Ficool

Chapter 3 - Api yang Tak Bisa Padam

Langit di atas Labirin Minotaur tampak seperti luka yang belum sembuh—retak, merah, dan terus berdenyut. Embusan angin membawa aroma logam terbakar dan bisikan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Aldous berdiri di tepi jurang, tempat di mana dunia pernah mencoba memahami kekuatan, lalu gagal dan hancur.

Di belakangnya, Rava berjalan pelan, langkahnya ringan tapi penuh tekad. ia tidak tahu ke mana Aldous akan membawanya, tapi ia tahu satu hal, ia lebih aman di dekat penjaga yang terkutuk daripada sendirian di dunia yang telah kehilangan arah.

"Namamu siapa?" tanya Rava, suaranya pelan tapi jelas.

Aldous terdiam. sudah lama ia tidak mendengar pertanyaan seperti itu. Di dunia yang ia jaga, nama tak lagi penting. yang penting hanya kekuatan dan kehancuran.

"Aldous," jawabnya akhirnya, suara berat seperti batu yang jatuh ke dasar jurang.

"Aku Rava," kata anak itu. "Ayahku dulu bekerja di sini. Dia bilang tempat ini menyimpan rahasia cahaya."

Aldous menoleh. Cahaya? Labirin ini menyimpan banyak hal—ambisi, keserakahan, dan kutukan. Tapi cahaya? Mungkin dulu, sebelum semuanya berubah.

Mereka berjalan menyusuri lorong yang dulu menjadi jalur utama para ilmuwan. Dindingnya kini retak, dipenuhi akar-akar hitam yang tumbuh dari dalam tanah, seolah dunia mencoba menelan kembali apa yang pernah dibangunnya.

"Kenapa kau masih di sini?" tanya Rava.

Aldous berhenti. Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya tidak. Ia menatap gauntlet di tangan kanannya—menyala pelan, berdenyut seperti jantung yang tak pernah tidur.

"Karena aku belum selesai," katanya. "Ada sesuatu yang masih terikat di sini. Sesuatu yang harus dijaga… atau dihancurkan."

Rava menatapnya, matanya penuh rasa ingin tahu. Ia tidak takut pada gauntlet itu, meski setiap orang yang pernah melihatnya tahu bahwa satu pukulan bisa menghapus kota dari peta.

"Kalau kau bisa menghancurkan semuanya, kenapa kau tidak pergi?"

Aldous menunduk. Ia tahu jawabannya, tapi ia belum siap mengatakannya. Ia tidak pergi karena ia takut. Bukan takut pada dunia, tapi takut pada dirinya sendiri. Takut bahwa jika ia melepaskan kutukan ini, ia akan kehilangan satu-satunya hal yang membuatnya tetap ada.

Tiba-tiba, tanah bergetar. Suara gemuruh datang dari bawah, dari inti labirin yang dulu menjadi pusat eksperimen. Aldous langsung berdiri tegak, matanya menyala, gauntlet-nya berdenyut liar.

"Tetap di belakangku," katanya pada Rava.

Dari kegelapan muncul sosok lain—tinggi, kurus, dan dipenuhi urat-urat hitam yang berdenyut seperti akar. Matanya kosong, tubuhnya seperti bayangan yang diberi bentuk. Makhluk itu bukan manusia, tapi juga bukan monster. Ia adalah sisa dari eksperimen yang gagal, entitas yang lahir dari ambisi dan ketakutan.

"Penjaga," bisik makhluk itu. "Kau masih hidup."

Aldous tidak menjawab. Ia tahu makhluk ini. Dulu, ia adalah salah satu ilmuwan yang percaya bahwa kekuatan bisa dikendalikan. Kini, ia adalah bukti bahwa kekuatan tidak pernah tunduk.

"Kau tidak bisa melindungi apa pun," lanjut makhluk itu. "Kau adalah kutukan itu sendiri."

Rava bersembunyi di balik Aldous, tapi matanya tetap menatap makhluk itu. Ia tidak mengerti sepenuhnya, tapi ia tahu bahwa Aldous sedang diuji—bukan oleh kekuatan, tapi oleh masa lalu.

Aldous melangkah maju. Gauntlet-nya menyala terang, dan tanah di bawahnya mulai retak. Tapi ia tidak langsung menyerang. Ia tahu, jika ia menggunakan kekuatan itu, ia akan kehilangan lebih banyak dari yang ia bayangkan.

"Aku bukan kutukan," katanya pelan. "Aku adalah pilihan."

Makhluk itu tertawa, suara retak seperti kaca yang pecah. Ia melompat ke arah Aldous, dan dalam sekejap, dunia menjadi api.

Aldous mengangkat gauntlet-nya, dan pukulan itu datang—cepat, berat, dan penuh cahaya merah yang menyilaukan. Makhluk itu terpental, tubuhnya hancur menjadi debu dan bayangan.

Tapi tanah di sekitar mereka ikut hancur. Dinding runtuh, lorong-lorong terbuka, dan dari dalam muncul lebih banyak bayangan—makhluk-makhluk yang lahir dari eksperimen, dari kutukan, dari ambisi yang tak pernah mati.

Rava menatap Aldous, matanya penuh ketakutan. Tapi Aldous menatap balik, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendiri.

"Kita harus pergi," katanya. "Tapi bukan untuk lari. Kita akan mencari inti labirin. Di sana, semuanya dimulai. Dan di sana, semuanya harus berakhir."

Rava mengangguk. Ia tidak tahu apa yang akan mereka temui, tapi ia tahu satu hal: selama Aldous masih berdiri, masih memilih untuk melindungi, maka api itu belum padam.

More Chapters