Rion menatap Elysia sejenak, tak berkata apa pun. Namun, hanya dengan tatapan mata itu, Elysia merasa seakan semua luka dan cemasnya reda meski sedikit.
"Asal kau kembali... Itu sudah cukup," ucap Elysia lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh angin malam di reruntuhan istana Thorvania.
Rion pun hanya mengangguk pelan, lalu membalikkan badan. "Ayo... Kita harus menjemput seseorang," katanya datar seperti biasa.
Haruto, Aiko, Rin, Daiki, dan Elyndor yang masih dalam proses memulihkan diri menoleh dengan bingung. “Siapa yang kau maksud, Rion?” tanya Haruto.
Rion berjalan dengan tenang menuju koridor dalam istana yang remuk. “Putri Kerajaan Thorvania... Aku menemukannya saat mengecek suara yang aku dengar selama pertempuran. Dia dikurung di ruang bawah tanah, tersegel oleh sihir Velgrath.”
Mereka semua mengikuti Rion, menuruni tangga yang retak dan berdebu menuju ruangan gelap. Di sana, di balik pintu kristal sihir yang hampir runtuh, duduk seorang gadis muda dengan rambut panjang perak keungu-unguan dan mata zamrud yang tajam, namun penuh luka batin.
“Putri…” panggil Rion pelan.
Gadis itu perlahan bangkit, tubuhnya goyah namun matanya berbinar saat melihat sosok Rion. “Kau… yang menyelamatkanku…”
Rion mengangguk. “Kami akan membawamu keluar dari sini. Dunia di atas telah bebas dari Velgrath.”
Dengan bantuan Aiko dan Elysia, sang putri digendong keluar dari ruang bawah tanah. Saat mereka tiba kembali di aula utama, cahaya senja menyinari wajah sang putri, dan dia tersenyum lemah ke arah Rion.
“Namaku... Seraphina Virelle Thorvania. Aku berhutang hidup padamu, Rion.”
Rion sedikit mengangguk. “Tak perlu membalas apa pun. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan.”
Namun, Seraphina tersenyum, mendekat ke Rion dan memegang tangannya sejenak. “Tetap saja… bagiku, kau lebih dari sekadar penyelamat.”
Elysia yang berdiri tak jauh hanya menatap dengan pandangan tajam. Tangannya mengepal, namun ia memaksakan senyum. “Kau sungguh cepat membuat wanita jatuh hati, ya…” gumamnya lirih.
“Elysia, kau bicara apa?” tanya Haruto yang berdiri di sebelahnya.
“Tidak, bukan apa-apa,” jawabnya cepat, sembari tersenyum lagi—kali ini lebih palsu dari sebelumnya.
Sepanjang perjalanan keluar dari istana, Seraphina terus berada di samping Rion, sesekali tertawa kecil dengan sikap polos Rion yang tak paham dengan godaan samar dari sang putri.
“Kau selalu bersikap seperti ksatria dalam cerita—dingin, tak banyak bicara, tapi membuat hati ini sulit tenang,” kata Seraphina dengan pipi sedikit merah.
Rion menoleh. “Apa maksudmu?”
“Ah, tidak, lupakan…” Seraphina cepat-cepat membuang wajahnya ke arah lain, pipinya makin memerah.
Sementara itu, Elysia hanya bisa menghela napas panjang, menatap mereka dari belakang. “Bodoh sekali… dia bahkan tak sadar sedang dikejar".
Dalam perjalanan keluar dari istana yang porak-poranda, Rion melirik Seraphina yang berjalan di sampingnya. Suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh langkah mereka di atas lantai batu retak.
“Tapi... saat aku menemukanku di ruang bawah tanah, kenapa kau tidak bersama ayah dan ibumu?”
Seraphina menunduk sedikit. Tatapan matanya berkabut, menyimpan duka yang belum sembuh. “Ayahku dibunuh oleh Velgrath saat berusaha melindungi rakyat... Dan ibuku… sudah meninggal saat aku masih kecil.”
Rion terdiam sejenak, lalu menatap ke depan dengan sorot mata lembut yang jarang terlihat dari dirinya. “Maaf... Aku tidak bermaksud mengorek luka lamamu.”
Seraphina menggeleng pelan, memaksakan senyum kecil. “Tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah peduli.”
Sesampainya di luar, pemandangan istana Thorvania yang hancur menyambut mereka—dinding runtuh, menara patah, dan taman yang dahulu indah kini hangus dan penuh reruntuhan.
Seraphina berhenti melangkah, lalu memandang reruntuhan itu dengan tatapan nanar. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
“Sepertinya… akan butuh waktu lama untuk membangunnya kembali,” ucapnya pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri.
Rion menoleh padanya, lalu menatap lurus ke arah reruntuhan istana. “Aku akan menggantinya,” ucapnya dengan nada pasti.
Seraphina terkejut, menatap Rion dengan heran. “Mengganti? Rion… tidak usah. Ini bukan salahmu.”
Namun Rion tak menjawab. Ia melangkah maju ke tengah puing, lalu mengangkat satu tangannya ke udara. Aura dingin mulai menyelimuti area sekelilingnya.
“Ice Genesis: Crystal Rebirth,” gumam Rion.
Sekejap, angin es berhembus kuat, dan dari bawah tanah, es murni yang bersinar seperti kristal mulai menjalar ke seluruh penjuru istana. Reruntuhan tertelan cahaya kebiruan, dan dalam beberapa detik—bangunan baru bangkit.
Istana yang terbentuk kini berdiri megah, berwarna putih keperakan dengan dinding kristal biru yang memantulkan cahaya mentari. Menara-menara tinggi menjulang dengan atap seperti bunga beku, dan taman yang dulu hangus kini dipenuhi kristal salju yang menyerupai kelopak sakura es.
Semua orang terdiam menyaksikan keajaiban itu. Haruto bahkan menahan napas, matanya tak berkedip.
“Apa… kekuatan apa ini…?” Seraphina berbisik, masih tak percaya. “Bagaimana mungkin… kau membangun kembali semuanya hanya dengan sihir?”
Rion menurunkan tangannya. Nafasnya sedikit berat, tapi wajahnya tetap datar. “Aku hanya mengeluarkan sedikit kekuatanku... Tapi sepertinya agak berlebihan.”
Haruto tertawa lirih dari belakang. “Haha… kurasa aku harus berhenti terkejut setiap kali dia melakukan hal ‘kecil’ seperti ini.”
Seraphina menatap istana barunya, lalu menatap Rion. Kali ini, senyum tulus muncul di wajahnya. “Terima kasih… Rion.”
Elysia yang berdiri tak jauh hanya menatap diam, tak ikut tertawa. Di balik senyum kecilnya, ada perasaan asing yang mulai tumbuh… perasaan cemburu yang tak ingin ia akui.
Setelah pemulihan istana Thorvania, para penduduk kembali dengan perlahan, mencoba menyusun ulang kehidupan mereka. Rion duduk santai di balkon atas istana baru yang kini mengilap seperti kristal es, memandangi langit senja yang keemasan.
“Rion!” suara lembut namun lantang menyapanya dari belakang.
Ia menoleh dan melihat Seraphina berjalan menghampirinya dengan mengenakan gaun istana biru pucat yang tampak serasi dengan kilauan istana kristal. Di tangan gadis itu ada nampan berisi teh dan beberapa kue kecil.
“Aku pikir kau perlu istirahat. Kau sudah melakukan banyak hal untuk kami,” ucapnya sambil tersenyum manis.
“Oh... terima kasih, Seraphina.” Rion menerima cangkir yang disodorkan.
Namun belum sempat ia menyeruputnya, suara lain menyusul dari pintu balkon.
“Dan dia baru saja selesai bertarung hidup dan mati, lalu dipaksa minum teh. Hebat, ya.” Elysia muncul dengan tangan terlipat dan senyum sinis yang nyaris tak terlihat.
Seraphina tertawa kecil. “Oh? Kupikir tak ada salahnya membuat waktu santai sedikit menyenangkan.”
Elysia menyempitkan mata. “Atau kau hanya ingin duduk berdua dengannya saja?”
“Hm, kalau begitu, kau juga bisa duduk.” Seraphina menepuk tempat kosong di sebelah Rion. “Asal jangan menghalangi pemandangan.”
Elysia mendengus halus, lalu malah duduk di sisi lain Rion dengan ekspresi tak mau kalah. “Tenang saja. Aku justru memperindah pemandangan.”
Rion hanya bisa memandangi keduanya bergantian, sedikit bingung.
“Hm... Phina,” katanya tiba-tiba, memandang Seraphina.
“Hah?” Seraphina menoleh cepat.
“Namamu terlalu panjang. Aku lebih suka menyebutmu Phina. Lebih pendek.”
Untuk sesaat, wajah Seraphina memerah. “P-P… Phina? Baiklah… aku tidak keberatan…” gumamnya sambil mengalihkan pandangan.
Elysia menatap tajam ke arah mereka berdua. “Tch, jadi sekarang kau mulai memberi julukan? Kalau begitu, panggil aku... hmm…”
Rion memiringkan kepala. “Apa perlu?”
“Hah?!” Elysia mencubit lengan Rion pelan, membuatnya sedikit menjerit.
“Aw-aw! Itu sakit!”
Seraphina menahan tawa sambil menyesap tehnya. “Kalau begini, kurasa suasana kerajaan akan cepat ceria kembali.”
Rion mengusap lengannya, masih bingung. “Kenapa kalian selalu seperti ini? Aku cuma ingin menikmati teh...”
“Kau yang memulai,” jawab Elysia dan Seraphina bersamaan, lalu saling pandang dengan tatapan ‘persaingan’ yang tak terucap.
Rion hanya menghela napas panjang, menyeruput tehnya perlahan, tak menyadari bahwa dua gadis di sisinya kini sedang berperang dingin—demi dirinya.
Setelah menikmati teh sore di balkon istana, langit mulai berubah warna, berganti jingga lalu perlahan menggelap. Gemerlap bintang pun mulai bermunculan, menghiasi cakrawala malam.
“Bagaimana kalau kita melihat kota?” usul Seraphina dengan senyum cerah. “Setidaknya, aku ingin tahu sejauh mana pemulihannya berjalan.”
Elysia melirik Rion. “Kalau begitu, ayo kita bertiga jalan-jalan. Siapa tahu Rion juga butuh udara segar setelah semuanya.”
Rion mengangguk singkat. “Baiklah.”
Mereka bertiga berjalan santai menyusuri jalan utama kota Thorvania. Meski reruntuhan masih terlihat di beberapa tempat, para warga sudah mulai membangun kembali. Terdengar suara palu, tawa anak-anak, dan semangat dari orang-orang yang mencoba bangkit dari kehancuran.
“Rasanya hangat…” gumam Seraphina. “Walau istana hampir hancur, kota ini masih penuh kehidupan.”
Elysia menyetujui dengan anggukan. “Karena mereka punya seseorang yang mereka percaya. Seperti bagaimana kau, Phina… tetap kuat untuk rakyatmu.”
Seraphina tersenyum, namun tatapannya kemudian beralih pada Rion yang berjalan di antara mereka.
“Dan tentu saja… karena ada dia juga.”
Elysia mendengarnya, lalu menoleh ke arah Rion dan mendesah. “Tentu. Pahlawan super dengan wajah datar dan kekuatan yang bikin istana jadi kristal.”
Rion hanya menjawab dengan ekspresi datarnya, “Aku tidak tahu itu pujian atau sindiran.”
Seraphina tertawa kecil. “Ambil saja sisi baiknya.”
Setelah beberapa saat menyusuri kota, mereka kembali ke balkon istana. Langit kini gelap sempurna, namun begitu indah dengan gugusan bintang yang bersinar terang.
Ketiganya duduk berdampingan, terdiam, menikmati ketenangan malam. Ketegangan antara Elysia dan Seraphina perlahan mereda, meski masing-masing masih menyimpan rasa bersaing yang samar.
Dan tiba-tiba, tanpa disengaja…
“Kalau saja aku bisa terlihat lebih manis darinya…” gumam Elysia lirih.
“Seandainya aku lebih manis darinya…” gumam Seraphina bersamaan.
Keduanya menoleh cepat satu sama lain—saling terkejut—sebelum buru-buru berpaling dengan wajah memerah.
Namun sebelum salah satu dari mereka bisa menyembunyikan rasa malunya, suara Rion terdengar pelan, namun jelas:
“…Apa yang kalian katakan barusan? Kalian berdua sudah sangat manis… bagiku.”
Rion berkata dengan tenang, sembari tersenyum kecil memandangi langit malam yang bertabur bintang.
Seraphina dan Elysia menegang. Pipi mereka langsung merona, panas, dan kata-kata seolah tertelan di tenggorokan. Tak satu pun bisa membalasnya.
Angin malam berhembus lembut. Di antara langit berbintang dan cahaya istana kristal, dua hati yang saling bersaing kini hanya bisa diam—sementara sang pemuda tetap tak menyadari betapa dalam perasaan mereka untuknya.