Ficool

Chapter 2 - Bab 2 - Desa Asing

Udara pagi itu terasa asing bagi Ardhan. Embun masih melekat pada rumput yang terbentang sejauh penglihatan, dan kabut tipis menggantung di antara pepohonan lebat. Angin yang bertiup membawa bau tanah lembap bercampur asap kayu bakar. Keadaan tersebut sangat berbeda dari Yogyakarta di abad ke-21 yang ia kenal. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada gedung menjulang tinggi, hanya kesunyian desa yang dipecahkan oleh suara ayam jantan yang berkokok.

Ardhan berdiri kaku, masih mengenakan hoodie hitam dan jeans yang kini terlihat semakin tidak cocok. Perasaan aneh bergejolak dalam dirinya: antara bingung, takut, dan juga takjub. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah mimpi panjang, tetapi sensasi dingin embun di jari-jarinya terasa sangat nyata.

Dari kejauhan, ia melihat seorang petani yang mendorong gerobak berisi padi. Lelaki itu mengenakan ikat kepala batik dan kain jarit sederhana. Ketika pandangan mereka bertemu, petani itu menghentikan langkah dan memandang Ardhan dengan dahi berkerut.

“Sampeyan saking pundi, den mas? Busanané kok kados ngeten? ” suaranya lembut, penuh rasa penasaran, tetapi juga ada kecurigaan.

Ardhan terdiam sejenak. Ia tidak terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Jawa halus, meskipun ia mengerti artinya. Dengan terbata, ia menjawab, “Aku… eh… saya dari… kota. ”

Petani itu melotot dengan heran. “Kutha pundi? Njenengan pancèn kados tiyang manca. Sepatu lan klambi punika mboten nate katingal wonten mriki. ”

Detak jantung Ardhan terasa semakin cepat. Ia sadar bahwa pakaian modernnya bisa menjadi masalah. Namun, belum sempat mencari alasan, suara anak-anak berlari-lari di jalan setapak dekat sawah menggoncang perhatiannya. Mereka menunjuk-nunjuk ke arahnya sambil berbisik. Dalam sekejap, beberapa orang dewasa lainnya berdatangan.

Seseorang yang berbadan kekar, mungkin pemimpin desa, maju ke depan. Ia membawa sebilah senjata pendek. “Sinten kowe, cah nom? Napa maksudmu rawuh mréné kanthi busana kados jin utawa lelembut? ”

Ardhan mengangkat tangannya, mencoba menenangkan suasana. “Ampun… aku bukan hantu, aku manusia biasa. Namaku Ardhan. ”

Warga desa saling bertukar pandang. Beberapa perempuan mulai berbisik sambil menutup mulut mereka dengan selendang. Seorang lelaki tua menggeleng pelan, seolah berusaha untuk memahami kejadian aneh yang terjadi di depannya.

Ardhan menyadari bahwa situasi ini bisa berlanjut menjadi masalah kapan saja. Naluri yang dibentuk oleh latihan silatnya sejak kecil mencoba mencari jalan keluar, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan menjaga ketenangan. Ia menundukkan kepala sebagai tanda hormat, berusaha mengikuti etiket Jawa yang ajarkan oleh almarhum kakeknya.

“Aku tersesat,” ucap Ardhan pelan. “Aku tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini. Tolong… jangan anggap aku musuh. ”

Pemimpin desa mendengus, matanya masih penuh kecurigaan. Namun sebelum ia bertindak lebih lanjut, seorang lelaki paruh baya dengan tatapan tenang melangkah maju. Ia mengenakan baju lurik berwarna cokelat dan membawa tas rotan di punggung.

“Bapak Kepala,” katanya dengan suara yang menenangkan, “mungkin pemuda ini memang bingung. Pakaian anehnya mungkin saja tanda ia orang luar, bukan musuh. ”

Orang itu kemudian menatap Ardhan. “Namamu Ardhan, kan? Ayo, ikut aku ke desa. Supaya lebih jelas masalahnya. ”

Ardhan mengangguk lega, meskipun hatinya masih waspada. Ia mengikuti lelaki itu bersama rombongan warga menuju desa yang tidak jauh dari sawah.

Suasana Desa

Desa kecil ini dikelilingi oleh pagar bambu dan pohon kelapa yang tinggi. Rumah-rumah dengan gaya joglo berdiri dengan sederhana, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan atapnya terbuat dari rumbia. Di halaman, beberapa wanita sedang menumbuk padi dengan alat tradisional, sementara anak-anak asyik bermain congklak di teras. Asap tipis dari dapur naik ke udara, memberikan aroma nasi yang hangat dan singkong yang direbus.

Ardhan mengamati sekeliling dengan perasaan campur aduk. Semua ini terasa seperti halaman sejarah yang hidup. Ia pernah membaca tentang kehidupan desa Mataram di abad ke-16, namun kini ia merasakannya sendiri. Setiap aspek terasa sangat nyata: suara gamelan yang terdengar jauh, aroma tanah basah, hingga tatapan curiga dari penduduk setempat.

Laki-laki yang membantunya sebelumnya memperkenalkan diri. “Namaku Ki Sabda. Aku adalah dukun desa sekaligus guru kecil di langgar. Aku melihat matamu, den mas, gamang sekali, bukan karena niat jahat. ”

Ardhan membungkuk sebagai tanda penghormatan. “Terima kasih, Ki. Tanpamu, mungkin aku sudah diusir. ”

Ki Sabda memberikan senyuman samar. “Jangan khawatir. Namun ingat, orang-orang di sini mudah curiga terhadap hal-hal yang tidak biasa. Pakaianmu mungkin dianggap sebagai pertanda buruk. Jadi sebelum kamu bisa menjelaskan, lebih baik jaga sikapmu. ”

Ardhan hanya mengangguk tanda mengerti.

Percakapan di Pendapa

Beberapa waktu kemudian, Ardhan dibawa ke pendapa desa, tempat di mana biasanya berlangsung pertemuan penting. Kepala dusun duduk dengan sikap bersila di depan, dikelilingi oleh beberapa tetua. Ardhan diminta untuk duduk di posisi tengah.

Kepala dusun memandangnya dengan tajam. “Anak muda, ceritakan dengan jelas. Siapa dirimu, dari mana, dan mengapa datang ke sini berpakaian seperti makhluk asing? ”

Ardhan menarik napas dalam-dalam. Ia sadar bahwa ia tidak bisa menjelaskan bahwa ia berasal dari tahun 2025, sebab itu akan terdengar gila. Maka ia memilih kata-kata yang lebih hati-hati.

“Saya… dari kota yang jauh. Sebelumnya saya berada di perpustakaan, membaca naskah kuno. Tiba-tiba, cahaya melintas dan menarik saya. Ketika saya sadar, saya sudah berada di padang rumput dekat desa ini. ”

Suasana di pendapa menjadi hening. Beberapa orang berbisik, menyebut istilah “ngelmu” dan “pituduh gaib. ”

Ki Sabda mengelus janggutnya. “Mungkin ini adalah takdir, Bapak Kepala. Bisa jadi pemuda ini diutus oleh leluhur untuk suatu tujuan. ”

Namun, kepala dusun tetap meragukan. “Apakah itu takdir atau tidak, aku tidak bisa mempercayai kata-kata tanpa ada bukti. Jika memang tidak ada niat buruk, pemuda ini harus membuktikan tindakannya. ”

Ardhan terdiam, mengerti bahwa ia perlu menunjukkan bahwa dirinya bukan ancaman.

Ujian Pertama

Tak lama setelah itu, terdengar teriakan dari luar pagar desa. "Maling! Maling sapi! " Beberapa warga berlari menuju sawah dengan membawa cangkul dan bambu runcing.

Kepala dusun berdiri dengan gelisah. "Ini kesempatan untuk membuktikan diri. Jika memang kamu bukan musuh, tolong bantu warga menangkap pencuri. "

Ardhan menelan ludah. Dia bukan pahlawan, tetapi dia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kepercayaan. Dengan cepat, dia mengikuti warga keluar desa.

Di tepi sawah, seorang pria berbadan kekar terlihat menarik seekor sapi. Warga mengepungnya, tetapi pencuri itu mengacungkan golok besar, membuat beberapa orang mundur karena takut.

Ardhan merasakan darahnya mendidih. Dia tidak dapat menahan diri. Dia maju perlahan, menatap tajam ke arah pencuri itu.

“Lepaskan sapi itu,” ucapnya dengan tegas.

Pencuri itu tertawa sinis. “Siapa kamu, bocah aneh? Mau ikut mati? ”

Ardhan berdiri teguh. Ia merasakan ajaran kakeknya mengalir dalam tubuhnya. Dengan napas yang teratur, ia bersiap untuk menggunakan jurus yang sudah lama tidak ia tampilkan: Tapak Naga Menggulung Awan.

 

Saat pencuri menyerang, Ardhan segera menghindar dan melancarkan pukulan telapak tangan ke dada musuhnya. Gelombang tenaga yang muncul menghantam dengan keras. Pencuri itu terlempar beberapa meter, jatuh terjepit di dalam lumpur, tidak bisa bangkit lagi.

Warga berada dalam keadaan terkejut. Mereka berbisik satu sama lain, menyebut Ardhan sebagai pemuda yang memiliki kekuatan luar biasa. Kepala dusun memandangi Ardhan dengan rasa hormat, meskipun masih ada rasa ingin tahunya.

Ki Sabda tersenyum tipis. "Kini sudah jelas, Mas Ardhan bukanlah orang biasa. Mungkin kehadirannya memang telah ditentukan. "

Penutup Bab

Malam itu, Ardhan ditampung di rumah Ki Sabda sementara waktu. Ia duduk di teras, memperhatikan langit yang dipenuhi bintang-bintang yang bersinar lebih cerah daripada waktu yang biasa ia kenal. Hatinya dipenuhi rasa cemas: bagaimana caranya ia bisa kembali ke waktunya? Ataukah ia harus menerima kenyataan bahwa kini ia terjebak dalam dunia yang asing ini?

Desa masih ramai membicarakan dirinya. Ada yang menganggapnya sebagai berkah, sementara ada yang melihatnya sebagai bahaya. Ardhan menyadari, petualangannya baru saja dimulai, dan misteri besar yang membawanya ke tempat ini belum terungkap.

Ia menutup matanya sejenak, mendengar melodi gamelan yang samar dari kejauhan. Dalam hati, ia berbisik, "Kakek… apakah ini yang selalu kau bicarakan tentang warisan dari nenek moyang kita? "

Bersambung...

More Chapters