Ficool

Chapter 1 - Bab 1 - Gerbang Misteri

Senja mempersembahkan warna jingga yang dalam di atas langit Yogyakarta. Angin membawa wangi rempah pala, kenanga, dan sisa-sisa asap dupa yang masih menghiasi atmosfer setelah upacara hari itu. Dari kejauhan, bangunan besar Keraton terlihat seperti pulau damai di antara hiruk-pikuk kota yang ramai — dindingnya menyimpan banyak kisah, sementara atap joglo menutup misteri yang tidak boleh diungkap secara sembarangan.

Di depan pintu Perpustakaan Keraton, seorang pemuda bersandar pada tiang kayu. Wajahnya berwibawa, tubuhnya terbentuk dari latihan fisik yang telah dilakukan selama bertahun-tahun; kaos olahraga hitam yang dikenakannya masih tercium aroma keringat. Namanya Ardhan Wicaksana: mahasiswa jurusan sejarah, penggemar seni bela diri pencak silat, dan penghafal sebagian Al-Qur’an yang menjadikan doa sebagai pegangan jiwanya. Malam itu, ia mendapatkan kesempatan langka untuk mempelajari beberapa naskah berharga — suatu hak yang biasanya hanya diberikan kepada akademisi tertentu.

Pintu perpustakaan terbuka sedikit, dan langkah pelan seorang abdi dalem tua membawa Ardhan masuk. Di dalam ruangan, cahaya redup dari lampu minyak bergetar di atas permukaan buku-buku kulit, sementara asap debu nampak bertebaran lembut seperti kabut kecil. Rak-rak tinggi membentuk pembatas pandangan, menciptakan lorong-lorong yang seolah menarik siapa saja untuk tersasar dalam waktu.

Abdi dalem mengantar Ardhan ke bagian paling dalam, ke ruang kecil yang dirawat dengan perhatian khusus; di sana tersimpan barang-barang yang tidak boleh dipegang sembarangan. Ia membuka sebuah kotak yang dilapisi kain tua, mengambil napas dalam-dalam seolah memikul tanggung jawab besar. Dari dalam kotak, ia mengeluarkan seikat lontar yang dibalut dengan lembaran putih—kertas yang sangat rapuh, seakan bisa hancur jika tersentuh dengan kasar.

“Neng… ini naskah istimewa,” suaranya bergetar lembut namun tegas. “Namanya… Sastra Jendra Hayuningrat. Seperti yang diingatkan oleh orang tua: naskah ini seperti pintu. Siapa pun yang membukanya, harus menyadari risikonya. ”

Ardhan memandang lontar itu dengan tajam. Nama naskah tersebut bergema di pikirannya layaknya dentingan gong yang samar, yang selalu ia kenali dari buku-buku kuno. Sejak kecil, ia sering mendengar bisikan mengenai teks-teks sakral yang menyimpan rahasia nenek moyang; tetapi selama ini itu hanyalah pelajaran dalam kuliah sejarah, tidak pernah sekonkret saat ini.

“Terima kasih, Pak,” jawab Ardhan dengan suara rendah. Tangan kirinya bergetar sedikit saat membuka pembungkusnya. Di bawah sinar lampu minyak, huruf-huruf Jawa Kuno menyusun kata-kata yang begitu halus hingga terlihat seperti ukiran. Meskipun Ardhan tidak mahir membaca semua aksara tersebut, ada sesuatu dalam dadanya yang bergetar — seakan naskah itu berbicara tidak hanya dengan suara, tetapi juga dengan getaran.

Ia mulai membaca pelan. Kalimat demi kalimat mengalir, suara aksara bergetar di dalam kepalanya seperti sebuah doa. “…Sastra Jendra Hayuningrat; pangruwating raga lan jiwa; lawang kang nutupi antara jaman lan jaman…. ” Kata-kata itu menyatu dengan napasnya, menancap dalam di cakra dadanya. Sebentar, ia teringat pesan kakeknya, Ki Wicaksana, yang menegaskan bahwa ilmu kanuragan yang sesungguhnya bukan hanya sekadar teknik fisik; yang terkuat adalah keseimbangan antara energi dan kerendahan hati — kekuatan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta.

Saat jari telunjuknya menyentuh huruf terakhir di paragraf pertama, suasana ruangan berubah. Lampu minyak bergetar, meski tidak ada angin dari jendela. Bayangan rak tampak berdetak, dan lantai seolah bergetar lembut di bawah telapak kakinya. Ardhan merasakan bulu kuduknya berdiri. Di dalam dadanya, doa Al-Fatihah yang biasa ia lafalkan sebelum memulai aktivitas mengalir otomatis — bukan sekadar rutinitas, melainkan penguat jiwa yang menyejukkan.

Lontar yang ada di hadapnya mulai bersinar dengan lembut: bukan cahaya dari lampu, melainkan kilauan warna biru dan emas yang perlahan mengalir di atas kertas. Tulisan-tulisan itu terlihat terangkat, melayang seperti serpihan-serpihan kata yang memantulkan cahaya. Ardhan memejamkan matanya sejenak, namun rasa ingin tahunya mengalahkan segalanya. Ia menelan air liur, meraih lagi dengan tangan, dan membaca beberapa kalimat yang tampak melompat — mencoba memahami makna dari huruf-huruf yang samar.

“Subhanallah…” ucapnya, bukan hanya karena terkesan, melainkan karena insting spiritual yang menghubungkan saat ini dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Ia mengucapkan doa panjang di dalam hati—meskipun di tempat umum—meminta perlindungan. Kalimat-kalimat doanya seperti atap yang melindungi dari badai kekuatan agar tidak mengenai dirinya.

Namun, semua usaha manusia menjadi tidak berarti ketika naskah tersebut memilih untuk terbuka. Cahaya yang berputar secara perlahan berubah menjadi arus yang kuat; udara dalam ruangan terasa tegang, dan huruf-huruf terurai menjadi garis-garis cahaya yang melingkar. Peti-peti di rak mulai bergetar. Pelayan tua yang sebelumnya berdiri menutupi wajahnya dengan punggung tangan, tampak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Ardhan mencoba untuk mundur, tetapi rasanya lantai seolah lengket di bawah kakinya. Suara gemuruh kecil menggema di kepalanya; ia merasakan tarikan yang bukan hanya gravitasi, tetapi juga tarikan waktu. Semua hal seolah bersatu: suara gamelan yang samar dari jauh, aroma dedaunan kering yang terbakar, dan gema dari kata-kata lama yang kini menggerakkan suasana.

“AAHH—! ” Ia berteriak tanpa bisa menghentikannya. Tubuhnya tertarik, bukan dengan kekuatan fisik yang kasar, tetapi seolah diangkat oleh gelombang cahaya hangat yang lembut. Setiap ototnya terasa tertarik dari satu titik ke titik lainnya, melewati ruang kosong yang tidak berbentuk. Wajahnya terangkat, rambutnya tertiup angin, dan ia meninggalkan segala hal dari dunia modern—cahaya neon, suara kendaraan, dan notifikasi ponsel—sebagai memori yang jarak jauh menjadi tidak terasa.

Seketika hening.

 

Ardhan membuka matanya dan menemukan dirinya tergeletak di atas tanah, tetapi ini bukan tanah perpustakaan. Tanah di sini lembab, harum bau padi dan lumpur, dengan uap embun yang masih melilit rumput. Langit di atas berwarna biru, lebih cantik daripada foto mana pun yang pernah ia lihat, dan awan bergerak pelan, seolah-olah melakukan perjalanan panjang tanpa terburu-buru. Di kejauhan, tampak deretan bukit yang menjulang seperti punggung seekor naga, di mana ia melihat tenda-tenda kayu dan bendera-bendera kasar berkibar—simbol yang ia kenal dari buku sejarah: petunjuk zaman Mataram.

Tubuh Ardhan bergetar. Ia menyentuh pinggulnya, merasakan jaket yang kini terasa asing di kulitnya. Celana jeans dan sepatu karet tampak sangat tidak cocok dengan pemandangan di sekelilingnya. Sejumlah petani—seorang pria tua dengan kain di kepala, seorang wanita membawakan keranjang di punggung, dan seorang bocah kecil berambut gimbal—mengamatinya dengan campuran rasa ingin tahu dan ketakutan.

Seorang pria paruh baya mendekatinya dengan langkah mantap, memanggul cangkul di bahunya. Tatapan matanya penuh kehati-hatian. “Sampeyan sopo, den mas? Klambi njenengan aneh sanget,” kata lelaki tersebut dengan aksen Jawa pedesaan yang kental.

Ardhan menelan ludah. Suara bahasa itu terasa asing namun ramah; kata-kata kuno yang selama ini hanya ia baca kini mengalir nyata dari mulut lelaki itu. Ia ingin menjelaskan, tetapi kalimat "tahun 2025" terasa bodoh di telinganya sendiri. Siapa yang akan mempercayainya?

“Aku… tersesat,” ia menjawab dengan singkat. Suaranya pecah, karena udara yang berbeda menyangkut di tenggorokannya. Dalam hatinya, ia mengangkat doa; bukan untuk pengetahuan, tetapi untuk keselamatan. Doa yang ia pelajari selama ini, bacaan yang biasa ia ayatkan dalam salat, kini jadi pegangan di tengah kebingungan.

Di jarak jauh, seorang anak menunjuk ke arah Ardhan dan berteriak, “Lelaki aneh! Lihat pakaiannya! ” Seketika beberapa orang mendekat, membentuk lingkaran hati-hati. Mata mereka penuh penilaian: sebagian takut pada hal yang tidak dikenal, sementara lainnya penasaran dengan keajaiban yang mungkin muncul.

Ardhan merasakan pikirannya berputar: ia mengetahui fakta sederhana yang menghancurkan, bahwa naskah yang ia pegang bukan sekedar objek. Sastra Jendra Hayuningrat—yang pembacaan nakal itu baru saja mengungkap sesuatu—telah membawanya melintasi waktu. Ia menghembuskan napas panjang, merasakan aroma padi yang masuk ke dalam paru-parunya seperti sebuah pengakuan.

Di dalam kepalanya, pesan dari kakeknya terngiang: “Jagalah iman, Ardhan. Ilmu tanpa iman hanyalah bara yang membakar pemiliknya. ” Ia menutup mata sejenak, melantunkan Al-Fatihah dan doa-doa perlindungan yang kini teringat. Ketika ia membuka matanya lagi, ada sesuatu yang berbeda di pandangannya: bukan ketakutan yang pasif, melainkan tekad yang halus. Dunia ini asing, tetapi ia tidak akan menghindar dari pertanyaan—mengapa ia dibawa ke sini, dan apa yang digariskan untuknya oleh takdir?

Di tengah kerumunan bisikan, terdengar suara gamelan lembut dari arah timur. Melodinya halus, hampir seperti menjahit udara; dan di balik irama itu terdapat nuansa yang seakan menyambut dan memberikan peringatan. Ardhan menyadari satu hal yang menancap dalam benaknya: perjalanan ini baru saja dimulai—dan gerbang misteri yang dibuka di perpustakaan bukan hanya menghubungkan ruang, tetapi juga menghubungkan takdir.

Dengan tubuh yang masih bergetar, ia berdiri perlahan. Matanya menatap jauh ke arah ufuk, di mana sejarah menantikan langkahnya. Di dalam hatinya, doa-doa bergetar. Ia berikrar: ia akan mendalami Sastra Jendra, bukan sebagai pencari kekuasaan, tetapi sebagai saksi yang menghubungkan pengetahuan, martabat leluhur, dan keyakinan yang mengarahkannya. Dan jika ia harus melangkah ke wilayah yang berbahaya, ia akan maju dengan hati yang kuat—karena di antara arus waktu dan kitab kuno, terdapat satu hal yang konstan: keputusan untuk berpegang pada kebaikan.

Malam perlahan menyelusup. Bayangan panjang menjulur di tepi sawah. Ardhan menggenggam sisa rasa aman yang diperoleh dari doa, lalu melangkah perlahan ke arah desa—menuju sebuah era yang harus ia cermati agar dapat menemukan jalan kembali, atau mungkin menjumpai takdir baru yang menunggu di belakang Tirai Mataram.

Bersambung....

More Chapters