Ficool

Chapter 4 - Inti dari Segalanya

Langkah mereka menyusuri lorong-lorong tua terasa seperti menyusuri ingatan yang tak ingin diingat. Dinding-dinding labirin masih berdiri, tapi tak lagi kokoh. Retakan menyebar seperti urat di tubuh yang kelelahan, dan dari celah-celah itu, suara-suara masa lalu merayap keluar—bisikan, jeritan, doa yang tak pernah dijawab.

Aldous berjalan di depan, tubuhnya tegap, tapi sorot matanya tak lagi setegas dulu. Di belakangnya, Rava mengikuti, kadang melompat menghindari batu yang runtuh, kadang menatap langit-langit yang seolah bisa jatuh kapan saja. Ia tak bertanya banyak, tapi pikirannya penuh.

"Tempat ini… seperti hidup," gumam Rava.

Aldous menoleh sedikit, lalu mengangguk. "Labirin ini bukan hanya bangunan. Ia menyimpan semua yang pernah terjadi. Dan semua yang belum selesai."

Mereka tiba di sebuah ruangan besar, dulunya pusat kendali eksperimen. Di tengah ruangan, ada lingkaran logam yang dulu digunakan untuk menyalurkan energi. Sekarang, lingkaran itu retak, dan dari retakan itu keluar cahaya merah yang berdenyut pelan, seperti napas makhluk yang tertidur.

Aldous mendekat. Gauntlet-nya menyala lebih terang, seolah merespon panggilan dari dalam tanah. Ia tahu, di bawah ruangan ini, ada inti labirin—tempat di mana energi pertama kali ditemukan, dan tempat di mana kutukan lahir.

"Di sinilah semuanya dimulai," katanya pelan.

Rava mendekat, matanya menatap lingkaran logam itu dengan rasa ingin tahu. "Apa yang mereka cari?"

Aldous terdiam. Ia ingat. Dulu, para ilmuwan percaya bahwa di bawah labirin ada sumber energi yang bisa mengubah dunia. Mereka menyebutnya Nadi Dunia. Tapi mereka tidak tahu bahwa energi itu punya kehendak. Ia bukan benda mati. Ia adalah kesadaran yang menunggu untuk dibangunkan.

"Mereka ingin kekuatan," jawab Aldous. "Tapi mereka lupa bahwa kekuatan selalu punya harga."

Tiba-tiba, lantai bergetar. Lingkaran logam menyala, dan dari dalam retakan muncul bayangan—bukan makhluk, tapi bentuk energi yang menyerupai manusia. Wajahnya kabur, tubuhnya transparan, tapi sorot matanya tajam.

"Kau kembali," kata sosok itu. Suaranya bergema, seperti berbicara dari dalam kepala.

Aldous berdiri tegak. "Aku datang untuk mengakhiri ini."

Sosok itu tertawa, suara retaknya menyebar ke seluruh ruangan. "Kau tidak bisa mengakhiri apa yang kau sendiri hidupkan. Kau adalah bagian dari kami."

Rava mundur, tapi Aldous mengangkat tangan kirinya, melindungi anak itu. Gauntlet di tangan kanannya mulai berdenyut liar, dan lantai di bawahnya mulai retak.

"Aku bukan bagian dari kalian," kata Aldous. "Aku adalah penjaga. Dan penjaga tahu kapan harus menghancurkan pintu."

Sosok itu melayang mendekat, dan dari tubuhnya keluar kilatan energi yang menyambar dinding. Batu-batu runtuh, debu beterbangan, dan suara gemuruh memenuhi ruangan.

Rava berteriak, tapi Aldous tetap tenang. Ia melangkah maju, dan dengan satu pukulan, ia menghancurkan lingkaran logam itu. Ledakan cahaya memenuhi ruangan, dan sosok bayangan itu menjerit, tubuhnya terpecah menjadi serpihan energi.

Tapi ledakan itu juga membuka jalan ke bawah—lorong sempit yang mengarah ke inti labirin. Aldous menatap lorong itu, lalu menoleh ke Rava.

"Kau tidak harus ikut," katanya.

Rava menatapnya, lalu menggeleng. "Aku sudah sejauh ini. Aku ingin tahu kebenarannya."

Aldous mengangguk. Mereka turun bersama, menyusuri lorong yang semakin gelap dan sempit. Dindingnya dipenuhi simbol-simbol kuno, dan udara di dalamnya terasa berat, seperti menghirup kenangan yang terlalu lama disimpan.

Di ujung lorong, mereka tiba di sebuah ruangan bulat. Di tengahnya, ada bola energi merah yang berdenyut pelan. Di sekeliling bola itu, ada patung-patung penjaga—wajah mereka mirip Aldous, tapi kosong. Mereka adalah generasi sebelum Aldous, penjaga yang gagal, atau mungkin dikorbankan.

Aldous mendekat. Gauntlet-nya menyala, dan bola energi itu merespon, bergetar, lalu berbicara.

"Kau datang untuk menghancurkan, atau untuk bergabung?"

Aldous menatap bola itu, lalu menatap Rava. Anak itu berdiri di ambang pintu, matanya penuh harapan dan ketakutan.

"Aku datang untuk memilih," jawab Aldous.

Bola energi itu menyala terang, dan dari dalamnya keluar bayangan dirinya—Aldous muda, sebelum kutukan, sebelum kehancuran. Wajahnya penuh idealisme, matanya bersinar.

"Kau dulu percaya bahwa kekuatan bisa menyelamatkan dunia," kata bayangan itu.

Aldous mengangguk. "Dan aku masih percaya. Tapi bukan kekuatan yang liar. Bukan kekuatan yang menelan jiwa."

Bayangan itu mendekat, lalu menyatu dengan gauntlet. Cahaya menyebar ke seluruh ruangan, dan patung-patung penjaga mulai retak. Dari retakan itu keluar cahaya putih, bukan merah. Cahaya yang tenang, bukan marah.

Rava menatap semua itu, lalu mendekat. "Apa yang terjadi?"

Aldous menatap gauntlet-nya. Warnanya berubah—dari merah menyala menjadi putih keperakan. Energinya masih ada, tapi tidak lagi berteriak. Ia telah berdamai.

"Kutukan ini… bukan untuk dihancurkan," katanya. "Tapi untuk dipahami."

Rava tersenyum. "Jadi kau bukan monster?"

Aldous menatap anak itu, lalu tersenyum tipis. "Aku adalah penjaga. Dan penjaga tidak selalu sempurna. Tapi mereka tetap berdiri."

Di dalam inti labirin, di tempat di mana semuanya dimulai, Aldous memilih untuk tidak menjadi alat, tidak menjadi kutukan, tapi menjadi manusia yang tetap berdiri meski dunia runtuh.

Dan api itu, untuk pertama kalinya, tidak menyala karena amarah. Tapi karena harapan.

More Chapters