Siang itu, langit tampak mendung. Awan kelabu menggantung rendah di atas bukit yang mengelilingi desa kecil tempat Ardhan kini berada. Angin bertiup lembut, membawa bau tanah basah dari sawah yang baru dibajak. Ardhan berdiri di teras rumah Ki Sabda, menyaksikan aktivitas desa yang berdenyut dengan irama khas abad ke-16.
Sejak kejadian pencurian sapi malam tadi, ia menjadi topik hangat di kalangan penduduk. Beberapa di antara mereka menganggapnya sebagai titisan dewa, sementara yang lain masih merasa ragu dan menyebutnya sebagai pemuda yang membawa malapetaka. Ardhan menyadari bahwa setiap gerakannya kini diawasi.
Ki Sabda datang menghampiri sambil membawa kendi berisi air dingin. “Den Mas Ardhan,” katanya pelan, “apakah panjenengan menyadari? Dengan jurus yang kau tunjukkan kemarin, sampeyan telah membuka mata banyak orang. Namun, ingatlah, kemampuan yang besar juga dapat mengundang bahaya. ”
Ardhan menghela napas. “Saya hanya ingin melindungi mereka yang lemah, Ki. Saya tidak ingin dipandang sebagai dewa atau makhluk gaib. Saya hanyalah… orang biasa yang terjebak di era yang berbeda. ”
Ki Sabda tersenyum tipis. “Mungkin menurutmu seperti itu. Namun di jagad ini, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. ”
Belum sempat Ardhan menjawab, suara gong kecil dan teriakan prajurit terdengar dari luar pagar desa. Seorang pengawal kerajaan muncul di jalan utama, diikuti oleh beberapa prajurit yang bersenjata tombak. Suasana tiba-tiba sunyi. Penduduk bergegas keluar rumah, menundukkan kepala sebagai tanda hormat.
Dari atas kuda hitamnya, seorang pria yang mengenakan seragam prajurit bangsawan turun dengan berwibawa. Tubuhnya tinggi, dengan tatapan tajam seperti elang. Di pinggangnya terpasang keris bermotif naga. Suaranya berat dan penuh kekuasaan.
“Aku Tumenggung Wirasaba, utusan dari keraton. Siapa di antara kalian yang bernama Ardhan? ”
Warga segera menunjuk ke arah teras rumah Ki Sabda. Ardhan terdiam sejenak, lalu maju selangkah. Ia dapat merasakan aura prajurit itu bukan sembarangan. Tegas, disiplin, dan berbahaya.
“Saya Ardhan,” katanya.
Tumenggung Wirasaba memandangnya dengan tajam. “Kabar telah sampai ke keraton bahwa ada seorang pemuda asing berpakaian aneh dengan kemampuan mencurigakan. Raja tidak suka jika ada sosok misterius berkeliaran tanpa pengawasan. Aku diperintahkan untuk membawamu, hidup atau mati. ”
Desa kembali riuh. Beberapa penduduk berbisik ketakutan, sementara yang lain memandang Ardhan dengan simpatik.
Ki Sabda berusaha mediasi. “Tumenggung, pemuda ini bukan musuh. Dia telah membantu desa kami dari para pencuri—”
“Diam, Sabda! ” potong Wirasaba. “Kesetiaanmu pada rakyat memang besar, tetapi urusan kerajaan bukanlah hal yang bisa kau campuri. Aku harus membuktikan sendiri kekuatan anak ini, apakah pantas dibawa menghadap atau hanya layak menjadi debu di tanah ini. ”
Tatapannya tajam, seolah menantang. Ardhan menelan ludah. Ia menyadari, ini bukanlah pertarungan yang sepele.
Arena Dadakan
Desa segera berjarak, menciptakan ruang di lapangan tanah yang cukup luas. Ardhan berdiri berhadapan dengan Tumenggung Wirasaba. Angin berhembus kencang, mengangkat debu di antara mereka.
Tumenggung melepas jubah kombatan, kini hanya mengenakan pakaian dalam prajurit berwarna hitam. Otot-ototnya terlihat kencang, wajahnya menunjukkan keyakinan seorang ksatria yang akrab dengan pertempuran.
“Ardhan! ” teriaknya. “Jika kau benar-benar manusia, bukan makhluk gaib, buktikan dirimu dengan adu tanding. Tanpa senjata—hanya mengandalkan tubuh dan ilmu masing-masing. ”
Ardhan mengangguk. “Baik. ”
Ia mempersiapkan kuda-kuda silat warisan kakeknya. Dalam hatinya, ia berbisik: Kakek, bimbinglah aku.
Pertarungan Dimulai
Wirasaba menyerang lebih dulu. Gerakannya begitu cepat, seolah tubuh besar itu sama sekali tidak menjadi beban. Tinju yang keras menghantam udara, diikuti dengan tendangan rendah yang diarahkan ke lutut Ardhan. Ardhan menghindar dengan gesit, melipir ke samping.
“Wah, cepat sekali kamu,” bisik Wirasaba sambil menyipitkan matanya.
Ardhan menyikapi dengan jurus dasar pencak silat, memutar badannya untuk menahan serangan berikutnya. Dia berhasil memukul pergelangan lawan, sehingga serangan tinju Wirasaba melenceng. Namun, prajurit itu tak bisa menahan tawanya.
“Bagus! Tapi itu belum cukup! ”
Kemudian, ia melancarkan jurus andalan Mataram: Sembur Garuda, sebuah pukulan yang mengandung tenaga dalam. Udara bergetar saat ia mengayunkan tangannya. Ardhan merasakan tekanan sangat besar menimpa dadanya meskipun belum tersentuh.
Ardhan terhuyung, tetapi segera mengalirkan tenaga dalamnya. Ia menekuk lututnya, mengumpulkan napas, dan meluncurkan jurus Bayangan Seribu Tangan. Tubuhnya bergerak cepat, menciptakan ilusi bayangan yang mengelabui pandangan.
Wirasaba tampak terkejut. “Apa ini…? ”
Pukulan dan tendangan Ardhan datang dari segala arah. Meski beberapa berhasil diblok, satu tendangan telapak tangan berhasil mengenai bahu Wirasaba, membuatnya mundur sedikit.
Sorakan warga desa menggema. “Hidup Ardhan! Hidup den mas! ”
Namun, Wirasaba adalah prajurit berpengalaman. Ia berdiri tegak kembali dengan ekspresi yang lebih serius. Tangan kanannya meraih keris di pinggangnya, tetapi dia ingat aturan: tanpa senjata. Dia akhirnya meletakkan keris di atas tanah sebagai bentuk penghormatan.
“Ilmumu luar biasa, bocah. Tapi itu belum cukup untuk melawan Tumenggung Wirasaba! ”
Dengan teriakan yang menggema, ia menginjakkan kaki ke tanah dengan kuat. Energi besar menyebar, menyebabkan debu berterbangan. Ardhan merasakan dorongan kuat yang mendorongnya mundur. Wirasaba maju dengan kecepatan seperti banteng menanduk.
Ardhan menunggu momen yang tepat, lalu meluncurkan jurus andalannya: Tapak Naga Menggulung Awan. Telapak tangannya menghantam dada Wirasaba, mengalirkan getaran energi dalam yang meledak.
Suara dentuman terdengar. Wirasaba terlempar beberapa meter, jatuh terguling di tanah. Suasana sejenak hening. Semua orang menatapnya dengan penuh kekaguman.
Wirasaba bangkit perlahan, wajahnya dipenuhi debu, tetapi matanya bersinar penuh kepuasan. Ia tertawa keras. “Ha-ha-ha! Luar biasa! Belum pernah aku merasakan pukulan seperti itu sejak bertarung melawan prajurit Demak! ”
Ia kemudian mendekati Ardhan, menepuk bahunya dengan tangan yang berat. “Kau telah lulus ujian pertamamu, anak muda. Mulai hari ini, aku akan membawamu ke keraton. Hanya raja yang berhak menilai takdirmu. ”
Setelah Pertarungan
Warga bersorak kegirangan. Beberapa memeluk Ardhan, sementara yang lainnya menatapnya dengan kombinasi rasa kagum dan ketakutan. Ki Sabda tersenyum lega, meskipun hatinya dipenuhi banyak pertanyaan: siapa pemuda ini sebenarnya?
Ardhan hanya bisa menghembuskan napas panjang. Dia merasa lega tidak perlu membunuh prajurit itu, tetapi sekarang ia harus menghadapi tantangan baru: berhadapan dengan Raja Mataram.
Malam itu, sebelum beristirahat, ia duduk di teras rumah Ki Sabda. Tumenggung Wirasaba duduk di hadapannya, membersihkan kerisnya.
“Ardhan,” ucapnya pelan, “kau memiliki kemampuan luar biasa. Namun di keraton, ada banyak orang yang lebih tajam dalam penilaian daripada aku. Jika kau menyembunyikan asal-usulmu, mereka akan menghancurkanmu. Bersiaplah. ”
Ardhan menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang berkilauan. “Aku tidak tahu mengapa aku berada di sini. Tetapi aku akan mencari jawabannya, meski harus berhadapan dengan siapa saja. ”
Wirasaba mengangguk dengan puas. “Itu adalah respon seorang ksatria. ”
Penutup Bab 3
Fajar tiba, dan bersamanya, petualangan baru akan dimulai. Ardhan tidak lagi sekadar pemuda asing di desa tersebut. Kini ia berada di bawah pengawasan Tumenggung Wirasaba—pintu menuju takdir yang lebih besar.
Namun, jauh di balik bukit, bayangan kelam mulai bergerak. Mata-mata kerajaan lainnya sudah mendengar berita tentang pemuda misterius ini. Dan tidak semua kekuatan di tanah Jawa menginginkan kehadirannya.
Bersambung....