Ficool

Chapter 6 - Bab 6: Warisan Luka, Warisan Harapan

Tiga hari setelah Rina menjenguk ayahnya, kabar duka datang sang ayah meninggal dunia di tengah malam, tenang dalam tidurnya. Rina tidak menangis histeris. Tapi matanya basah sepanjang pemakaman, seakan kenangan demi kenangan runtuh perlahan dalam diam.

Ia berdiri di sisi makam, menggenggam bunga melati yang perlahan dilepaskannya ke atas tanah merah.

"Selamat jalan, Ayah semoga luka di antara kita ikut dikubur di sini."

Namun, saat tahlil selesai dan pelayat mulai bubar, datang kejutan yang tak pernah ia bayangkan.

Seorang pria bersetelan abu-abu menghampirinya dan menyerahkan sebuah map.

"Ini surat wasiat almarhum," katanya sopan. "Dan anda tercatat sebagai salah satu ahli waris utama."

Rina tertegun. "Ahli waris?"

Adi datang mendekat, wajahnya merah padam. "Kak! Ini gak adil! Ayah baru ketemu Kakak beberapa hari, tiba-tiba Kakak dapat separuh tanah sawah dan rumah?!"

Adi?" Rina mencoba menjelaskan, tapi amarah sang adik meledak.

"Kamu pergi ninggalin keluarga, Kak! Kamu bukan bagian dari kami lagi! Kamu gak tahu gimana susahnya aku rawat Ayah selama ini!"

"Dan kamu gak tahu gimana aku dibuang seolah tak pernah jadi anak!" balas Rina, matanya kini tajam.

Keributan kecil itu disaksikan warga desa yang hadir. Bisik-bisik kembali bermunculan. Tapi kali ini, Rina tak mundur. Ia berdiri tenang, meski hatinya berkecamuk.

"Ambillah semua warisan itu, Di. Aku gak datang untuk harta. Aku datang untuk mengubur dendam. Kalau warisan itu bikin kamu lebih tenang, aku ikhlaskan."

Adi terdiam.

Rina menyerahkan map itu kembali ke pengacara. "Sampaikan pada notaris. Saya tak menuntut apa pun."

Malam itu, ia kembali ke rumah. Arsya menunggunya di beranda, seperti biasa, dengan dua cangkir teh hangat.

"Aku melepaskan semuanya, Syah…" kata Rina, suara lirih namun mantap. "Harta, dendam, amarah. Aku gak mau jadi bagian dari warisan luka."

Arsya tersenyum. "Dan karena itu kamu jauh lebih kaya dari siapa pun."

Rina tersenyum. Untuk pertama kalinya, ringan. Bebas.

"Kadang, kekayaan terbesar bukanlah apa yang kita terima tapi apa yang kita rela lepaskan."

Hari itu, hujan turun pelan di desa. Tapi langit di hati Rina justru cerah. Ia duduk di ruangan kecil yang dulu hanya balai kosong, kini telah berubah jadi rumah belajar desa. Dindingnya penuh gambar, rak-rak berisi buku sumbangan dari kota, dan suara tawa anak-anak bergema hingga ke jalan kecil depan rumah.

Namun, di tengah senyum bahagia itu, datang sebuah kabar yang mengguncang hatinya.

Seorang wanita muda dari kota datang membawa surat resmi:

Undangan kerja dari sebuah yayasan pendidikan besar di Jakarta.

Tawaran menjadi koordinator program literasi nasional.

Rina membaca surat itu berkali-kali. Gajinya besar. Dampaknya luas. Mimpinya sejak dulu. Tapi jauh dari desa. Jauh dari anak-anak yang sudah jadi bagian hidupnya. Dan tentu saja jauh dari Arsya.

"Aku tahu ini impianmu," kata Arsya malam itu, saat mereka duduk berdua di bawah pohon jambu yang dulu jadi tempat Rina menangis diam-diam. "Kalau kamu mau pergi aku akan mendukung."

Rina menatapnya. "Tapi kamu ada di sini. Anak-anak itu mereka sudah mengandalkanku."

"Rina," ucap Arsya lembut, "Jangan pernah memilih bertahan hanya karena takut kehilangan. Kamu bukan perempuan yang hidup dalam keraguan. Kamu perempuan yang membangun terang di mana pun kamu berpijak."

Air mata mengalir perlahan. "Aku takut, Syah. Takut kehilangan semuanya lagi."

"Kamu gak akan kehilangan apa-apa," jawab Arsya. "Kalau niatmu untuk memberi, kamu akan selalu dicari di mana pun kamu berada."

Keesokan paginya, Rina mengumpulkan anak-anak dan warga desa.

Dengan suara bergetar, ia menyampaikan keputusannya:

Ia akan pergi ke Jakarta.

Bukan untuk melarikan diri, tapi untuk menyebarkan cahaya yang dulu ia temukan dari kegelapan.

Anak-anak menangis. Beberapa warga menahan kecewa. Tapi mereka semua tahu, Rina bukan meninggalkan Rina sedang menumbuhkan cahaya yang lebih besar.

Di stasiun, saat kereta mulai datang, Arsya memeluknya erat.

"Aku gak akan tahan lama tanpa kamu," bisiknya.

Rina menatapnya, mata berkaca. "Kalau kita sama-sama berjuang untuk hal yang benar cinta kita gak akan hilang."

"Cinta yang dewasa bukan yang terus memeluk tapi yang saling mendorong untuk terbang lebih tinggi."Jakarta menyambut Rina dengan gegap gempita: gedung-gedung tinggi, jalanan bising, dan dunia yang bergerak cepat terlalu cepat. Ia merasa kecil lagi, seperti dulu saat pertama kali ditinggal suami di gubuk reot desa. Tapi kali ini berbeda. Ia datang dengan tekad, bukan trauma.

Di kantor yayasan, ia diperlakukan istimewa. Para staf menghormatinya, para pengurus kagum akan perjuangannya. Dalam waktu sebulan, program literasi yang dipimpinnya mulai menyebar ke berbagai kota kecil.

Namun, semakin tinggi ia melangkah, semakin besar pula tekanan datang.

Salah satu petinggi yayasan Bagas, pria muda tampan lulusan luar negeri sering memberikan perhatian lebih. Terlalu lebih.

"Rina, kamu luar biasa dan jujur, aku gak hanya tertarik dengan kerjamu," ucap Bagas suatu malam setelah rapat besar. "Kamu punya sesuatu yang jarang dimiliki perempuan zaman sekarang ketulusan dan keberanian."

Rina menegang. Ia tersenyum kaku. "Terima kasih, Pak. Tapi saya di sini karena misi, bukan untuk."

"Panggil aku Bagas saja. Dan maaf kalau aku terlalu cepat tapi kadang cinta gak perlu waktu lama untuk tumbuh."

Rina pulang malam itu dengan hati yang bergejolak. Bukan karena ia tertarik tapi karena ia tahu, dunia ini akan terus mengujinya. Dan cintanya kepada Arsya sedang berada jauh di desa.

Di sisi lain, Arsya mulai jarang mengirim kabar. Ia sibuk dengan proyek pertanian barunya, membangun koperasi untuk warga. Tapi Rina tahu, bukan hanya kesibukan ada keraguan juga. Jarak itu seperti benih sunyi yang mulai tumbuh diam-diam.

Suatu malam, Rina duduk di balkon apartemennya, menatap kota yang tak pernah tidur.

Ia membuka pesan suara di ponselnya. Suara Arsya yang lama tak terdengar muncul:

"Rin, aku tidak tahu kamu masih ingat kampung ini atau tidak. Tapi aku tetap di sini. Bukan untuk menunggumu tapi untuk menjaga apa yang kita mulai bersama."

Air matanya jatuh. Bukan karena lemah. Tapi karena ia tahu: cinta sejati bukan yang membelenggu tapi yang tetap tumbuh, meski ditanam di tempat yang berbeda.

"Godaan bukan selalu tentang rasa tapi tentang pilihan: siapa yang kita ingat saat semua orang mengagumi kita."

Pagi itu, Rina datang ke kantor dengan senyum seperti biasa. Tapi sesuatu terasa aneh. Suasana hening. Tatapan pegawai lain berbeda. Bahkan sekretaris kepala yayasan menunduk dan menghindari kontak mata.

Begitu ia masuk ruangannya, dua pria berbadan besar menghampirinya.

"Maaf, Bu Rina. Kami diminta mendampingi Anda ke ruang rapat dewan."

Jantung Rina berdetak cepat.

Di ruang rapat, semua petinggi yayasan sudah duduk. Salah satu dari mereka meletakkan berkas di atas meja.

"Rina Lestari," ucap Ketua Dewan dingin. "Kami menerima laporan adanya penyalahgunaan dana program literasi cabang Sumatera. Dana sebesar 250 juta rupiah mengalir ke rekening atas namamu."

Rina membeku. "Itu tidak mungkin. Saya tidak pernah."

"Bukti sudah cukup," potong seorang pengurus. "Kamu akan diberhentikan sementara sampai investigasi selesai."

Rina pulang malam itu dengan tubuh gemetar. Ia tahu ini bukan kesalahan sistem. Ini dirancang. Dipasang.

Dan satu nama terlintas di benaknya: Bagas.

Sejak penolakannya yang halus dua minggu lalu, pria itu berubah dingin. Profesional, ya, tapi tidak lagi mendukungnya di depan publik.

Rina mencoba menghubungi Arsya malam itu. Tapi sinyal buruk. Pesan hanya dibaca, tak dibalas. Hatinya hancur—karena fitnah, karena kesepian, karena merasa sendirian di tengah kota sebesar ini.

Esoknya, berita mulai menyebar. Media lokal menulis:

 "Aktivis Perempuan Diduga Korupsi Dana Pendidikan."

Foto Rina tersebar. Anak-anak di desa yang mengenalnya mulai bertanya. Beberapa guru komunitas mulai ragu.

Ia duduk di lantai kamarnya, wajah di antara tangan.

Lalu, satu suara muncul dari pintu.

"Sudah kuduga kau akan terpuruk, karena dunia ini tidak butuh perempuan yang terlalu kuat," ucap Bagas, yang berdiri di ambang pintu. "Kalau dari awal kamu memilih berdiri di sisiku, semua ini takkan terjadi."

Rina berdiri. Perlahan tapi mantap.

"Dan karena aku menolak kamu merusak hidupku?"

Bagas mendekat. "Kau terlalu percaya bahwa dunia bisa diubah hanya dengan niat baik."

Rina menatapnya tajam. "Kau salah. Aku percaya dunia bisa diubah asal kita tidak menyerah pada mereka yang mencoba membungkam kita."

Dengan langkah tegas, Rina mengambil tas dan pergi. Malam itu, ia kembali ke stasiun.

Kembali ke desa.

Bukan sebagai orang kalah tapi untuk membuktikan bahwa kebenaran tidak butuh gelar, kantor, atau kekuasaan hanya keberanian untuk bertahan.

"Kamu boleh jatuh seribu kali, tapi jika niatmu tulus Tuhan akan selalu kirimkan satu jalan untuk bangkit."

Kereta yang membawa Rina tiba di stasiun kecil pinggir desa menjelang subuh. Kabut pagi masih menyelimuti ladang, dan aroma tanah basah mengisi udara. Rina berdiri sejenak di tangga stasiun, menatap cakrawala yang perlahan menyala.

Ia kembali, bukan sebagai perempuan yang lari dari kota, tapi sebagai perempuan yang siap membangun kembali dari nol.

Di balai desa, beberapa warga mulai berkumpul ketika mendengar kabar kedatangannya. Beberapa memeluknya hangat, sebagian hanya tersenyum canggung dan berita fitnah itu ternyata telah lebih dulu sampai.

Namun, seseorang berdiri paling depan.

Arsya.

Wajahnya lelah, penuh tanya, namun tetap lembut. Tanpa sepatah kata, ia membuka tangannya.

Rina langsung masuk dalam pelukannya. Bukan untuk berlindung, tapi untuk menguatkan.

"Aku tidak peduli apa kata orang," bisik Arsya. "Aku cuma lihat perempuan yang tetap berdiri meski seluruh dunia ingin menjatuhkannya."

Rina menatapnya. "Aku gak akan menyerah. Aku akan mulai dari sini. Dari desa ini. Aku akan tunjukkan bahwa niat baik tak akan pernah kalah dari fitnah."

Dalam beberapa hari, Rina mengumpulkan warga. Ia mempresentasikan program belajar yang dulu ia rancang, tapi kini dengan versi lebih sederhana—berbasis komunitas, mandiri, dan tanpa ketergantungan pada dana besar.

Ia mulai mengajar lagi. Anak-anak kembali datang. Bahkan ibu-ibu mulai ikut belajar baca-tulis.

Namun, kejutan datang ketika seorang wartawan muda dari Jakarta datang diam-diam ke desa. Ia telah menyelidiki kasus yayasan itu sejak lama.

"Kami tahu Anda dijebak, Bu Rina. Semua bukti mulai mengarah ke satu nama: Bagas. Kami hanya butuh izin Anda untuk wawancara dan membawa bukti percakapan yang Anda simpan."

Rina mengangguk. "Ambil semuanya. Tapi bukan untuk balas dendam. Untuk melindungi perempuan lain yang mungkin mengalami hal sama."

Seminggu kemudian, berita viral:

 "Fitnah Terungkap: Pejuang Literasi Dikorbankan oleh Atasan Sendiri"

Disertai foto Rina sedang mengajar anak-anak di tengah sawah.

Dukungan mulai mengalir. Dari masyarakat, tokoh pendidikan, hingga figur publik. Rina tak lagi sendirian.

Dan suatu pagi, teleponnya berdering.

Dari pihak yayasan pusat.

"Bu Rina, kami minta maaf. Kami mohon Anda kembali."

Rina menatap ladang tempat anak-anak sedang berlarian.

"Terima kasih. Tapi rumahku… sudah ada di sini."

Kadang kita harus diusir dari istana palsu agar kita menemu kan kerajaan sejati yang kita bangun dengan hati.

More Chapters