Ficool

Chapter 10 - BAB 10: TITAH RAJA

Pagi itu, langit di atas Akademi Astrea cerah seperti biasa. Namun suasana mendadak berubah saat lonceng utama berbunyi tiga kali—tanda panggilan darurat dari istana Eldrador.

Seluruh murid dan staf berkumpul di aula utama akademi, termasuk para pahlawan terpilih.

Kepala Akademi, Grandmaster Elyndor, maju ke depan panggung dan berkata,

“Ada surat dari Istana Eldrador... dari Raja Alaric IV sendiri.”

Semua murid menahan napas.

Grandmaster membuka gulungan surat, suaranya berat dan serius:

> "Kepada seluruh pahlawan terpilih,

Sebuah ancaman baru telah muncul di Kerajaan Thorvania. Kota Verlindar telah musnah dalam semalam oleh kekuatan iblis.

Kalian semua diperintahkan untuk bersiap dan melakukan pelatihan gabungan lintas kerajaan. Misi penyelidikan dan konfrontasi akan dimulai dalam dua minggu.

Demi perdamaian benua ini, kalian adalah harapan terakhir umat manusia.

—Alaric IV"

Aula menjadi gaduh. Para murid—terutama para pahlawan—saling menatap dalam kecemasan dan rasa tanggung jawab yang berat.

Elysia, yang berdiri di samping Rion, menatapnya. “Rion… apakah kau akan ikut dalam misi ini juga?”

Rion hanya menjawab pendek, “Tentu.”

Namun dia tidak terlihat gugup sama sekali. Tatapannya masih datar, seolah ini hanya rutinitas harian.

Aiko, Rin, dan Haruto berjalan mendekat. Haruto menatap Rion dengan serius.

“Rion, waktu itu kau menyelamatkan kami semua. Kau jauh lebih kuat dari siapa pun di sini. Tapi... kenapa kau tak pernah menunjukkan kekuatan aslimu kepada yang lain?”

Rion menatap Haruto sebentar lalu menjawab dengan tenang,

“Karena aku tidak suka mencolok. Dan... itu hanyalah separuh kekuatanku.”

Haruto membeku.

“Separuh?” gumamnya, hampir tidak percaya. “Kau pasti bercanda…”

Aiko dan Rin menelan ludah, saling melirik dengan bingung. Elysia di samping mereka hanya menghela napas pelan sambil bergumam, “Dia selalu seperti itu…”

 

Beberapa hari kemudian, saat pelatihan khusus dimulai:

Rion selalu berada di barisan belakang, hanya menggunakan senjata ringan dan kemampuan assassin untuk bertarung. Semua orang mengira ia adalah seorang kesatria cepat dan lincah. Tidak ada yang tahu kalau ia adalah seorang penyihir tingkat tinggi yang bisa membekukan satu dungeon sendirian.

Elysia yang tahu rahasia itu pun makin penasaran. Ia terus mendekati Rion setiap saat.

“Rion, kau sudah makan belum?”

“Belum.”

“Aku buatin bekal! Ini daging panggang ala Eldrador!” (Rion mengangkat alis)

“Coba, rasanya enak, kok!”

(Elysia menyuapi Rion langsung, yang bikin semua murid melongo)

“Putri kerajaan... menyuapi Rion?”

“Siapa sebenarnya bocah itu?”

Di saat lain…

“Rion, bajumu kusut. Sini, aku rapikan!”

“Jangan bergerak!”

(Aiko, Rin, dan Haruto di kejauhan menatap dengan ekspresi campur aduk)

“Ini pelatihan atau... acara pacaran?” gumam Rin.

“Kenapa rasanya seperti sinetron...” tambah Aiko sambil menahan tawa.

Haruto hanya menghela napas. “Dia bilang tak mau mencolok, tapi dikejar-kejar putri kerajaan... bagus banget tuh caranya ‘tidak mencolok’.”

 

Pelatihan pun berlangsung berat, terutama setelah beberapa monster dari utara mulai merambah ke wilayah Eldrador. Namun hingga akhir, Rion tetap menahan diri dan tak menunjukkan sihirnya. Ia hanya memakai skill assassin seperti bayangan cepat, teleportasi pendek, dan serangan kritikal dari belakang.

Akhirnya, pelatihan besar pun selesai. Para pahlawan bersiap menuju Thorvania untuk misi sebenarnya.

Namun, saat mereka hendak meninggalkan Akademi Astrea, burung hitam raksasa datang dan menjatuhkan surat ke tangan Grandmaster Elyndor.

Isi surat itu singkat:

> "Aku akan datang.

Bawalah sang ‘anak bayangan’ kepadaku.

—Yang Mengamati dari Kegelapan."

Grandmaster Elyndor membeku. Wajahnya pucat. “Tidak... pesan ini ditulis dengan darah sihir.”

 

Bab 10 (part 2) : Bayangan Menuju Thorvania

Grandmaster Elyndor menggenggam surat bertinta darah itu erat, wajahnya menunjukkan kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam.

"Apa… siapa yang dimaksud oleh pesan singkat ini?" gumamnya pelan.

Rion, yang berdiri tak jauh di belakang, sempat melirik surat itu dan membaca isi pesannya. Ia langsung memahami maksud tersembunyi di balik kalimat “sang anak bayangan”. Sebuah sebutan yang hanya diketahui oleh makhluk dari dimensi gelap.

Ia tersenyum tipis.

"Rion, kenapa kau tersenyum?" tanya Elysia dengan tatapan curiga.

Rion menoleh pelan. "Bukan apa-apa," jawabnya singkat.

Elysia mempersempit matanya. "Tidak mungkin. Pasti ada sesuatu. Kau selalu seperti ini kalau menemukan sesuatu yang menarik..." gumamnya sambil memperhatikannya dengan serius.

Namun sebelum ia bisa mengorek lebih jauh, lonceng istana berdentang—tanda bahwa rombongan para pahlawan harus segera berangkat menuju Kerajaan Thorvania.

 

Beberapa hari kemudian, di perjalanan menuju Thorvania...

Rombongan para pahlawan, termasuk Rion, Elysia, Haruto, Aiko, Rin, dan beberapa kesatria elit, menunggangi kereta sihir yang melaju cepat melewati hutan berbatu dan pegunungan salju. Udara dingin tak menghalangi semangat mereka, meski kecemasan akan apa yang menunggu di Thorvania menggantung di udara.

Dalam kereta utama, Elysia duduk di samping Rion yang sedang membaca catatan kuno.

“Rion, kau yakin baik-baik saja?” tanya Elysia, mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat padanya.

Rion mengangguk pelan. “Aku hanya membaca ulang sejarah kuno Thorvania. Ada banyak hal yang tidak ditulis di buku pelajaran biasa.”

Aiko yang duduk di seberang mereka mendengus, “Serius banget. Kalian ini kayak sepasang peneliti, bukan pasangan pahlawan.”

Elysia menoleh dengan pipi merah. “A-Apa maksudmu ‘pasangan’!?”

“Lho, bukannya kalian selalu berdua? Bahkan waktu latihan, Elysia jadi bodyguard Rion.”

Rin terkikik. “Iya, dan waktu di asrama, katanya Rion dimasakin tiga kali sehari oleh Elysia.”

Elysia semakin merah padam. “T-Tidak, itu bukan karena aku suka dia atau apa!”

Rion hanya melirik mereka sebentar lalu kembali ke bukunya. “Bisa tenang sedikit?”

Aiko, Rin, dan Haruto langsung membalikkan badan, menahan tawa.

Namun suasana ceria itu memudar saat mereka mendekati perbatasan Thorvania.

Langit perlahan menggelap. Awan ungu bergulung-gulung di atas benteng utama Thorvania. Kota yang dulunya megah kini tampak suram dan sepi, seperti tanah tak berpenghuni.

Rion turun dari kereta pertama, tatapannya tajam menyapu seluruh area. “Sudah tidak ada lagi sihir pelindung di wilayah ini.”

Elysia mendekat, “Apa kau merasakan sesuatu?”

“Ya,” jawab Rion pelan, “...kegelapan yang tidak berasal dari dunia ini.”

Para pahlawan lainnya turun dan berkumpul. Grandmaster Elyndor mengambil posisi di depan.

“Kita akan menyelidiki istana Thorvania terlebih dahulu. Jangan bergerak sendiri-sendiri.”

Mereka pun berjalan perlahan menuju pusat kerajaan. Namun semakin dekat mereka ke istana... hawa dingin yang menusuk mulai terasa. Tanah yang mereka injak perlahan berubah menjadi batu berlumut gelap dan berbau amis darah.

Rion berhenti sejenak dan bergumam, “…Aromanya… sama seperti Azazil. Tapi ini... lebih tua.”

Elysia mendengarnya. “Kau mengenalnya?”

“Tidak,” kata Rion sambil tersenyum dingin. “Tapi dia mengenalku.”

Mereka akhirnya sampai di gerbang utama istana Thorvania yang terbuka lebar... dan sunyi.

Tidak ada penjaga.

Tidak ada suara.

Hanya bayangan yang melayang di dinding-dinding kosong.

Dan dari kegelapan dalam istana... suara tawa lirih terdengar—panjang, menusuk, seperti gema dari zaman yang terlupakan.

“Ah... akhirnya kalian datang.”

More Chapters