Ficool

Chapter 2 - chapter 2: kelas biasa

Anak laki-laki itu, Leon.menatap kerumunan dengan sorot mata penuh kesombongan. Bibirnya melengkung, seolah semua orang di ruangan hanyalah makhluk rendah yang ditakdirkan untuk mengabdi kepadanya. Dengan kelas Mystic, ia merasa bisa melakukan apa pun yang ia inginkan.

Namun, di balik cahaya yang memancar darinya, keserakahan mulai tumbuh di dalam hatinya. Setiap tatapannya, setiap senyumnya, menyimpan ambisi tak terbatas.

Lalu, matanya terhenti pada sosok yang masih berdiri tegak, Rio.

Tidak ikut sujud, tidak ikut kagum, hanya berdiri dengan wajah datar.

Ekspresi Leon berubah. Dari senyum angkuh menjadi tatapan penuh kebencian.

Seolah keberadaan Rio yang tidak tunduk adalah penghinaan besar yang tidak bisa dimaafkan.

Cahaya di sekitar Leon tiba-tiba mulai meredup. Ia perlahan turun dari udara dan menjejakkan kaki di lantai. Saat itu juga, semua orang yang sebelumnya bersujud mulai berdiri. Ekspresi kebingungan terpancar dari wajah mereka, seolah mereka baru saja bangun dari mimpi panjang.

"Apa yang sebenarnya terjadi barusan…?" bisik salah satu murid dengan suara gemetar.

Namun tidak ada yang bisa menjawab.

-----

Waktu terus berjalan. Satu per satu murid maju untuk menyentuh bola kristal biru. Kebanyakan hanya memunculkan cahaya samar, tanda kelas biasa. Beberapa mendapat kelas menengah atau atas, membuat keluarga mereka bersorak lega.

Hingga tiba giliran seorang gadis berambut hitam panjang, Vivian Lenoir. Tubuhnya ramping, wajahnya cantik, sorot matanya tajam. Ia melangkah maju dengan percaya diri, seragam olahraga sekolah membalut tubuhnya dengan sederhana namun menawan.

Saat jemarinya menyentuh bola kristal, suasana seketika berubah.

Empat elemen dasar, api, air, tanah, dan angin, melayang di udara. Masing-masing berputar dengan cahaya yang mempesona, lalu masuk ke dalam bola kristal dengan kecepatan tinggi.

Dalam sekejap, empat makhluk legenda muncul dari bola kristal: Phoenix berapi-api, kura-kura hitam yang megah, harimau putih yang gagah, dan naga hijau yang berputar di udara.

Aura mereka begitu menekan, membuat hampir semua murid kesulitan bernapas.

"Ini juga… kelas Mystic!" teriak pak tua pengawas, matanya terbelalak tak percaya.

Ia lalu tertawa, matanya berkilat penuh harapan.

"Dengan dua kelas Mystic… umat manusia pasti bisa mengalahkan ras lain!"

Sorak sorai dan gumaman kagum memenuhi ruangan. Vivian menurunkan tangannya, wajahnya tetap dingin. Ia melangkah turun tanpa berkata apa pun, bahkan pada para pengawas yang masih gemetar karena takjub.

Sombong, angkuh, seakan dunia ini tidak pantas berbicara dengannya.

---

Tak lama, seorang gadis lain maju. Pak tua itu masih dipenuhi euforia, meski dalam hatinya ia tahu, dua kelas Mystic dalam satu generasi adalah keberuntungan yang tidak akan terjadi lagi dalam ribuan tahun.

Namun, kenyataan jauh melampaui dugaannya.

Saat tangan gadis itu menyentuh bola kristal, kegelapan pekat segera menyelimuti ruangan. Cahaya menghilang, digantikan oleh malam abadi.

Murid-murid mulai gemetar.

Kegelapan ini bukan kegelapan biasa. Ia menusuk pikiran, menghadirkan ilusi yang menakutkan. Beberapa murid bahkan mulai menangis, merasakan ketakutan yang tidak bisa dijelaskan.

Wanita itu berdiri tenang di tengah kegelapan. Ia mengangkat tangannya, dan semua kegelapan itu berkumpul, membentuk seekor naga hitam yang melingkar di pundaknya.

Ekspresi puas terlihat jelas di wajahnya. Ia tahu, ia baru saja mendapatkan kelas Mystic.

Pak tua itu terdiam membeku. Wajahnya kaku, bibirnya bergetar, namun tidak ada kata-kata yang keluar.

"T-tiga kali…?" gumamnya akhirnya, nyaris tak terdengar.

"Ini bukan kebetulan… ini bukan keberuntungan… ini adalah sesuatu yang melampaui pemahamanku!"

Namun upacara harus tetap berlanjut. Dengan wajah muram, ia melanjutkan panggilan berikutnya.

---

Satu per satu murid bangkit. Ada yang mendapat kelas atas, ada yang menengah, banyak pula yang hanya kelas biasa.

Hingga akhirnya, giliran Rio tiba.

Dengan langkah pelan, ia maju ke depan. Suasana ruangan seketika berubah, bukan karena harapan, melainkan cibiran.

Rio meletakkan tangannya di atas bola kristal.

Hening.

Detik demi detik berlalu.

Namun bola kristal tetap gelap. Tidak ada cahaya, tidak ada reaksi.

Beberapa murid mulai berbisik.

"Hey, lihatlah. Rio hanya dapat kelas biasa."

"Padahal aku kira dia bisa sesuatu… ternyata tidak berguna."

"Lucu juga, didekati tiga wanita cantik, tapi hasilnya begini."

Yang lain terkekeh, menambahkan dengan nada mengejek:

"Jangan bicara keras-keras, nanti dia sembunyi lagi di belakang perempuan."

Rio hanya berdiri kaku. Namun di dalam dirinya, rasa getir itu mendidih. Ingatan 12 tahun yang penuh penantian, penuh harapan, kini hancur begitu saja.

Senyum miring muncul di wajahnya, senyum gila yang ia sembunyikan dengan menunduk.

"Jadi… begini akhirnya. Kalau begitu, aku tidak punya pilihan lain."

Dari kejauhan, Amelia menatap Rio. Matanya berkilau, seolah berusaha menghapus luka yang baru saja menggores hati sahabatnya. Saat Rio memasuki kerumunan, Ia melangkah maju, menggenggam tangan Rio dengan erat.

"Tenang saja," ucapnya lembut. "Ayahku akan mencarikanmu pekerjaan yang layak."

Rio tersenyum tipis. Senyum yang dipaksakan.

"Itu tidak perlu… aku bisa mencarinya sendiri."

Amelia mengerutkan alis. Ia melepaskan genggaman tangannya, menyilangkan kedua tangan di dada.

“Kamu selalu bilang begitu. Tapi pada akhirnya… kamu tetap minta bantuanku.”

Nada suaranya berubah menjadi cemberut. Namun kalimat itu menancap di hati Rio seperti jarum tajam.

Karena itu adalah kenyataan. Selama ini, Amelia lah yang sering menolongnya. Amelia lah yang mengubah hidupnya dia juga yang menjadi sandarannya.

Dan semakin besar hutang budi itu, semakin berat beban di hati Rio.

Ia tidak tega meninggalkannya. Namun di sisi lain, ia juga tidak bisa terus berada di bayang-bayangnya.

More Chapters