Ficool

Chapter 3 - chapter 3:takdir tidak bisa ditebak

Di dalam kelas, suasana awalnya biasa saja. Beberapa murid bercanda, beberapa sibuk mencatat, tapi ketika guru berdiri di depan papan tulis, semua langsung diam. Aura wibawa pria paruh baya itu menekan seisi ruangan.

"Ujian pendaftaran masuk Academy akan dimulai dalam enam bulan,"ucap sang guru dengan suara tegas. "Mulai sekarang, latihlah diri kalian. Jangan menunggu sampai semuanya terlambat."

Murid-murid tampak bersemangat. Ada yang menggenggam meja erat, ada pula yang menatap ke depan dengan mata penuh api.

Guru lalu menatap seisi kelas, kali ini lebih serius. "Ingatlah, setiap kerja keras kalian hari ini, akan menjadi dasar pijakan kalian di masa depan. Guru berharap, siapapun dari kalian yang mampu kelak bisa berdiri tegak dan membawa kebanggaan bagi keluarga, kota, bahkan dunia ini."

Sejenak, kelas hening. Kata-kata itu seperti berkat yang menyelimuti ruang kelas.

Beberapa murid menunduk penuh rasa hormat. Bahkan murid yang biasanya suka bercanda ikut terdiam.

Namun Rio, yang duduk di bangku belakang dekat jendela, hanya menatap keluar dengan wajah datar. Cahaya matahari sore jatuh ke wajahnya, menyorot sosok yang terasing di antara teman-temannya.

Saat guru ingin mengambil tasnya, sebuah pertanyaan memecah suasana.

"Guru, apakah kelas biasa bisa masuk ke Academy?"

Kelas mendadak senyap. Semua murid menoleh, tatapan mereka akhirnya jatuh ke Rio.

Guru itu menatap murid-muridnya sebentar, lalu tersenyum samar.

"Itu tergantung dari kemampuannya. Jika dia memiliki sesuatu yang unik, jalan akan terbuka. Academy punya banyak cara untuk menilai murid. Kelas bukanlah segalanya."

Murid yang bertanya tampak tidak puas, wajahnya masam.

Sang guru menarik napas panjang, lalu menatap ke arah jendela, seakan sedang mengingat sesuatu.

"Dulu, guru juga lahir sebagai kelas rendah. Semua orang berkata aku tidak akan pernah menjadi apa-apa. Tapi dunia ini… aneh. Masa depan tidak selalu menetap pada satu orang. Kadang ia bisa berpindah, terkadang dibagi, seolah sedang menguji siapa yang pantas."

Kelas terdiam. Kata-kata itu terasa asing, tapi kuat.

"Aku memang tidak berhasil masuk Academy," lanjutnya, "tapi aku menemukan jalanku sendiri. Hingga akhirnya aku berdiri di sini sebagai guru kalian. Jadi, jangan buru-buru menolak masa depan hanya karena label di awal."

Dia lalu menyapu pandangan ke seluruh murid, namun pandangannya terhenti cukup lama pada Rio.

"Percayalah, takdir itu bisa berubah… atau bahkan kembali… pada saat yang tidak kau sangka."

Ucapan itu hanya terdengar seperti kisah lama seorang guru. Tapi di telinga Rio, kata-kata itu seperti belati yang menusuk dada. Dia sadar, gurunya tanpa sengaja menyentuh rahasia yang tidak boleh diketahui siapa pun.

---

Waktu istirahat.

Langkah kaki Rio di koridor terdengar jelas, karena semua murid memilih menjauh darinya. Bisikan-bisikan samar terdengar di belakang punggungnya:

"Itu si gila…"

"Katanya dia pernah—"

"Hush, nanti dia dengar!"

Rio mendengar semuanya, tapi hanya menarik napas panjang. Ia terlalu malas meluruskan rumor yang semakin hari semakin tak masuk akal.

Dari kejauhan, suara panggilan Amelia memecah suasana.

Ketika Amelia berteriak memanggilnya, hampir seluruh perhatian murid di lorong beralih pada mereka. Amelia berlari cepat, rambut merah mudanya terayun liar, sementara Miya berjalan cepat dengan wajah khawatir, dan Yori sedikit tertinggal, ragu tapi tetap menyusul.

Tatapan tajam Amelia menusuk Rio, berbeda dengan tatapan Miya yang lembut, dan Yori yang penuh kebimbangan.

"Rio... apa kau ingin meninggalkan kami?" suara Miya lirih, tapi cukup membuat jantung Rio berdetak kencang.

Ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya dengan menutup mulut menggunakan tangan seolah sedang menguap.

Rio menarik napas panjang, menatap tiga teman masa kecilnya dengan mata lelah.

"Aku tidak pernah ingin meninggalkan kalian…" suaranya lirih tapi jelas.

Dia mengepalkan tangan, menahan gejolak dalam dadanya.

Matanya sedikit bergetar, ia menunduk.

"Setidaknya kalau aku menjauh… aku bisa mencari jalanku sendiri. Aku ingin kembali dengan kekuatan, bukan hanya dengan rasa terima kasih. Aku ingin berdiri sejajar, bukan terus bersembunyi di balik punggung kalian."

Sesaat hening. Ucapan itu bukannya meredakan, justru membuat ketiga gadis semakin terpukul.

Yori menggigit bibirnya, lalu menangis keras.

“Bodoh! Kau pikir kami peduli soal itu!? Tidak, Rio! Kami hanya ingin kau tetap di sini… bersam—” suaranya pecah ditelan isak Tangis.

Amelia menatap Rio dengan marah, tapi matanya berkaca-kaca. Sedangkan Miya menunduk, wajahnya pucat, seolah takut kehilangan sesuatu yang tak tergantikan.

Rio hanya bisa menutup mata sejenak. Kata-katanya, meski tulus, justru menambah luka di hati mereka.

Ketika Yori menangis, air matanya jatuh dan menetes di lantai koridor. Murid-murid lain langsung memandang mereka dengan lebih intens, seakan-akan drama itu sebuah hiburan. Suara-suara bisikan baru mulai terdengar:

"Jadi dia meninggalkan teman masa kecilnya?"

"Parah banget…"

Rio menundukkan kepala, meremas rambutnya sendiri dengan frustasi. Mereka salah paham… pikirnya.

"Siapa yang telah memberitahu rencanaku kepada mereka?"Gumamnya.

Saat itulah dia muncul.Suara langkah sepatu hak terdengar, menembus keheningan. Seorang gadis berambut hitam panjang dengan dua pita kupu-kupu di sisi kepalanya berjalan anggun mendekat. Semua murid langsung menahan napas, karena pesonanya seperti menelan perhatian seluruh lorong.

Dengan senyum licik yang nyaris tak terlihat, ia melingkarkan tangannya ke lengan Rio lalu menyandarkan kepala di bahunya. Aroma parfum bunga yang lembut langsung menusuk indera penciuman Rio, membuatnya semakin bingung.

"Ayo pergi, darling," ucapnya manja, suaranya meluncur seperti racun yang dibalut madu. "Aku tidak suka melihatmu bersama mereka."

Lorong sekolah pun langsung meledak dengan bisikan lebih heboh.

More Chapters