Ficool

Chapter 18 - BAB 18: PERTANDINGAN PEMBUKA YANG MENGGETARKAN

Malam menyelimuti langit Astrea, dihiasi ribuan bintang dan sinar rembulan yang terang menggantung di atas awan. Di atas hamparan langit itu, tampak siluet seseorang yang berdiri melayang tenang, diselimuti aura kebiruan yang lembut namun dingin—Rion.

Ia menatap lurus ke arah cakrawala, di mana seekor monster terbang raksasa melintas perlahan, seperti sedang berburu di udara malam.

“Patut untuk dijadikan sasaran uji coba,” gumamnya lirih.

Rion mengangkat tangannya perlahan. Udara di sekitarnya mulai membeku, dan langit yang semula tenang berubah mencekam. Dengan tenang ia merapalkan mantra sihir:

“Glaciem Sagitta: Thousand Bloom.”

Dalam sekejap, ribuan busur es muncul dan mengelilingi tubuh Rion seperti mawar berduri kristal. Dengan satu ayunan tangan, busur-busur itu melesat serentak, menembus angin malam, mengejar sang monster yang tak sempat menghindar.

BOOM!!

Suara ledakan es dan dentuman tubuh raksasa menghantam tanah membangunkan seisi hutan. Tanah bergetar, dan hawa dingin membekukan rumput serta dedaunan di sekitarnya.

Di waktu yang hampir bersamaan, Elysia dan Seraphina yang sedang berjalan bersama di sekitar akademi, serta Profesor Maelis yang tengah melakukan inspeksi malam, segera berlari menuju sumber suara.

Sesampainya di lokasi, mereka dikejutkan oleh pemandangan yang luar biasa—bangkai monster raksasa tergeletak membeku di tanah, sementara di atas langit, sosok Rion melayang tenang, dikelilingi serpihan kristal es yang berkilau di bawah sinar bulan.

Elysia dan Seraphina hanya mampu menghela napas kecil.

“Yah... dia lagi,” ucap Seraphina, setengah kagum, setengah pasrah.

Elysia menatapnya dengan ekspresi lelah. “Aku mulai terbiasa... tapi tetap saja, dia selalu membuat jantungku berhenti sejenak.”

Namun, yang paling terkejut adalah Profesor Maelis. Ia menatap ke atas dengan mata terbelalak. “Itu... bukan sihir biasa. Itu kekuatan di luar skala akademik.”

Rion pun perlahan turun dari langit, mendarat dengan tenang di hadapan mereka bertiga. Tatapannya dingin dan tenang.

Ia menatap langsung ke arah Profesor Maelis dan berkata datar, “Jangan katakan kejadian ini pada siapa pun.”

Profesor Maelis hanya bisa menelan ludah dan mengangguk perlahan.

Tanpa sepatah kata pun lagi, Rion pun berjalan pergi, meninggalkan mereka bertiga yang masih terdiam. Elysia dan Seraphina saling berpandangan dan mengikuti langkah Rion dari jauh, namun Profesor Maelis tetap berdiri terpaku, pikirannya penuh dengan pertanyaan tentang siapa sebenarnya Rion itu.

 

Keesokan harinya.

Seluruh murid dan guru Akademi Astrea berkumpul di halaman utama. Hari ini adalah hari keberangkatan mereka menuju Akademi Malgrim, tempat berlangsungnya turnamen antar-akademi yang ditunggu-tunggu.

Rombongan pun bergerak dalam barisan rapi, dikawal oleh beberapa staf akademi. Sesampainya di Malgrim, mereka disambut dengan megah. Tribun penonton telah disiapkan, memisahkan tempat duduk antara murid dan guru.

Para guru dari Akademi Astrea duduk berdampingan dengan para pengajar Malgrim di tribun kehormatan paling atas. Sementara itu, para murid duduk di deretan bangku yang lebih rendah, bersorak dan menantikan pertandingan dengan semangat tinggi.

Semua perhatian tertuju pada arena.

Sementara itu, jauh di belakang tribun, berdiri seorang pemuda yang tenang dengan tatapan datar. Rion menyender di tembok, menatap arena tanpa emosi. Ia terlihat seperti hanya seorang penonton, bukan peserta.

Bisik-bisik kembali terdengar di antara murid-murid Malgrim dan bahkan beberapa dari Astrea.

“Itu dia yang katanya ikut turnamen?”

“Katanya gak pernah latihan... apa dia cuma bayangan dari para pahlawan?”

Namun, para pahlawan yang duduk tak jauh darinya hanya tersenyum kecil. Mereka tahu siapa yang sebenarnya berdiri di antara mereka.

Dan kini... pertarungan yang akan menentukan segalanya, perlahan mulai mendekat.

 

Langit siang itu cerah, namun atmosfer arena terasa berat dan menegangkan.

Di tengah lapangan kolosal milik Akademi Malgrim, bendera kedua akademi berkibar megah. Ratusan murid duduk berjejer di bangku penonton, bersorak dan menantikan awal turnamen.

Di tribun kehormatan, para guru dari kedua akademi berdiri. Di antaranya, tampak Profesor Maelis dengan ekspresi serius, menatap arena di bawahnya.

"Dengan ini, turnamen persahabatan antar-akademi Malgrim dan Astrea resmi dimulai!"

Suara ketua pelaksana menggema lewat magic amplifier, disambut riuh sorakan dari para murid.

Sementara itu, di area tunggu peserta, Rion duduk bersandar di dinding marmer putih, terlihat sangat tenang. Di sekitarnya, Haruto, Aiko, Yui, Daiki, Rin, Elyndor, Elysia, dan Seraphina duduk melingkar, memperhatikan layar sihir yang memproyeksikan arena utama.

“Pertandingan pertama,” ucap Elyndor, “Haruto dari Astrea... melawan murid misterius dari Malgrim.”

Haruto berdiri, menggenggam gagang pedangnya. “Akhirnya... waktunya bermain,” ucapnya dengan senyum percaya diri.

“Jangan ceroboh,” kata Daiki cepat. “Kalau dia benar orang yang menyusup ke akademi waktu itu... dia bukan lawan biasa.”

Haruto hanya mengangguk dan berjalan menuju arena, sementara yang lain mengamati layar sihir dengan tegang. Rion tak mengatakan apa pun, hanya membuka satu matanya yang tadi tertutup santai.

Arena utama.

Di sisi seberang Haruto, berdiri sosok berjubah hitam dengan wajah tertutup sebagian topeng logam. Aura gelap samar menyelimuti tubuhnya.

“Dia...” Elysia bergumam, mengingat sosok itu dari malam penyusupan.

“Dia bukan murid biasa,” tambah Seraphina dengan nada tajam.

"Pertandingan pertama... dimulai!"

Seketika angin bertiup kencang dari dalam arena. Haruto langsung menyerang dengan kecepatan tinggi, menebaskan pedang bertubi-tubi, namun pria berjubah hitam hanya menghindar dengan gerakan aneh seperti menghilang sesaat, lalu muncul kembali di tempat lain.

“Teleportasi?” gumam Yui sambil menajamkan mata.

Haruto mulai terdesak. Pria itu mengangkat tangannya, dan bayangan hitam mulai menjulur dari tanah.

“Bayangan sihir?” seru Rin, kaget. “Dia... memanipulasi ruang dan kegelapan sekaligus!”

Di area tunggu, wajah semua orang tampak tegang. Kecuali Rion.

Rion menatap tenang dan hanya bergumam,

“Sihir kelas menengah. Tapi cukup mengganggu bagi yang belum terbiasa.”

“Eh?” Aiko melirik ke arah Rion. “Kau tahu cara kerjanya?”

Rion hanya mengangkat bahu kecil dan tidak menjawab. Tapi sorot matanya masih tertuju ke layar, tajam dan dingin.

Arena kembali bergetar.

Haruto akhirnya melepaskan teknik pamungkasnya, "Blitz Fang!", tebasan bercahaya menghantam gelombang bayangan.

Asap dan debu menutupi arena.

Seluruh penonton terdiam.

Dan dari balik asap... tampak Haruto berdiri dengan napas tersengal, sementara sosok berjubah itu terpental mundur beberapa langkah.

Sebuah tepuk tangan perlahan menggema. Disusul sorakan menggelegar dari tribun Astrea.

Haruto berhasil memenangkan pertandingan pertama.

Namun pria berjubah hitam itu tidak terlihat kalah sepenuhnya. Tatapannya dari balik topeng sempat beralih ke arah tribun tempat Rion duduk. Tak ada yang menyadari... bahwa pria itu tersenyum tipis.

Sesuatu sedang direncanakan.

Dan kemenangan pertama ini... hanyalah awal dari badai yang akan datang.

--

More Chapters