Ficool

Chapter 21 - BAB 21: BAYANGAN SANG PENERUS

Angin berhenti.

Salju tak lagi turun.

Dan di tengah es yang mulai mencair pelan, sosok itu berdiri—dengan rambutnya yang kembali hitam legam, seragam Akademi Astrea yang perlahan muncul menggantikan pakaian kristal kebiruannya.

Rion... telah kembali.

Ia menarik napas pelan, menatap telapak tangannya yang masih terasa dingin, lalu memejamkan mata sejenak. Aura dingin yang menyelimuti seluruh arena perlahan menghilang, menyatu kembali dengan tubuhnya, seakan segalanya tak pernah terjadi.

“Sudah selesai,” gumamnya.

Ia melangkah tenang ke sisi arena, melewati sisa-sisa es dan kehancuran yang masih menempel di tanah. Setiap langkahnya bergema di tengah keheningan yang menegangkan.

Bangku penonton benar-benar hening.

Semua murid dan guru dari Akademi Astrea dan Malgrim menatap tanpa berkata-kata.

Beberapa murid ternganga.

Beberapa lainnya menunduk, menyadari betapa bodohnya mereka meragukan Rion sebelumnya.

Aiko memeluk lengan Yui. “Itu... bukan manusia biasa...”

Rin menatap kosong. “Dia belum serius. Sampai akhir pun dia seperti hanya bermain...”

Haruto mengepalkan tangan. “Aku ingin jadi sekuat itu… bukan karena iri… tapi karena aku ingin berdiri di sampingnya sebagai sesama pahlawan.”

Elysia dan Seraphina berdiri berdampingan di tepi tribun.

Seraphina hanya bisa menunduk. “Dia selalu menyembunyikan ini… Bahkan dariku...”

Elysia mengangguk pelan. Wajahnya datar, tapi di balik itu, matanya berbinar antara kekaguman dan... rasa takut kehilangan.

“Rion… siapa sebenarnya dirimu?”

Di ruang para guru, suasana tak kalah menegangkan.

Elyndor berdiri dengan tangan gemetar.

Profesor Maelis menyeka keringat dingin di pelipisnya.

Instruktur Rovan hanya tertawa kecil—tawa yang getir.

“Jadi itu kekuatan sebenarnya…” gumam Maelis. “Kita… benar-benar buta. Kita mencibir dan menuduhnya beban.”

“Dan ternyata…” Elyndor menambahkan pelan, “...dialah kekuatan terakhir dunia ini.”

Di arena, Rion berhenti berjalan saat ia sampai di bawah tribun para pahlawan.

Para pahlawan berdiri.

Yui yang pertama kali turun.

“Rion...” ucapnya. “Apa kau… selalu menyembunyikan ini dari kami?”

Rion hanya tersenyum kecil. “Aku tidak suka pusat perhatian. Lagi pula, bukan kekuatan yang penting. Tapi apa yang kau lindungi dengannya.”

Aiko menatapnya dengan air mata di pelupuk mata.

Daiki, yang biasanya penuh candaan, kini hanya bisa terdiam.

Elysia dan Seraphina turun perlahan, dan berdiri di sisi Rion.

Untuk sesaat, tiga orang itu hanya saling menatap.

Elysia yang pertama bicara.

“Kalau kau tetap menyembunyikan hal besar seperti ini… aku akan benar-benar marah padamu, Rion...”

Seraphina menambahkan, “Setidaknya… kau bisa mempercayai kami. Bukan menyendiri dalam badai.”

Rion menatap mereka satu per satu, lalu menjawab dengan tenang, “Maaf… tapi badai itu adalah rumahku.”

Lalu ia melangkah meninggalkan mereka dengan angin dingin yang mengiringi langkahnya.

Dan di balik arena yang runtuh, dalam bayang-bayang... Zevran yang terluka berdiri ditopang oleh salah satu pengikutnya.

Tatapan Zevran kosong. Tapi senyumnya...

Masih menyeringai.

“Menarik... sangat menarik. Raja Es telah bangkit.”

“Permainan baru saja dimulai.”

Berikut kelanjutan cerita dari momen setelah turnamen dan pertarungan besar yang mengungkap kekuatan sejati Rion:

 

Langit kembali tenang, salju tipis yang tadi turun perlahan lenyap bersama hawa dingin yang menyelimuti arena. Rion kini kembali ke wujud biasanya—rambut hitam dan seragam Astrea-nya telah pulih seperti semula, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi ketenangan itu tak mampu meredam gelombang kecemasan, rasa kagum, dan keterkejutan yang menguasai hati setiap orang yang menyaksikan peristiwa itu.

 

Di ruang diskusi khusus para petinggi Akademi Astrea dan Malgrim...

“Tak salah lagi... itu adalah Frostblood Reincarnate,” ucap Elyndor, matanya tajam menatap ke luar jendela, menatap titik di mana Rion terakhir berdiri.

“Penerus Raja Es Abadi yang telah lama hilang... tapi bagaimana bisa seorang murid biasa memiliki kekuatan sebesar itu?” tanya Kepala Akademi Malgrim dengan wajah tegang.

Maelis yang selama ini meremehkan Rion hanya terdiam. Dalam hatinya, ia memutar ulang semua kejadian yang baru saja ia saksikan—Rion yang menghancurkan monster raksasa dengan satu sihir yang belum pernah mereka lihat. Ia menggenggam tangannya erat.

“…kita membiarkan dia tumbuh tanpa pengawasan…” gumamnya lirih.

“Apa menurut kalian... dia ancaman?” tanya salah satu dekan.

Elyndor hanya tersenyum tipis, dingin. “Bukan ancaman… tapi juga bukan harapan yang sepenuhnya bisa kita kendalikan.”

 

Sementara itu, di ruang istirahat para pahlawan...

Haruto duduk bersandar ke dinding, keringat dingin masih menetes di pelipisnya. Yui menunduk diam, dan Rin memeluk lututnya sendiri.

“Dia… benar-benar bukan manusia biasa,” ucap Daiki pelan.

Aiko menggigit bibirnya. “Kita ini pahlawan… tapi dibanding dia… seolah kita hanya bayangan di belakang panggung.”

Keheningan itu akhirnya dipatahkan oleh Elysia yang baru saja masuk. Matanya tampak sedikit merah, tapi ia tetap tenang di luar.

“Aku sudah tahu dia berbeda…” katanya sambil menatap ke jendela, ke arah arena yang kini kosong.

Seraphina yang datang belakangan hanya terdiam sejenak, lalu berkata, “Tapi aku tak menyangka... sekuat itu.”

Keduanya saling bertatapan—Elysia dan Seraphina. Di balik kekaguman mereka, ada kegelisahan yang sama. Perasaan kehilangan, takut, dan... cinta yang tak terbalas.

“Kalau dia bisa berubah menjadi wujud sekuat itu... apakah kita benar-benar bisa berada di sisinya?” tanya Seraphina lirih.

Elysia menunduk. Tapi kemudian ia mengangkat kepala, menatap lurus ke depan.

“Aku tidak peduli siapa dia sebenarnya. Yang kutahu... aku akan tetap berdiri di sisinya. Apapun yang terjadi.”

Seraphina pun tersenyum getir.

“Kalau begitu… aku juga tidak akan menyerah.”

Mereka tak berkata apa-apa lagi. Tapi dalam hati keduanya, telah muncul tekad yang baru—tekad untuk mengenal Rion lebih dalam, dan merebut tempat di hatinya… sebelum semuanya terlambat.

 

Langkah kaki Rion bergema pelan di koridor Akademi Malgrim yang mulai sepi setelah kekacauan usai. Udara masih menyimpan hawa dingin sisa kekuatannya tadi. Rambutnya kembali hitam, seragam Astrea pun telah ia kenakan lagi. Tapi sorot matanya... masih menyimpan bayangan kekuatan maha dahsyat yang baru saja dilepaskannya.

Tiba-tiba, sebuah suara mekanis terdengar dalam kepalanya.

> DING

“Anda telah mencapai titik yang melebihi batas. Sistem kini membuka kunci tahapan baru: [Origin Frost Tier — Locked: Fragmented Memories Required].”

Rion berhenti berjalan. Senyum tipis muncul di wajahnya.

“Jadi ini… baru permulaan?” bisiknya pelan, matanya menatap kosong ke depan, namun tak terlihat lelah—justru lebih hidup dari sebelumnya.

 

Di Ruang Istirahat Pahlawan

Begitu pintu terbuka, semua mata langsung menoleh ke arah Rion yang memasuki ruangan. Haruto nyaris menjatuhkan apel yang sedang ia makan.

“A-Ah, Rion… kau hidup, ya?” ucapnya canggung.

Yui mencubit Haruto pelan. “Tentu saja dia hidup, dasar bodoh…”

Daiki dan Rin hanya menatap dengan ekspresi campuran antara kekaguman dan kebingungan.

“Oi, Rion... apa kau alien?” tanya Rin dengan nada setengah bercanda, namun jujur.

Rion hanya tersenyum kecil dan berkata, “Mungkin. Tapi alien yang bisa makan donat.”

Suasana yang sempat tegang pun mencair oleh jawabannya yang tak terduga. Mereka semua tertawa pelan, meski masih ada sisa kekhawatiran di dalam hati masing-masing.

Lalu masuklah Elysia dan Seraphina, hampir bersamaan. Keduanya menghampiri Rion, berdiri di hadapannya.

Elysia mendekat duluan, menatap lurus ke matanya.

“Jadi... apa semua itu memang kau sembunyikan selama ini?”

Rion menatapnya balik, lalu menoleh sedikit ke Seraphina di sebelahnya.

“Aku tidak pernah berniat menyembunyikannya. Aku hanya menunggu waktu yang tepat,” jawabnya datar, namun suara itu... membuat pipi Seraphina memerah.

“Kau selalu penuh kejutan,” gumam Seraphina sambil berpura-pura membetulkan rambutnya.

Elysia menghela napas pelan, lalu dengan wajah sedikit jengkel, berkata:

“Tapi jangan pikir aku akan kalah darinya…”

“Eh?” sahut Seraphina sambil mendekat ke wajah Elysia.

“Apa itu tantangan?”

Keduanya pun terlibat dalam adu tatapan, sementara Rion menatap mereka sebentar—kemudian duduk di kursi terdekat dan memejamkan mata, membiarkan kedua gadis itu adu perang dingin.

“Kalau kalian ribut di atas tubuh monster, baru terasa lebih dramatis…” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

 

Di Ruang Bawah Tanah yang Tersembunyi

Zevran duduk di atas singgasana batu, dikelilingi oleh sosok-sosok berjubah hitam yang tersisa. Tatapan matanya tajam, namun tak marah—justru... antusias.

“Jadi… dia memang hidup. Sang warisan es abadi.”

Salah satu pengikutnya menunduk. “Apa rencana kita selanjutnya, Zevran-sama?”

Zevran tersenyum, matanya memancarkan obsesi gelap.

“Kita biarkan dia tumbuh... berkembang... menjadi ancaman yang lebih besar bagi mereka semua. Dan ketika waktunya tiba, ‘pecahan dunia lama’ akan menyatu kembali. Hanya dia yang bisa membukakan gerbang asal kita... dan ketika itu terjadi…”

Ia berdiri, mengepalkan tangan.

“...Dunia ini akan menyaksikan kelahiran era baru dari dalam kegelapan.”

 

TAMAT...,..........

More Chapters