Ficool

Chapter 15 - BAB 15: PERPISAHAN DAN PERJALANAN MENUJU ASTREA

Pagi datang dengan lembut. Matahari menyinari istana kristal buatan Rion, memantulkan cahaya keemasan yang membuat seluruh kota Thorvania tampak bersinar.

Burung-burung berkicau, dan suasana kota perlahan hidup kembali seperti biasa. Namun pagi ini terasa berbeda. Lebih hening. Lebih berat.

Di halaman utama istana, Rion, Elysia, Haruto, Elyndor, dan yang lainnya sudah bersiap untuk kembali ke Kerajaan Eldrador. Di depan mereka, berdiri Seraphina dengan pakaian kerajaan yang sederhana, namun tetap anggun. Senyum lembut tergurat di wajahnya—walau mata itu menyiratkan keengganan.

“Terima kasih sudah membantuku... dan menyelamatkan kota ini,” ucap Seraphina dengan suara tenang.

Rion mengangguk pelan. “Kau juga sudah cukup kuat untuk bertahan sampai akhir. Kau melakukan yang terbaik.”

Seraphina tertawa kecil. “Haha… meski akhirnya tetap kau yang harus menyelamatkanku.”

Elysia berdiri tak jauh dari Rion, menyilangkan tangan dan hanya mengamati keduanya dengan tatapan tak terbaca. Namun saat Seraphina menatap Rion dengan mata hangat, Elysia langsung berpaling sedikit dengan bibir mengerucut pelan.

“Aku… punya permintaan terakhir,” kata Seraphina lirih, menatap Rion.

“Apa itu?”

“Boleh aku memanggilmu… Rion, si bodoh polos?”

“Huh?” Rion mengernyit heran.

Seraphina tersenyum dan melanjutkan, “Karena kau bahkan tidak sadar betapa banyak hati yang sudah kau curi.” Ia tertawa kecil, lalu menambahkan dengan nada lebih lembut, “Dan bolehkah kau tetap memanggilku ‘Phina’ meski kita berjauhan nanti?”

Rion hanya mengangguk. “Baik. Aku akan mengingatnya, Phina.”

Wajah Seraphina langsung memerah, tapi ia menahan emosinya, lalu menunduk singkat. “Selamat jalan, semuanya.”

Elysia melangkah ke depan dan menghampiri Seraphina. Keduanya saling berpandangan sejenak, lalu—tak terduga—Elysia mengulurkan tangan.

“Aku tak suka kalah. Tapi… aku juga menghargai orang yang kuat dan tulus,” katanya. “Semoga kita bertemu lagi.”

Seraphina menerima jabatannya dan tersenyum. “Dan saat itu terjadi, jangan berpikir aku akan menyerah begitu saja, Elysia.”

“Tak akan,” jawab Elysia, dengan senyum tipis penuh percaya diri.

Setelah itu, rombongan Rion pun perlahan meninggalkan halaman istana. Seraphina berdiri di sana, mengawasi punggung mereka yang makin menjauh. Saat angin berhembus lembut melewati pipinya, ia berbisik lirih:

“…Sampai jumpa, Rion.”

Rion, yang berjalan paling depan, sempat berhenti sejenak dan menoleh ke langit. Seolah bisa mendengar suara itu—dan tanpa berkata apa-apa, ia hanya tersenyum kecil sebelum melanjutkan langkahnya.

 

 

Langit cerah membentang luas, burung-burung kecil beterbangan melewati hutan yang damai. Di sepanjang jalan setapak yang membelah lembah dan pepohonan hijau, Rion dan rombongannya berjalan santai dengan suasana hati yang mulai tenang setelah semua kejadian di Thorvania.

“Wah, akhirnya bisa jalan dengan tenang tanpa dikejar monster atau raja iblis,” keluh Aiko sambil menggeliat kecil.

“Benar juga,” timpal Rin, “meski sedikit rindu juga sih sama momen-momen tegang itu, hehe…”

Yui menoleh ke Rion yang berjalan di depan. “Eh, ngomong-ngomong, Rion… dari tadi aku penasaran.”

Rion menoleh dengan ekspresi bingung. “Hm? Apa?”

“Kau selalu jadi misterius. Kita sudah bertarung bersama, makan bersama, hampir mati bersama… Tapi kita belum tahu, masa lalumu sebelum bergabung dengan kami itu seperti apa.”

“Apa kau berasal dari keluarga bangsawan?” tanya Rin.

“Jangan-jangan mantan pembunuh bayaran?” tambah Aiko, setengah bercanda.

Rion mengangkat bahu ringan, lalu menjawab dengan datar, “Aku... hanya seorang pengembara biasa. Kehilangan ingatan. Lalu bertemu dengan orang-orang yang mengajariku bertahan hidup.”

“Aku nggak percaya,” celetuk Daiki, menyipitkan matanya. “Orang kehilangan ingatan mana yang bisa bikin kastil dari es dengan satu sihir?”

“Ya, itu…” Rion menggaruk kepalanya, “insting?”

“Aku makin yakin kau nyembunyiin sesuatu,” gumam Yui curiga.

Elyndor tertawa pelan. “Itu sudah jadi ciri khas Rion, bukan? Dingin di luar, misterius di dalam.”

Rion hanya tersenyum kecil. Namun sebelum percakapan itu bisa berlanjut, Daiki tiba-tiba berkata, “Ngomong-ngomong tentang masa lalu… kalian ingat Rei?”

Kelima pahlawan lainnya—Aiko, Yui, Rin, Haruto, dan Elysia—langsung menoleh ke Daiki dengan ekspresi penuh kenangan.

“Rei?” gumam Elysia.

“Iya… teman dekat kita dulu. Yang selalu bantuin kita belajar, ngelindungin kita dari bully, dan bahkan masakin bentō buat kita waktu sekolah.”

Rion menghentikan langkahnya sesaat. Tatapannya kosong sesaat sebelum kembali tenang. Tapi hanya Elyndor yang sempat melihat perubahan ekspresi itu sekilas.

“Aku masih ingat waktu kita semua nonton film bareng di rumah Rei. Dia selalu bilang, ‘kalau nanti kita pindah dunia, pasti aku jadi NPC’,” ucap Haruto dengan senyum sedih.

“Dan anehnya… enam bulan sebelum kita dipanggil ke dunia ini, Rei dinyatakan meninggal dunia.” Ucapan Daiki itu membuat suasana langsung hening.

Aiko menunduk. “Kukira waktu itu cuma kecelakaan biasa… tapi sampai sekarang aku nggak bisa lupain.”

Yui menambahkan, “Rei itu orang paling lembut yang pernah aku kenal. Nggak mungkin bisa menyakiti siapa pun.”

Rion menggenggam tangannya erat, meski wajahnya tetap datar. Dalam hatinya, pikirannya bergolak:

“Enam bulan sebelum mereka dipanggil...? Jadi waktu antara dunia ini dan dunia asal kami... berjalan berbeda?”

Namun ia hanya menjawab pelan, “Sepertinya dia teman yang hebat.”

Elysia menatap Rion lekat-lekat, seolah ingin menangkap sesuatu dari nada suaranya. Tapi seperti biasa, Rion tetap seperti teka-teki tak terpecahkan.

Daiki menghela napas dan melanjutkan, “Yah, walau begitu… aku rasa, kalau Rei ada di dunia ini, dia pasti bangga sama kita semua.”

Yang lain mengangguk, tersenyum getir.

Rion hanya menatap ke langit biru, membiarkan cahaya matahari menyinari wajahnya. Dalam diam, ia bergumam dalam hati:

“Aku masih di sini… hanya saja kalian tak mengenaliku lagi.”

 

Malam menyelimuti kota kecil yang menjadi tempat peristirahatan mereka. Lampu-lampu lentera menggantung di sepanjang jalan, menerangi bangku-bangku dan warung-warung yang masih buka. Daiki dan Haruto duduk di salah satu bangku sambil tertawa kecil melihat Rin yang mencoba bermain dengan anak-anak kota. Sementara Aiko dan Yui menikmati teh hangat di penginapan, duduk di balkon, menghadap langit malam yang tenang.

Elysia berjalan menghampiri Rion yang tengah berdiri sendirian di sudut kota, memandangi langit berbintang.

“Kau tidak istirahat?” tanyanya lembut.

“Langit di sini… mengingatkanku pada tempat lain,” jawab Rion, tanpa menoleh.

Elysia tersenyum tipis, lalu berdiri di sampingnya. Mereka pun diam, membiarkan keheningan menyatukan mereka sebelum malam benar-benar larut.

 

Esok paginya, langit cerah menyambut mereka. Rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju Akademi Astrea.

Namun di tengah perjalanan, sekelompok monster bertanduk muncul dari balik tebing dan menghalangi jalan.

“Serangannya mendadak!” teriak Rin sambil menarik pedangnya.

“Kita yang urus!” kata Haruto dengan semangat.

Kelima pahlawan pun langsung bergerak. Daiki maju dengan tombak sihirnya, Yui dan Aiko memberikan dukungan dari belakang, sementara Rin dan Haruto maju ke garis depan.

Rion hanya berdiri tenang di belakang mereka, tangan di saku, menatap pertarungan itu dengan mata tajam.

“Aku bisa menyelesaikannya dalam satu gerakan,” gumamnya pelan dan mulai melangkah maju.

Namun, Yui tiba-tiba berteriak, “Tidak perlu, Rion! Kami ingin menguji kekuatan kami sendiri!”

Rion berhenti. Ia tersenyum kecil, lalu melipat tangan dan mengangguk, membiarkan mereka bertarung. Dalam waktu singkat, para pahlawan berhasil menaklukkan monster-monster itu.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan.

 

Sore menjelang saat menara Akademi Astrea terlihat dari kejauhan. Bangunan megah dengan arsitektur indah itu berdiri kokoh, dikelilingi taman hijau dan danau kecil.

Ketika mereka tiba di gerbang akademi, suasana mendadak ramai. Para murid dan guru berkumpul di halaman, menyambut kepulangan para pahlawan. Sorak sorai dan tepuk tangan terdengar di mana-mana.

“Selamat datang kembali, Pahlawan!” teriak salah satu guru.

Yui dan Aiko melambai sambil tersenyum malu. Rin dan Haruto membalas sapaan teman-teman mereka yang menyambut dengan hangat. Elysia juga ikut tersenyum kecil.

Namun, di tengah keramaian dan sambutan hangat itu, Rion perlahan berjalan menjauh, tanpa sepatah kata pun. Ia melewati halaman, menuruni jalan setapak di sisi gedung akademi, dan perlahan menghilang di balik pepohonan.

“Eh… Rion?” ucap Aiko yang menyadari kepergiannya.

“Dia pergi lagi,” kata Haruto.

“Aku akan menyusul—” kata Yui, tapi Elyndor segera menghentikannya dengan mengangkat tangan.

“Biarkan dia,” ucap Elyndor tenang. “Dia butuh ruangnya sendiri.”

Semua terdiam sejenak.

Daiki lalu menatap mereka satu per satu dan berkata, “Kita semua tahu siapa dia sebenarnya. Tapi… jika dia tak mau mengatakan, kita pun takkan memaksa.”

Yui mengangguk pelan. “Kita jaga rahasianya.”

“Ini cara kita membalas budi pada Rion,” lanjut Elyndor lirih. “Karena tanpa dia… kita semua mungkin sudah tak ada.”

Mereka semua mengangguk dengan tegas.

Langit senja mewarnai langit Astrea. Dan di sudut bayangan akademi, sosok Rion berdiri memandangi bangunan itu dari kejauhan, matanya seperti menerawang sesuatu jauh di masa lalu—dan masa depan yang belum ditentukan.

More Chapters