Ficool

Chapter 16 - BAB 16: ROMANCE DIKIT

Penyambutan para pahlawan pun berakhir dengan meriah, sorak sorai berganti sunyi saat malam tiba di Akademi Astrea. Bangunan megah itu kini hanya diterangi rembulan yang menggantung tenang di langit, cahayanya menimpa halaman kosong tempat seorang pemuda duduk sendiri.

Rion, seperti biasa, menyendiri. Ia duduk di bangku taman yang sunyi, dikelilingi bunga-bunga yang bermekaran di bawah sinar rembulan. Angin malam bertiup pelan, membelai rambut hitamnya yang tergerai lembut.

“Menurutku… dunia yang kedua ini tak terlalu buruk,” gumamnya lirih, menatap langit tanpa menyadari bahwa seseorang telah berdiri di belakangnya.

Elysia, yang sedari tadi mencari Rion untuk mengajaknya makan malam, terdiam di tempatnya. Ucapan lirih itu menyentuh hatinya. Dunia kedua? pikirnya, bingung namun merasa bahwa ucapan itu menyimpan rahasia yang dalam.

Ia mengurungkan niat untuk mengagetkan Rion, lalu melangkah pelan sambil berkata, “Rion, apa kau sudah makan?”

“Oh, Elysia… hanya makan sedikit tadi,” jawab Rion, masih belum sadar kalau Elysia telah mendengar gumamannya.

“Kalau begitu, makanlah. Aku membawakanmu roti, kalau kau mau.” Elysia menyodorkan roti yang masih hangat.

Rion menoleh dan tersenyum, “Dengan senang hati.”

Tatapan dan senyum lembut itu membuat jantung Elysia berdetak lebih cepat. Pipi putihnya memerah, namun ia mencoba menutupinya dengan senyum kecil.

“Elysia… ada apa denganmu?” tanya Rion, sedikit heran.

“Eh? T-tidak, bukan apa-apa,” jawab Elysia gugup, menyembunyikan wajahnya yang mulai memanas.

“Begitu… kalau begitu, kemarilah. Duduklah di sampingku.” Rion menepuk sisi kosong bangku dengan nada lembut.

“Baiklah… kalau itu maumu,” jawab Elysia ragu. Kenapa dia jadi perhatian begini? Apa dia sadar…? gumamnya.

Elysia duduk, namun menyisakan jarak. Rasa malunya tak bisa dia tahan.

Rion memiringkan kepala dan bertanya, “Kenapa kau duduk sejauh itu?”

Tanpa banyak bicara, Rion bergeser mendekat. Sangat dekat.

Elysia sontak menegang. “A-apa… serius dia?!”

Rion, tanpa menyadari efek tindakannya, menggigit roti pelan sambil menatap langit. “Udara malam di sini… menyenangkan,” katanya tenang.

Elysia mencuri pandang ke wajah Rion dari samping. Terlalu dekat… jantungku bisa meledak...

Namun sebelum sempat ia menjauh, kepala Rion perlahan bersandar ke pundaknya.

“Eh… Rion?” bisik Elysia, tubuhnya membeku.

Tak ada jawaban. Nafas Rion mulai teratur. Ia tertidur—dengan bekas remah roti masih menempel di sudut bibirnya.

Elysia menatapnya, wajahnya sepenuhnya memerah. “K-kau ini… benar-benar…”

Dengan hati-hati, ia membersihkan bekas roti itu dengan jarinya, lalu mengelapnya dengan sapu tangan kecil dari saku bajunya.

Saat itu, hanya ada keheningan lembut, rembulan yang bersinar indah, dan detak jantung Elysia yang berpacu cepat.

Malam terus berjalan. Tanpa sadar, Elysia pun ikut terlelap, bersandar ke bahu Rion.

 

Menjelang tengah malam, Rion terbangun. Cahaya bulan menerpa wajahnya dan ia langsung menyadari bahwa Elysia kini tertidur di bahunya.

Ia menatap wajah gadis itu yang terlihat damai, lalu berdiri perlahan, meraih Elysia dalam pelukannya tanpa membangunkannya.

“Aku akan mengantarmu kembali,” bisiknya lembut.

Dengan hati-hati, Rion menggendong Elysia menuju asrama putri. Sesampainya di depan kamar Elysia, ia membuka pintu perlahan, membaringkan gadis itu di tempat tidurnya.

Sebelum pergi, ia sempat menatap wajah Elysia sekali lagi.

“…Terima kasih… sudah menemaniku,” gumam Rion pelan.

Kemudian, ia pun pergi ke asramanya, menyatu kembali dalam kesunyian malam.

 

Berikut lanjutan cerita hari berikutnya di Akademi Astrea, dengan suasana romansa yang mulai memanas antara Elysia dan Seraphina, diselimuti sedikit humor dan ekspresi salting dari keduanya:

 

Pagi menjelang di Akademi Astrea. Cahaya matahari menembus jendela kaca aula utama, menyinari bangku-bangku kelas yang mulai dipenuhi para siswa. Suasana riuh mulai mereda ketika seorang pria paruh baya berseragam resmi berdiri di depan kelas.

“Selamat pagi semuanya,” ucap Profesor Arvyn, guru utama kelas tempur dan teori sihir tingkat lanjut.

“Pagi, Profesor,” jawab para murid serempak, termasuk para pahlawan—Daiki, Haruto, Rin, Yui, Aiko—serta Elysia dan Rion yang duduk di pojok dekat jendela.

“Baiklah. Sebelum kita mulai pelajaran hari ini, ada satu pengumuman penting,” kata Profesor Arvyn sambil tersenyum kecil. “Mulai hari ini, kita akan kedatangan satu murid baru yang akan bergabung dengan kelas kita.”

Semua mata langsung tertuju ke arah pintu kelas.

Langkah pelan terdengar dari balik pintu kayu yang terbuka perlahan. Gadis berambut panjang ungu keperakan itu melangkah masuk dengan anggun, mengenakan seragam akademi yang menonjolkan aura bangsawannya. Mata ungunya memindai kelas sejenak, hingga akhirnya menatap lurus ke arah satu orang—Rion.

“Aku Seraphina von Albrecht, putri dari Kerajaan Thorvania. Mohon kerja samanya,” ucapnya dengan nada sopan dan suara lembut, lalu tersenyum manis.

Kelas seketika gaduh.

“Eh?! Putri kerajaan?!”

“Kenapa dia sekolah di sini?!”

Elysia terdiam, matanya melebar. “Seraphina…?”

Sementara itu, Rion hanya menatap tenang, tidak menunjukkan ekspresi terkejut sedikit pun. Tatapannya tetap lembut, namun datar. Seraphina, yang menangkap reaksi Rion—atau lebih tepatnya, ketidakreaksiannya—malah terlihat tersenyum lebih lembut, seolah hanya memperhatikan dia seorang.

“Silakan duduk, Nona Seraphina. Tempat kosong ada di sebelah Rion,” ucap Profesor.

Detik itu juga, Elysia sontak menoleh ke arah bangku di sebelah Rion yang biasanya kosong. “Hah? Di… sebelah dia?”

Seraphina berjalan pelan dan duduk dengan tenang di samping Rion.

“Pagi, Rion,” ucapnya lembut dengan senyuman manis yang cukup membuat beberapa siswa perempuan gemetar cemburu.

“Pagi, Phina,” jawab Rion, masih datar tapi dengan nada yang tidak bisa disalahartikan sebagai acuh.

“Phina…?” bisik Elysia, bibirnya sedikit mengerucut.

Selama pelajaran berlangsung, suasana menjadi aneh. Elysia yang biasanya duduk di samping Rion, kini hanya bisa melirik ke arah Seraphina dari dua bangku sebelah. Pandangannya menusuk, namun wajahnya tetap tersenyum.

Seraphina beberapa kali mendekatkan wajah ke arah Rion saat bertanya soal materi, meski sebenarnya ia tahu jawabannya.

“Rion, yang ini bagaimana cara merapalnya?” tanya Seraphina manja, menunjuk buku sihir yang terbuka.

“Begini.” Rion dengan tenang menjelaskan tanpa curiga.

Elysia mulai menggigit ujung pena. “Aneh... biasanya dia dingin, tapi sekarang malah menjelaskan dengan sabar begitu...”

Saat istirahat, Elysia langsung berdiri dan menghampiri bangku mereka.

“Rion, ayo makan siang bersamaku. Aku buatkan bekal spesial hari ini,” ajaknya sambil tersenyum menahan tekanan batin.

Namun sebelum Rion menjawab, Seraphina menimpali, “Maaf Elysia, tapi aku sudah lebih dulu mengajak Rion keliling akademi. Sebagai murid baru, aku butuh pemandu.”

Keduanya tersenyum… tapi hawa dingin di antara mereka terasa membekukan.

Rion hanya mengangguk polos. “Kalau begitu, nanti siang aku ikut kau, Phina. Maaf, Elysia.”

“Huh… tidak apa-apa,” jawab Elysia dengan suara nyaris mati. Dia bilang ‘Phina’ lagi…

Setelah keduanya pergi, Daiki hanya bisa menepuk bahu Elysia pelan.

“Tenang. Dia memang terlalu polos untuk sadar dia sedang diperebutkan.”

“Aku tahu,” desah Elysia. “Dan justru itu yang membuatnya makin berbahaya…”

Sementara itu, di taman akademi, Seraphina dan Rion berjalan berdampingan.

“Rion… kau memang tidak banyak bicara, tapi aku merasa nyaman saat di dekatmu.”

“Begitu ya…” jawab Rion, menatap langit biru.

Dan entah mengapa, Seraphina merasa… kalau Rion adalah satu-satunya tempat di dunia ini yang membuatnya bisa tersenyum tanpa pura-pura.

 

Sinar matahari sore menyinari lorong-lorong batu Akademi Astrea, menyemburatkan bayangan panjang saat Rion dan Seraphina berjalan berdampingan.

"Ini perpustakaan utama," kata Rion dengan tenang, menunjuk bangunan besar beratap lengkung dengan ukiran kuno di pintunya.

"Wow... tempat ini lebih besar dari perpustakaan kerajaan di Thorvania," kata Seraphina kagum. "Rion, kau pernah baca semua buku di sini?"

"Hanya separuh," jawab Rion, menatap langit-langit dengan ekspresi datar.

Seraphina terkikik. "Hanya separuh? Kau ini monster belajar atau apa?"

"Aku cuma ingin tahu... lebih banyak dari orang lain," ucap Rion dengan nada serius, namun ia menoleh sedikit dan menyunggingkan senyum tipis. “Tapi... kalau kau ingin tahu lebih banyak dariku, kau bisa tanya kapan saja.”

Seraphina menoleh cepat, jantungnya seperti berhenti. “A-a-a-apa maksudmu itu... ajakan untuk... dekat?!”

“Tidak,” jawab Rion, santai. “Aku cuma terbiasa menjawab pertanyaan.” Tapi senyumnya masih tersisa, dan itu cukup membuat Seraphina memegangi dada sambil menunduk merah padam.

Mereka berjalan melewati taman yang ditumbuhi bunga astral—bunga berwarna biru kehijauan yang hanya mekar saat senja. Kelopaknya bergetar perlahan seolah menyambut mereka.

“Rion, bunga itu indah ya…”

Rion berhenti sejenak. Ia memetik satu dan menatapnya dalam-dalam.

“Kau lebih cocok jadi bunga daripada putri,” katanya tenang.

Seraphina hampir tersandung sendiri. “A-a-apa kau barusan memujiku?!”

“Bukan pujian. Fakta,” jawab Rion polos.

Seraphina benar-benar tak tahan. Ia menutup wajahnya dengan tangan sambil tertawa kecil. “Berhenti membuatku jatuh hati begitu saja…”

Matahari mulai tenggelam. Langit berubah jingga, dan lonceng akademi berbunyi pelan, menandakan malam akan segera tiba.

“Sampai sini saja ya, aku harus ke asrama putri,” ucap Seraphina, masih menyisakan rona merah di pipinya.

“Kalau kau butuh bantuan lagi, panggil saja aku,” kata Rion sambil menatapnya lurus, namun kalem.

“Kalau begitu… bersiaplah. Karena aku mungkin akan sering memanggilmu,” balas Seraphina dengan mata berbinar.

Mereka berpisah di ujung koridor. Rion berjalan santai kembali ke taman depan akademi, tak sadar bahwa di balik salah satu tiang batu, Elysia sudah menunggunya.

“Jadi… kau menikmati jalan-jalanmu dengan putri Thorvania, ya?” ucap Elysia, menekankan nada cemburu di balik senyum manisnya.

Rion hanya menoleh pelan. “Ya, cukup menyenangkan.”

“Hmm... menyenangkan, ya?” Elysia melangkah mendekat, ekspresinya tetap anggun namun aura kompetitif jelas terpancar. “Kalau begitu, sekarang giliranku. Malam ini, aku yang akan membuatmu… menyenangkan.”

“…Maksudmu?” tanya Rion polos.

“Kau akan tahu sebentar lagi,” jawab Elysia, menggandeng lengan Rion tanpa ragu dan menyeretnya ke arah taman yang mulai diterangi lampu sihir kecil-kecil.

“Malam ini langitnya indah, kan?” katanya sambil menunjuk bintang-bintang di atas.

Rion hanya menatap langit sebentar. “Langitnya… memang bagus. Tapi… kau juga terlihat lebih bersinar malam ini.”

Elysia menoleh dengan cepat. “A-a-apa maksudmu itu pujian?!”

“Entahlah, mungkin.” Rion mengangkat bahu, tapi ada sedikit senyum di wajahnya.

Elysia memegang pipinya yang mulai memanas. Dia… dia memuji aku?! Atau tidak?! Kenapa dia bisa bikin bingung dan salting begini?!

Rion lalu duduk di bangku taman, dan Elysia pun duduk di sampingnya, mendekat perlahan. Hening sejenak.

“Rion…” ucap Elysia lembut.

“Hmm?”

“Aku akan membuatmu melihatku… bukan hanya sebagai teman… tapi lebih.”

Rion menoleh dengan wajah datar, tapi matanya sedikit melembut. “Aku… menantikan usahamu.”

Dan malam pun berlalu dengan ketegangan manis yang membekas. Dua gadis, dua hati yang bersaing—dan satu lelaki, yang bahkan tak sadar bahwa dirinya adalah pusat medan perang yang begitu memabukkan.

More Chapters