Beberapa tamu berbisik. Ada yang mencibir. Tapi ada juga yang menakjubkan secara diam-diam.
Di tengah keramaian, Ibu Ratna mendekat. Ia menatap Rina dalam-dalam, lalu berkata pelan, "Aku belum bisa sepenuhnya menerimamu, Rina. Tapi malam ini, aku memberikan tempat. Buktikan bahwa aku tidak salah membuka pintu."
Rina tersenyum kecil. "Terima kasih atas kesempatannya."
Acara berlangsung meriah. Dan di penghujung malam, ketika semua tamu berdiri untuk menyampaikan peringatan cinta seumur hidup, Arsya menggenggam tangan Rina dan berbisik:
"Semoga suatu hari kita yang berdiri di sana."
Rina merawat. Tidak menjawab. Tapi sorot matanya berkata semuanya.
Dunia terkadang tidak memberi tempat pada orang seperti kita. Tapi saat satu pintu terbuka, jangan ragu untuk melangkah meski dengan luka.
Malam yang tadinya penuh cahaya dan musik kini perlahan sepi. Tamu-tamu telah pulang, lampu aula mulai diredupkan. Rina duduk di taman hotel, melepas sepatu tinggi yang membuat kakinya pegal, lalu menghela napas panjang.
"Capek?" tanya Arsya sambil duduk di situ.
Rina tertawa kecil. "Seharian tersenyum palsu itu seni tersendiri."
Tiba-tiba, suara langkah tergesa-gesa datang dari belakang. Seorang pria berjas biru mendekati mereka. Wajahnya panik. Tangannya menggenggam amplop putih besar.
"Kak Rina," suara itu serak, takut dan sekaligus familiar.
Rina menoleh. Napasnya tercekat.
Adiknya Adi.
Adik yang telah bertahun-tahun tak pernah ia temui sejak diusir oleh keluarga setelah bercerai. Yang terakhir ia dengar, Adi ikut pamannya ke kota dan menghilang begitu saja.
"Adi? Kenapa kamu di sini?" tanya Rina berbisik.
Adi menyerahkan amplop itu. Tangannya gemetar. "Ini dari Ayah. Dia sakit keras. Paru-paru dan ginjal. Sudah sebulan di rumah sakit kabupaten. Dia minta ketemu Kakak. Terakhir."
Dunia Rina seperti berhenti sejenak.
Ayah yang dulu menamparnya karena dianggap mempermalukan keluarga. Yang menyuruhnya pergi tanpa melihat ke belakang. Sekarang dia meminta maaf? Atau hanya butuh sesuatu lagi?
Arsya menatap Rina, menunggu keputusannya.
"Apa dia benar-benar ingin bertemu atau dia ingin aku kembali meminta maaf atas seumur hidup?" tanya Rina lirih, suara retak menahan luka lama.
Adi menunduk. "Aku tidak tahu. Tapi aku tahu Kakak butuh penutupan. Kalau Kakak tidak datang sekarang mungkin tidak akan ada waktu lagi."
Rina menatap bintang malam. dingin. Hening.
Esok paginya, Rina berdiri di depan ruang perawatan rumah sakit kabupaten. Di balik pintu, ayahnya terbaring lemah dengan selang oksigen di hidung.
Saya masuk.
Mata sang ayah membuka perlahan. Wajahnya mengecil, tubuhnya tidak kokoh dulu.
"Rina" suara itu parau. "Maaf Ayah dulu terlalu keras terlalu malu terlalu bodoh."
Air mata menggenang. Rina tak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan ayahnya yang dingin. Luka lama tak sembuh dalam satu detik. Tapi malam itu, ada sesuatu yang mulai luruh perlahan, hancur, dan jatuh bersama air mata.
Maaf tidak mengubah masa lalu, tapiterkadang cukup untuk memperbaiki bagian paling dalam.