Ficool

Chapter 4 - Bab 4: Luka yang Mulai Mencetak

."Kamu ingin menghancurkan masa depanmu hanya karena wanita desa yang bahkan tak punya nama?"

Arsya menghela napas. "Nama bukan soal gelar, Bu. Tapi tentang nilai. Dan dia lebih berharga dari semua yang pernah saya kenal."

Ibunya menampar meja. "Kamu tidak tahu latar belakangnya! Dia janda, penuh luka, dan dunia akan mengolokmu!"

"Tapi aku kenal hatinya. Dan itu cukup."

Malam itu, Rina duduk di beranda rumah Ibu Rahayu. Langit bertabur bintang. Udara dingin menusuk kulit, tapi dada terasa hangat. Dia tidak tahu bagaimana akhir cerita ini, tapi untuk pertama kalinya, dia tidak takut lagi.

Tiba-tiba, suara langkah terdengar di jalanan tanah.

Rina menoleh. Arsya berdiri di sana. Wajahnya lelah, tapi senyumnya masih sama teduh dan jujur.

"Aku sudah bicara pada keluargaku," katanya pelan. "Aku kehilangan banyak. Tapi aku tidak kehilangan diriku sendiri."

Rina berdiri, matanya menatap bingung. "Kamu memilih aku sepenuhnya?"

Arsya mengangguk. "Aku memilih kita. Walau berat. Walau penuh luka. Karena kamu rumahku."

Rina menangis. Tapi kali ini, tidak ada rasa malu. Tidak ada ketakutan.

Hanya rasa… diterima.

"Kadang cinta tidak datang dengan bunga dan janji indah. Terkadang ia datang dengan luka dan kesediaan

untuk menyembuhkannya bersama."

Pagi itu, matahari seolah lebih hangat dari biasanya. Rina mengenakan kebaya sederhana berwarna krem, rambutnya dikuncir rapi, dan senyumnya meskipun masih gugup tetapi tampak seperti bunga yang baru mekar.

Hari ini, untuk pertama kalinya, Rina dan Arsya berjalan berdua melewati jalan desa tanpa sembunyi-sembunyi.

Beberapa orang masih berbisik, sebagian mencibir, tapi kali ini Rina tidak tunduk. Ia menatap lurus ke depan. Di sisinya, Arsya bertekad memegang teguh.

"Kita tak bisa mengubah semua orang," kata Arsya pelan. "Tapi kita bisa mengubah cara kita berjalan di dunia ini."

Di tengah perjalanan, seorang anak kecil menyapa Rina, "Kak Rina hari ini cantik ya."

Rina tersenyum dan mengelus kepala anak itu. Untuk pertama kalinya, pujian tak membuatnya takut. Ia tak merasa pura-pura. Ia merasa layak.

Mereka sampai di balai desa. Di sana, Arsya berdiri di depan warga dan kepala desa, lalu berbicara dengan suara lantang.

"Saya tidak datang ke sini hanya untuk mencari lahan. Saya datang untuk menemukan rumah, dan saya diarahkan ke hati seorang perempuan desa bernama Rina."

Semuanya bisa dibayangkan. Rina menahan napas.

Arsya melanjutkan, "Saya akan membuka program pertanian organik di sini. Tapi bukan hanya itu. Saya ingin warga desa ini tahu, bahwa perempuan seperti Rina bukan untuk dikasihani. Tapi dicontoh."

Tepuk tangan perlahan terdengar. Disusul lebih banyak lagi. Bahkan dari mulut-mulut yang dulu menghina.

Hari itu menjadi hari di mana Rina, untuk pertama kalinya, tidak hanya dicintai tapi dihormati.

Kita tidak harus sempurna untuk pantas dicintai. Kita hanya perlu jujur ​​dengan luka dan tetap memilih berjalan.

More Chapters