Ficool

Chapter 4 - Bab 4 - Sahabat Baru

Angin malam masih berhembus menyentuh atap-atap rumah di desa ketika Ardhan duduk merenung di serambi surau kecil. Suara jangkrik terdengar seperti sebuah orkestra malam, sementara aroma dupa halus dari altar surau mengisi atmosfer. Meskipun tubuhnya merasa letih setelah ujian yang mengejutkan itu, pikirannya belum bisa tenang. Kemenangannya melawan Tumenggung Wirasaba telah memunculkan gelombang baru dalam dirinya: rasa ingin tahu, kekaguman—dan tentu saja, kecurigaan. Di antara bisikan yang beredar, Ardhan menyadari bahwa kehidupannya yang dahulu tidak akan pernah kembali; sebuah jalan baru terbuka, dan kini ia harus menentukan langkahnya di atasnya.

Membaca Al-Qur’an

Dia membuka tas kecil yang terikat di pinggangnya. Al-Qur’an saku yang dijaganya dengan baik bersinar lembut di bawah sinar lentera. Jari-jarinya menyelusuri halaman demi halaman, lalu ia melantunkan ayat-ayat pendek untuk menenangkan jiwa. Doa selalu menjadi pegangan dalam keraguan, sejak ayahnya mengajarinya membaca surat-surat pendek sebelum tidur; sekarang ia melafalkan bukan cuma sebagai kebiasaan, tapi sebagai penyangga di dunia yang terasa semakin asing.

Pertemuan dengan Wiratmaja

Ketika ia masih terbenam dalam pikirannya, dia mendengar suara langkah mendekat. Ardhan menoleh, terbangun. Dari kegelapan muncul seorang pemuda berpakaian sederhana—kain lurik yang rapi, sorban kecil melingkar di pinggang, dan sebuah kitab kuning terlipat rapi dalam genggamannya. Wajahnya tenang seperti pagi yang tidak pernah marah, matanya lembut menatap Ardhan tanpa rasa takut atau niat untuk mengambil keuntungan.

“Assalamu’alaikum,” sapanya, suaranya mengalun seperti doa.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Ardhan sambil menutup mushafnya. Ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang memancarkan ketenangan; bukan hanya pengajaran formal, tetapi kedalaman spiritual yang menentramkan.

Perkenalan

“Aku Raden Bagus Wiratmaja,” lanjutnya sambil menunduk hormat. “Santri Ki Ageng Pemanahan. Aku mendengar berita tentang pemuda asing yang berani menantang Tumenggung Wirasaba. Nama itu membuatku tertarik; sepertinya adalah takdir bahwa kita bertemu. ”

Ardhan menanggapi dengan wajah campuran lega dan curiga. “Ardhan Wicaksana,” jawabnya singkat. “Seorang pengembara yang terjerat dalam hal yang sulit kupahami. ”

Wiratmaja mengangguk. “Seringkali perjalanan hidup seseorang memang aneh. Terkadang kita dibawa oleh arus ke tempat yang tidak pernah kita bayangkan. Namun yang terpenting bukan darimana kita berasal, melainkan bagaimana kita bertindak saat sampai di sini. ”

Percakapan pertama mereka terasa sederhana, namun bagi Ardhan, itu seperti menemukan oase di tengah gurun. Dalam tatapan Wiratmaja terdapat sebuah kesaksian: tidak ada pujian berlebihan, tidak ada kecurigaan yang dalam. Hanya ada undangan untuk saling percaya.

Keesokan Harinya

Pada pagi berikutnya, desa masih dipenuhi bisikan mengenai duel tersebut. Sebagian penduduk menganggap Ardhan sebagai pertanda; sementara yang lainnya memandangnya dengan rasa curiga. Ardhan dan Wiratmaja berjalan berdampingan ke pasar, namun langkah mereka terasa berat—setiap tatapan dirasa sebagai ujian, setiap bisikan dianggap sebagai pengawasan. Meski begitu, Wiratmaja tetap teguh; ia berjalan di samping Ardhan seperti saudara yang menjaga kehormatan.

Pertanyaan Ardhan

“Kenapa kau memilih untuk bersahabat denganku? ” tanya Ardhan akhirnya ketika mereka duduk di pinggir selokan, memperhatikan anak-anak bermain. “Banyak yang menyatakan aku berbahaya. ”

Wiratmaja menoleh dengan wajah yang tenang. “Pertama, kau berbicara dengan jujur; itu langka. Kedua, aku melihat di matamu sesuatu yang lebih berharga dari sekadar kekuatan fisik: kerinduan untuk memperbaiki, bukan menghancurkan. Dan yang ketiga, aku percaya Allah menempatkan seseorang di hidup kita bukan tanpa maksud. ”

Kata-kata itu tidak hanya menenangkan; ia menegaskan prinsip yang telah lama dipegang Ardhan: bahwa kekuatan yang sejati harus disertai dengan iman. Persahabatan mulai berkembang berdasarkan nilai-nilai yang sama.

Hari-hari selanjutnya, Ardhan dan Wiratmaja menghabiskan waktu bersama. Mereka saling berbagi pengetahuan: Ardhan memperlihatkan gerakan dasar warisan dari nenek moyangnya—langkah lembut, gerakan tangan yang mengalir seperti air, serta teknik penyaluran energi dalam yang dikenal sebagai Tapak Naga. Di sisi lain, Wiratmaja membantu Ardhan dengan ajaran batin: wirid, doa, dan penjelasan singkat mengenai ayat-ayat yang memperkuat moral. Dalam kegiatan sederhana tersebut, Ardhan mengolah antara pengetahuan fisik dan spiritual—bagaimana menjaga keseimbangan antara energi yang terlihat dan ketenangan yang tak kasat mata.

Suatu sore, mereka pergi ke padang rumput tepi hutan. Sinar matahari sore memantul di daun padi, menciptakan kilauan di helaian rambut mereka. Ardhan menunjukkan gerakan lebih mendalam; gerakannya kini menjadi lebih sistematik: langkah ketiga, perputaran bahu, tendangan melingkar, dan diakhiri dengan pelepasan energi dalam yang tergetar seperti riak air. Wiratmaja menyaksikan dengan seksama.

“Gerakanmu indah dan efisien,” ujar Wiratmaja. “Ada aliran energi yang menghubungkan bumi dan langit saat kau bergerak. Namun ingat, Ardhan, otot semata tidaklah cukup. Perlindungan batin sangatlah penting ketika menghadapi permainan ilmu hitam. ”

Ardhan mengangguk. “Di desaku, kakek selalu mengatakan: pengetahuan tanpa rasa takut kepada Tuhan adalah kebodohan yang berbahaya. Kakek mengajarkan doa sebagai penopang, bukan cuma sekadar ritual. ”

Kemudian mereka berlatih secara berpasangan. Ardhan berperan sebagai penyerang, sementara Wiratmaja menangkis sambil melafalkan wirid. Ada keselarasan dalam perpaduan itu: ujung gerakan bertemu dengan kekuatan doa, dan hasilnya membuat keduanya merasa menemukan bahasa baru. Bagi Ardhan, ini bukan sekadar masalah teknik; ini tentang menyadari bahwa kekuatan yang tampak dapat sirna saat jiwa kosong. Bagi Wiratmaja, berlatih bersamanya menciptakan jembatan antara ajaran agama dan budaya lokal yang selama ini hanya dipelajarinya dari teori.

Namun, kehidupan di desa tidak selalu damai. Di tengah latihan, berita buruk muncul: ditemukan jejak ritual gelap di pinggir hutan—lingkaran batu, kemenyan terbakar, dan simbol ular yang diukir secara kasar. Para tetua berkumpul, wajah mereka pucat. Ki Jayeng Raga, kepala adat, memimpin doa dan membakar kemenyan untuk menenangkan roh. Ada rasa takut yang mengendap: tanda-tanda ilmu hitam mengintai.

Suatu malam, ketika mereka duduk di serambi, terdengar bisikan dari arah hutan: suara seolah bisikan daun, diikuti desah yang mirip napas makhluk besar. Ardhan merasakan bulu kuduknya berdiri; Wiratmaja memejamkan mata sejenak, lalu membuka dan memandang ke arah pepohonan.

“Ada yang memperhatikan,” ucapnya pelan. “Alas Mentaok menyimpan banyak rahasia. Terkadang, saat satu hal berubah—seperti kedatanganmu—makhluk-makhluk itu akan bereaksi. ”

Ardhan menekan kerisnya di pinggang, merasakan beban tanggung jawab tersebut. “Aku tidak ingin membawa bahaya ke desa ini. Aku tidak berhak mengganggu kehidupan orang lain. ”

Wiratmaja menepuk pundaknya. “Kita bukan lawan bagi desa. Kita adalah pelindung jika memang Allah memberi kita kemampuan. Tapi kita harus bijak, Ardhan. Hati yang tenang lebih kuat dalam menghadapi ujian daripada hanya tubuh yang kokoh. ”

 

Keesokan harinya, setelah berita tentang ritual menyebar, beberapa penduduk yang merasa takut mendesak agar Ardhan pergi. Mereka khawatir akan adanya hubungan antara kehadirannya dan kebangkitan hal-hal mistis. Ardhan merasakan beban berat; ia terjebak dalam rasa bersalah meskipun niatnya baik. Namun, Wiratmaja ada di sampingnya, turut campur untuk menengahi.

“Biarkan saja orang-orang mencurigai kita,” ujar Wiratmaja kepada mereka yang berkumpul di pendopo. “Prasangka tidak akan membawa kita ke mana-mana. Yang penting harus kita lakukan adalah membersihkan, memperbanyak wirid, dan menjaga desa bersama-sama. ” Kemudian ia membisikkan kepada Ardhan, “Jangan pedulikan apa yang datang dari ketakutan. Ikutilah apa yang kau percayai benar. ”

Ardhan mengangguk. Ia memilih untuk membantu warga membersihkan lokasi-lokasi ritual, menyapu, dan menyalakan dupa suci sebagai penangkal kegelapan. Tangan-tangan warga yang sebelumnya curiga, perlahan-lahan mulai membantu. Persetujuan yang kecil ini menjadi langkah awal untuk membangun kepercayaan yang perlu ia pelihara.

Suatu ketika, saat mereka sedang membersihkan sebuah kebun yang ditandai, Ardhan merasakan dorongan aneh—suara halus yang terdengar seperti lagu jauh. Ia menoleh dan melihat dari balik semak-semak seorang perempuan muda melangkah mendekat. Wajahnya cantik namun sedih, rambut hitamnya tergerai, bajunya sederhana tapi elegan. Matanya menyimpan cerita kesedihan. Ia memperkenalkan nama Nyi Ratna Sari.

“Nama itu sering muncul dalam bisikan-bisikan,” kata Wiratmaja dengan rendah hati. “Ada yang mengatakan bahwa keluarganya terlibat dalam peristiwa lama antara Pajang dan Mataram. Namun sekarang ia membantu desa. ”

Ratna Sari menatap Ardhan dengan tajam. “Aku pernah melihatmu berjuang. Gerakanmu berbeda, tapi ada sesuatu yang membuatmu tampak… bukan sepenuhnya berasal dari zaman ini. Kau memiliki keberanian. Itu jarang ditemukan. ”

Ardhan mengangguk dengan rasa malu. “Aku hanya ingin melindungi, bukan menjadi bagian dari legenda. ”

Percakapan itu membuka babak baru: Ratna Sari bukan sekadar sosok misterius; dia juga memiliki luka dan kemampuan yang terkadang berguna, kadang menyakitkan—karakter yang membuatnya sulit untuk sepenuhnya dipercaya. Hubungan Ardhan dan Ratna mulai terjalin dengan lebih rumit: ketertarikan yang halus, rasa curiga, dan potensi pengkhianatan.

Pada malam-malam yang berikutnya, Ardhan dan Wiratmaja semakin giat berlatih. Mereka merancang strategi sederhana untuk menjaga desa: mengadakan patroli malam, mengumpulkan doa bersama, dan menjaga lokasi-lokasi yang pernah digunakan untuk ritual. Di balik semua itu, persahabatan mereka semakin kuat; bukan hanya sebagai teman latihan, tetapi sudah seperti saudara—saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain.

Akhirnya, persahabatan itu diuji bukan hanya oleh kemampuan bertarung mereka, tetapi juga oleh pilihan: tetap rendah hati meskipun terkenal sakti, terus berdoa meski dikelilingi kecurigaan, dan melindungi orang-orang yang meragukan mereka. Ardhan, yang sejak awal merasa sebagai orang luar, kini mulai merasakan bahwa di sini ada rumah—bukan dalam pengertian fisik, tetapi sebagai tempat di mana hatinya merasa diberi ruang untuk percaya dan dikuatkan.

Di kejauhan, di balik malam yang gelap, bayangan-bayangan kelam melayang. Ada desis tawa yang terdengar tidak manusiawi. Di balik tawa tersebut, terdapat bisikan dari mereka yang sedang menunggu kesempatan: Ki Surya Kala, sosok berambut perak, matanya merah, sedang mengamati setiap langkah pemuda asing itu. Rencananya bergerak perlahan, tetapi pasti.

Ardhan mengangkat tangan, menatap langit malam, kemudian menutup mata sejenak. Ia menghirup udara dalam-dalam, merasakan dingin yang menyentuh. Dalam hati, ia berdoa: bukan untuk kemuliaan, bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk melindungi yang lemah dan memenuhi amanah yang kini menyertainya. Sebuah persahabatan baru telah dimulai—halus tetapi tegas; ia seperti sinar kecil yang diharapkan akan menerangi kegelapan di Mataram.

 

Bersambung. . . .

More Chapters