesaat.
"M-Ma?" Rania mencoba tertawa ringan. "Baru juga nikah beberapa minggu. Kok udah nanya begitu?"
Mama tertawa, tapi ada nada serius dalam suaranya. "Ya namanya orang tua, Nak. Nanya itu wajar. Mama sama Papa cuma pengin lihat cucu sebelum pensiun total. Rumah ini juga udah kosong kalau nggak ada suara anak kecil."
Dimas berusaha tersenyum. "Doain aja, Tante. Kami masih adaptasi juga."
"Adaptasi kan nggak ngaruh ke produktivitas," celetuk sepupu Rania dari ruang tamu.
Tawa-tawa kecil terdengar. Tapi Rania merasa jantungnya makin cepat berdetak—bukan karena malu, tapi karena terpojok.
Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil sepi.Rania menatap ke luar jendela. Dimas menyetir tanpa bicara.
"Maaf," ucap Rania pelan.
Dimas menoleh cepat. "Kenapa kamu minta maaf?"
"Karena Mama aku terlalu cepat bahas soal anak."
Dimas tertawa hambar. "Itu wajar. Semua orang juga pasti nanya begitu."
"Tapi aku belum siap," ujar Rania, menunduk. "Aku bahkan belum siap jadi istri sepenuhnya... apalagi jadi ibu."
Mobil tetap melaju, tapi atmosfer di dalamnya berubah. Lebih berat.
"Aku juga belum siap," jawab Dimas akhirnya. "Dan... aku takut kamu ngerasa tertekan."
Rania menghela napas. "Kita belum pernah bahas soal ini, ya?"
"Belum."
"Jadi... kalau satu hari nanti kita memang punya anak... kamu yakin bisa jadi ayah yang baik?"
Dimas tidak langsung menjawab. Ia membelokkan mobil ke sisi jalan, mematikan mesin, dan menatap Rania lurus-lurus.
"Aku pernah takut, Ran. Takut jadi ayah yang gagal. Karena figur ayah di hidupku... ya, kamu tahu sendiri."
Rania mengangguk pelan.
"Tapi kalau kamu yang jadi ibunya," lanjut Dimas pelan, "aku rasa aku akan belajar. Pelan-pelan. Sama kayak aku belajar nyintelin jemuran yang bener semenjak nikah."
Rania tertawa kecil. Tapi ada air mata yang mulai muncul di sudut matanya.
"Mas... kalau suatu hari nanti aku positif hamil... tolong jangan panik. Jangan pergi. Jangan tarik diri."
Dimas menggenggam tangan Rania. "Aku nggak akan pergi. Bahkan kalau aku takut, aku akan tetap di sini. Sama kamu."
Malam itu, Rania menatap dua strip merah di test pack-nya.
Tangannya gemetar.Bibirnya kaku.Ia duduk di lantai kamar mandi berkeramik dingin.
Dan untuk beberapa menit, ia hanya bisa menangis.Bukan karena takut. Tapi karena cinta yang tumbuh... kini berubah jadi tanggung jawab nyata.
Ia tahu... hidup mereka akan berubah.
Tapi ia juga tahu satu hal: Dimas ada.Dan itu cukup untuk sekarang.