Ficool

Chapter 7 - Bab 7: Jalan yang Memanggil Hati

Tiga bulan telah berlalu sejak kebenaran terungkap. Nama Rina Lestari kini tak hanya dikenal di desa, tapi juga di luar negeri. Video kegiatan belajarnya viral, diputar dalam forum pendidikan dunia. Banyak yang tak percaya bahwa dari desa kecil yang nyaris tak ada di peta, lahir sosok yang mengguncang sistem.

Suatu pagi, Rina menerima surat berkop elegan:

"United Global Education Summit mengundang Anda sebagai pembicara kehormatan di London, mewakili perjuangan akar rumput dalam membangun pendidikan berbasis ketulusan dan komunitas."

Surat itu menggigil di tangannya. Ia menatap jendela, melihat anak-anak berlarian di lapangan kecil yang kini jadi taman baca. Lalu, ia menatap wajah Arsya yang duduk di teras, menggiling kopi dengan sabar.

"Syah aku diundang ke London," ucap Rina pelan.

Arsya terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Mimpi yang dulu kamu ceritakan di bawah pohon jambu itu sudah datang mencarimu."

"Tapi…" Rina ragu, "kalau aku pergi, siapa yang lanjutin semua ini? Anak-anak, program koperasi, taman baca."

"Kamu sudah tanam benihnya. Sekarang biar aku yang sirami di sini. Pergilah. Bukan untuk tinggalkan kami, tapi untuk bawa suara kami ke dunia luar."

Air mata Rina jatuh perlahan.

Malam itu, mereka duduk berdua menatap bintang, seperti malam-malam sebelumnya.

"Kalau aku pergi jauh kamu masih akan tunggu aku?" Tanya Rina lirih.

Arsya tersenyum tipis. "Aku gak nunggu kamu kembali karena hatimu gak pernah pergi."

Lalu, ia mengeluarkan kotak kecil. Sebuah cincin perak sederhana berisi batu akik desa.

"Bukan untuk mengikatmu, tapi sebagai pengingat bahwa cinta bisa kuat, bahkan tanpa rantai."

Rina tersenyum, lalu mengangguk. "Terima kasih sudah mencintai aku dengan cara paling merdeka."

Dan ketika pesawat lepas landas, Rina melihat ke bawah. Desa kecilnya mengecil, tapi cinta dan tekad yang ia bawa justru membesar.

Ia bukan lagi perempuan yang dibuang suami dan mertuanya.

Bukan lagi perempuan yang dihina.

Kini ia adalah suara dari desa, cahaya dari luka, dan harapan dari perempuan-perempuan yang pernah ditinggalkan.

"Ketulusan yang bertahan dalam luka akan tumbuh menjadi kekuatan yang mengguncang dunia."

Rina kini telah tiba di London. Dunia yang begitu berbeda, penuh lampu dan formalitas. Namun, ia tetap berjalan dengan langkah tenang, membawa semangat dari tanah yang pernah menginjaknya. Ia menjadi sorotan di forum pendidikan dunia. Suaranya jujur, tak dibuat-buat. Ketika ia berbicara, hadirin terdiam. Beberapa bahkan meneteskan air mata.

Tapi hidup tak pernah berhenti menguji.

Di sela konferensi, Rina diundang dalam sebuah jamuan mewah oleh donatur utama yayasan global. Di sana, berkumpul para tokoh elit pejabat, akademisi, dan pebisnis dari berbagai negara.

Di antara kerumunan, suara nyaring menggema.

Seorang wanita bergaun mahal Melissa, sosialita terkenal dari Indonesia menatap Rina sinis. Ia adalah mantan tunangan Arsya, yang pernah meninggalkannya demi kehidupan mewah.

"Oh, jadi ini dia perempuan desa yang katanya menginspirasi dunia?" ucap Melissa dengan tawa sinis. "Kalian percaya perempuan ini? Lihat cara bicaranya, masih kental kampung. Tangannya kasar. Pantas saja cuma cocok hidup di sawah."

Beberapa tamu tertawa kecil. Rina tersenyum, menunduk. Namun dadanya sesak. Luka lama terasa menganga lagi. Tapi sebelum ia bisa membalas dengan kata, sebuah suara berat menghentikan semuanya.

"Cukup, Melissa."

Langkah tegap masuk ke ruangan. Arsya.

Ia datang. Jauh-jauh dari desa. Mengenakan setelan rapi, tapi masih dengan aura keteguhan petani yang membangun dari bawah.

"Kalau kamu masih ukur nilai seseorang dari baju atau logat, maka kamulah yang sebenarnya miskin, miskin jiwa."

Melissa terpaku. Ruangan hening.

Arsya melangkah ke arah Rina, lalu menggenggam tangannya.

"Wanita ini pernah ditendang oleh dunia, tapi dia gak pernah tendang balik. Dia bangkit. Dan sekarang, dunia mendengarnya."

"Cinta saya padanya bukan karena siapa dia di mata orang. Tapi karena saya tahu siapa dia di mata Tuhan."

Suasana berubah. Tamu-tamu yang tadi tersenyum sinis kini berdiri dan memberi tepuk tangan.

Rina menatap Arsya dengan mata berkaca.

"Kamu datang?"

Arsya mengangguk. "Bagaimana aku bisa diam saat dunia coba menjatuhkan perempuan yang aku cintai?"

Malam itu, mereka berdansa untuk pertama kalinya di bawah lampu kristal, namun dengan hati yang tetap sederhana.

"Kamu gak harus jadi siapa-siapa untuk dicintai cukup jadi dirimu, yang utuh meski pernah patah."

Perjalanan pulang dari London bukan sekadar kembali ke tanah air. Bagi Rina, itu seperti membawa satu dunia baru dalam pelukannya. Dunia yang dahulu menolaknya, kini memberi tempat. Ia dan Arsya duduk berdampingan di pesawat, saling menggenggam tangan, sesekali saling tersenyum tanpa kata. Cinta mereka tumbuh bukan dari kemewahan, tapi dari luka yang saling diobati.

Sesampainya di bandara, rombongan kecil dari kampung telah menunggu. Anak-anak membawa spanduk bertuliskan:

"Selamat datang, Bu Rina! Kami bangga padamu!"

Tangis tak bisa dibendung. Rina berlutut memeluk mereka satu per satu.

Namun, belum genap satu hari di desa, berita duka menyambar hatinya.

Taman Baca Desa dibakar.

Malam sebelumnya, sekelompok orang tak dikenal menyerang taman baca yang dibangun Rina dengan sepenuh hati. Buku-buku hangus, dinding arang, meja kecil penuh coretan anak-anak kini jadi abu.

"Siapa yang tega melakukan ini?" tanya Rina dengan suara serak.

Seorang warga menunduk. "Ada yang bilang, ini karena Rina terlalu sering tampil di televisi. Ada yang iri. Mereka bilang kau cuma cari muka."

Rina terdiam.

Tangannya menggenggam sisa buku yang gosong. Di salah satu halaman, masih terlihat goresan tangan anak kecil:

"Bu Rina, aku mau jadi sepertimu suatu hari nanti."

Arsya memegang pundaknya. "Kita bisa bangun lagi."

Tapi Rina berdiri. Kali ini bukan hanya untuk bangun melainkan untuk melawan. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan semangat yang lebih besar.

Malam itu, ia mengumpulkan warga desa.

"Kalau ada yang mengira aku akan mundur karena satu bangunan dibakar mereka salah. Bangunan bisa habis. Tapi semangat? Tidak. Besok pagi, kita belajar di bawah pohon. Di mana saja. Asal ada cahaya dan harapan, di sanalah sekolah kita."

Warga terdiam. Lalu satu-satu berdiri.

"Kami bersama Bu Rina."

Dan di pagi berikutnya, hampir seluruh desa datang ke lapangan. Orang tua, anak-anak, remaja, bahkan para petani yang lelah. Mereka duduk bersila, mendengar Rina mengajar dengan papan tulis kecil.

Seorang jurnalis yang mendengar insiden ini datang tanpa diundang, memotret semuanya.

Keesokan harinya, berita itu viral:

"Ketika Buku Dibakar, Rakyat Membaca di Bawah Langit: Rina Lestari, Api yang Tak Padam."

Hanya hati yang benar-benar terbakar oleh keyakinan, yang bisa terus menyala meski diliputi abu.

Tiga hari setelah insiden pembakaran taman baca, suasana desa mulai pulih. Warga kembali bergotong royong membangun tenda belajar darurat. Anak-anak tetap datang, bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Namun di balik semangat itu, Rina merasa ada sesuatu yang belum selesai.

Dan firasatnya benar.

Sore itu, saat ia sedang menyapu sisa-sisa puing di sekitar taman baca lama, sebuah mobil mewah berwarna hitam menggelinding pelan masuk ke halaman rumahnya. Debu-debu berterbangan. Rina menatap penuh tanya.

Dari dalam mobil, turun seorang pria. Wajahnya familiar dan langsung menghantam dada Rina seperti gelombang pahit yang datang tiba-tiba.

Reza.

Suaminya yang dulu menceraikannya, mengusirnya dari rumah, dan ikut menindasnya bersama mertua.

Ia berdiri dengan jas rapi dan kacamata hitam, namun mata itu masih tajam, penuh perhitungan.

"Hai Rina," ucapnya datar. "Kita perlu bicara."

Rina mematung. Tapi tak lama, Arsya muncul dari belakang rumah. Ia berjalan tenang, berdiri di sisi Rina, lalu menatap Reza dengan tatapan penuh peringatan.

"Apa pun yang kau bawa, jangan coba-coba mengganggu kedamaian perempuan ini lagi," ucap Arsya dengan tenang namun mengandung amarah dalam.

Reza tertawa sinis. "Aku hanya ingin berdamai. Dunia sudah berubah, Rina. Aku lihat namamu di mana-mana. Bahkan di luar negeri. Dan sejujurnya, aku tak menyangka kamu bisa sejauh ini."

Rina mengangkat dagu. "Bukan karena kamu meninggalkan aku, aku berhasil. Tapi karena aku belajar bangkit dari semua kehancuran yang kamu tinggalkan."

Reza membuka map yang ia bawa. "Aku datang bukan untuk mengungkit masa lalu. Tapi ibu sakit. Mertuamu dulu, yang pernah menyakitimu. Dia ingin bertemu sebelum ajal."

Rina terdiam. Luka lama seperti disayat ulang. Bagaimana wanita itu mengusirnya dari rumah, menyebutnya wanita tak berguna.

"Dia bilang dia ingin minta maaf. Katanya, hanya kamu yang bisa memaafkannya sebelum semuanya terlambat."

Arsya melirik Rina. Ia tahu, ini bukan keputusan mudah.

Rina menarik napas panjang.

"Aku akan datang bukan karena mereka pantas dimaafkan, tapi karena aku ingin bebas dari dendam. Dan karena aku tahu hanya orang yang tulus yang bisa memberi maaf, meski pernah dilukai sedalam itu."

Malam itu, Rina duduk di beranda rumah, menatap bintang bersama Arsya.

"Kalau aku pergi ke kota untuk menemui mereka kamu akan khawatir?"

Arsya menggeleng. "Aku gak khawatir kamu terluka. Aku hanya takut kamu menyimpan luka itu sendiri."

Rina menatapnya, lalu tersenyum.

"Tenang saja. Aku bukan perempuan lemah yang dulu kamu temui di pinggir jalan. Sekarang, aku tahu bagaimana caranya pulang… meski sempat dibuang."

Kadang, memaafkan bukan soal mereka yang bersalah tapi tentang kita yang ingin melangkah tanpa beban.

Pagi itu, Rina menaiki mobil tua milik tetangga yang bersedia mengantarnya ke kota. Arsya ingin ikut, tapi Rina menolak dengan lembut.

"Ini perjalanan yang harus aku hadapi sendiri," ucapnya.

Ia menatap ke luar jendela sepanjang jalan, melihat rumah-rumah, sawah, dan bukit yang dulu menjadi saksi betapa terpuruknya hidupnya. Sekarang, semua itu terasa seperti bab lama dari novel hidupnya yang hampir selesai ditulis tapi belum ditutup.

Sesampainya di rumah mantan mertuanya, suasana hening. Rumah besar yang dulu membuatnya merasa kecil kini tampak kusam dan sepi. Pelayan lama membukakan pintu, kaget melihat siapa yang datang.

"Bu Rina? Anda kembali?"

Rina hanya tersenyum singkat. "Saya bukan kembali. Saya hanya singgah untuk menuntaskan yang tertunda."

Di ruang tamu, Reza menunggu. Ia mengangguk singkat, lalu mengantar Rina ke kamar utama. Di sana, terbaring seorang wanita tua, pucat, kurus, dan lemah.

Ibu mertuanya.

Perempuan yang dulu menyebutnya "beban," yang mencaci wajahnya, tubuhnya, bahkan keturunannya.

Kini, mata perempuan itu penuh air mata.

"Rina…" suaranya gemetar. "Aku tak tahu kamu akan benar-benar datang."

Rina duduk di kursi samping ranjang. "Saya datang bukan karena ingin melihat Ibu menderita. Saya datang karena saya percaya, setiap orang punya hak untuk meminta maaf dan setiap orang juga berhak memutuskan untuk memaafkan atau tidak."

Mertua itu terisak. "Aku salah terlalu sombong. Dulu aku hanya lihat kamu dari sisi luarnya. Aku buta. Maafkan aku, Rina."

Air mata Rina menetes, tapi ia tetap tegar.

"Saya sudah memaafkan Ibu bahkan sebelum Ibu meminta. Tapi maaf bukan berarti saya melupakan luka itu. Saya hanya tak ingin membawanya selamanya."

Perempuan tua itu memegang tangan Rina lemah. "Kamu perempuan yang kuat aku tahu, aku yang kehilangan permata saat mengusirmu."

Reza berdiri di sudut ruangan, menyaksikan semuanya. Ia mencoba berkata, "Rina, tentang semua yang dulu."

Namun Rina memotong pelan, tanpa marah.

"Aku tidak datang untuk membuka luka lama, Reza. Aku sudah punya seseorang yang mencintaiku dengan cara paling sederhana tapi paling dalam."

Ia berdiri. Menatap mereka berdua.

"Hidup sudah mengajarkan aku bahwa cinta bukan tentang siapa yang pertama datang, tapi siapa yang tetap tinggal ketika dunia runtuh."

Sebelum pergi, ia menoleh satu kali lagi dan berkata:

"Terima kasih sudah pernah membuangku. Kalau tidak, aku takkan pernah tahu betapa berharganya diriku."

Saat Rina kembali ke desa, langit senja menyambutnya dengan hangat. Di ujung jalan, Arsya sudah menunggunya—dengan senyum yang tak pernah berubah.

"Kamu sudah pulang," ucapnya.

Rina mengangguk. "Sudah. Dan kali ini tanpa luka."

Terkadang, kita harus menatap mata orang yang menyakiti kita, hanya untuk menyadari bahwa kita sudah lebih kuat dari rasa sakit itu.

Beberapa minggu setelah kunjungan ke kota, hidup di desa kembali berjalan seperti biasa—tapi tidak bagi Rina. Ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya, lebih besar dari sebelumnya. Bukan dendam, bukan ambisi, tapi misi.

Pada suatu pagi, ia menerima surat resmi dari Kementerian Pendidikan. Ternyata, proyek taman baca dan kelas bawah pohon yang viral di media sosial menarik perhatian pusat.

Isi surat itu membuat Rina terdiam beberapa saat.

"Ibu Rina Lestari, kami mengundang Anda untuk menjadi Duta Pendidikan Pedesaan Nasional, serta mengembangkan model sekolah berbasis komunitas di seluruh Indonesia."

Arsya yang duduk di beranda langsung berdiri saat Rina membacanya keras-keras.

"Kamu serius?! Itu luar biasa!"

Rina hanya tersenyum pelan. "Iya tapi kalau aku terima, itu berarti aku harus ke luar kota sering, bahkan keliling pulau. Aku akan jarang di desa. Jarang bersamamu."

Arsya menatapnya lama. Lalu berkata dengan tenang:

"Kalau kamu punya sayap, aku tidak akan pernah memotongnya. Aku justru akan berdiri di bawah, melihat kamu terbang setinggi mungkin."

Rina memeluknya. Dalam diam, air matanya menetes. Cinta yang membebaskan adalah cinta yang tak pernah membatasi.

Beberapa hari kemudian, Rina mengumpulkan warga desa. Ia berdiri di atas panggung sederhana yang dibuat dari papan bekas, tapi auranya seakan berdiri di istana.

"Saya ingin membawa nama desa ini ke mata dunia. Tapi saya tidak akan pernah benar-benar pergi. Karena akar saya di sini. Saya hanya akan tumbuh agar bisa menaungi kalian lebih luas."

Warga bersorak. Anak-anak mengangkat tangan tinggi-tinggi.

Tiba-tiba, dari belakang, seseorang menyerahkan kotak kecil pada Arsya. Ia berjalan ke depan, membuka kotak itu, dan cincin sederhana dari perak desa.

"Rina," katanya sambil berlutut. "Kita mungkin tidak punya rumah besar, atau mobil mewah. Tapi kalau kamu bersedia, aku ingin membangun dunia bersamamu dari tanah ini."

Suara warga kembali ramai. Rina menutup mulutnya. Tangis tumpah, tapi kali ini bukan karena luka, melainkan karena kebahagiaan yang tulus.

"Aku bersedia asalkan kamu tetap jadi tempat pulangku, seberapa jauh pun aku melangkah."

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, desa kecil itu menjadi saksi cinta yang tak hanya disatukan oleh janji, tapi juga perjuangan panjang.

Cinta sejati bukan soal kemewahan tapi tentang siapa yang tetap menggenggam tanganmu, bahkan setelah dunia mencoba mematahkanmu.

More Chapters