Ficool

Chapter 6 - Chapter 6

Pagi itu, markas para petualang seperti biasa dipenuhi riuh rendah suara. Aroma kopi yang baru diseduh, sup hangat, dan roti panggang menyatu dengan suara tawa dan percakapan para petualang yang sudah terbiasa hidup dalam hiruk-pikuk. Kursi-kursi kayu bergeser, cangkir beradu, dan cerita tentang pertempuran kemarin masih jadi topik utama di beberapa meja.

Di antara keramaian itu, pintu besar ruang tengah terbuka lebar. Ketua asosiasi melangkah masuk dengan gaya khasnya—langkah lebar, dada membusung, seolah seluruh ruangan langsung tunduk pada wibawanya. namun di selah selah itu... 

wajah sang ketua Asosiasi langsung mengarah ke putri keduanya. 

“Hei, Lydia! Apa kau melihat Genshiki?” sambil menyapu pandangan ke segala arah, mencari sosok pemuda itu. 

Lydia yang sedang merapikan gelas di meja, Mengangkat wajahnya dengan ekspresi polos. Rambut panjangnya yang diikat setengah berantakan jatuh menutupi pipinya. Ia menggeleng cepat, sedikit panik karena ditatap langsung.

“Hmm? Tidak, Ayah. Aku tidak tahu.”

Sontak Tatapan ketua asosiasi menyipit. Ia mendekat, lalu mencondongkan tubuhnya sambil mengamati gerak-gerik putrinya.Pandangannya penuh curiga, meski wajahnya justru terlihat agak kocak karena berusaha serius.

“Bukankah waktu itu kau sendiri yang bilang ingin mengantarnya ke kamar setelah dia potong rambut? Kenapa sekarangi kau seperti tidak peduli? Apa… kau mengalah sama kakakmu untuk mendapatkan hatinya?”

“Eh? Ngg—nggak begitu!” Lydia buru-buru gelagapan.

“A-aku sempat ke kamarnya semalam, tapi dia tidak membuka pintu. Dia hanya bilang, jangan ganggu dulu.” Lydia menunduk, ada jeda sejenak lalu lydia mengangkat kepalanya kemudian matanya berbinar penuh antusias. “Tapi waktu itu… setelah dia tahu namaku, dan aku melihat dia duduk sendirian… rasanya—”

Plak!

Sebuah ketukan ringan mendarat di kepalanya. Ketua asosiasi mengetuk seperti memukul dengan palu mainan.

“Jangan lanjutkan, putriku yang bodoh!” seru ketua asosiasi dengan wajah setengah malu, setengah kesal. “Astaga, kau terdengar sangat mesum!” sambil melirik ke arah para petualang lain yang untungnya sibuk sendiri.

Lydia bukanya kapok, dia malah mengembungkan pipinya. “Apa mungkin… aroma laki-laki bisa bikin aku hamil?” 

Plak!

Ketukan kedua mendarat lagi, lebih kencang.

“Sudah! Sudah! Bicara denganmu membuat kepalaku meledak,” Geram ketua asosiasi sambil memijat pelipisnya. Ketua asosiasi akhirnya menyerah, menghela napas panjang, lalu meninggalkan Lydia sambil menggerutu.

Sedangkan Lydia hanya manyun, memegangi pipinya ia merasa geli sendiri dengan apa yang membekas dibenaknya.

Ketua asosiasi masih berjalan memegangi kepalanya sendiri.

“Anak itu… siapa yang mengajari dia sampai bisa berpikiran seperti itu...Usianya baru juga lima belas tahun, tapi tingkahnya sudah seperti…” gumamnya dengan suara setengah marah, setengah putus asa.

Ia melangkah menuju dapur. Tatapannya bercampur sesaat. Bayangan wajah istrinya yang sudah tiada muncul samar di benaknya—senyum manis namun juga genit, seperti dulu.

“Sayaaannggggg…” suara lirih itu terngiang.

Sekejap, wajahnya berubah merah padam. Ia langsung menggeleng cepat-cepat, menepuk pipinya sendiri.

“Tidak! Jangan ingat itu! Huhh…” desahnya, mencoba menepis bayangan tersebut.

Dari kejauhan, terlihat Soiya sedang mencuci pakaian para petualang. Gadis itu tampak serius, namun ekspresi lembutnya membuat suasana sekitarnya terasa lebih tenang. Ketua asosiasi menghampirinya.

Dengan wajah sedikit mengerut, ia bertanya, “Apa kau melihat Genshiki?”

Soiya tersentak kaget, hampir menjatuhkan pakaian yang sedang dibilas.

“Eh!... Eh,Kenapa ayah harus tanya padaku?” ucapnya gugup.

Ketua asosiasi langsung menatap tajam, tapi hanya sebentar. Dalam hatinya ia bergumam,

“… sudah kuduga. Kakak dan adik sama saja, tingkahnya tidak jauh berbeda."

“Jadi? Kau lihat dia atau tidak?” tanyanya lagi, kali ini lebih datar.

Soiya mengusap dagunya pelan, mencoba mengingat. Wajahnya terlihat imut sekali saat berpikir.

“Pagi tadi… aku sempat mengantarkan makanan ke kamarnya. Dia cuma membuka pintu sebentar, menerima nampan, lalu langsung menutup pintunya.”

Ketua asosiasi memegangi dadanya seolah kesakitan.

“Sungguh malang… putriku yang cantik jelita, secantik bunga mawar… tidak dianggap sama sekali oleh anak muda itu…" batinnya dengan nada tragis.

“Eh? Ayah, apa yang kau pikirkan?” tanya Soiya polos, menoleh.

“Tidak, tidak… bukan apa-apa. Aku cuma khawatir, dia sudah dua hari tidak keluar kamar,” jawab sang ayah, nada suaranya setengah sedih, setengah dibuat-buat dramatis.

Soiya tersenyum tipis. “Kalau begitu, mungkin ayah bisa membuatnya mau bergabung sebentar. Dia… pasti hanya butuh sedikit dorongan.”

Mendengar itu, ketua asosiasi mendadak berlinang air mata namun kocak. Ia langsung meraih tangan putrinya dengan ekspresi berlebihan.

“Putriiiiikuuuu…berjuanglah! ” ucapnya dramatis, sebelum buru-buru kabur dengan cepat, menyeka pipinya yang basah.

Soiya hanya bisa berdiri bengong. “Eh? Maksud, ayah…”

Ketua asosiasi kemudian sudah tidak disitu. Yang Tersisa hanya byangan. "Ehh... Dimana ayah" soiya kebingungan melihat kiri kanan.

Langkah kaki ketua asosiasi bergema pelan di lorong markas. Semakin dekat ke arah kamar Genshiki, wajahnya berubah serius. Dalam hatinya, ia berbisik:

“Luka lama… anak itu tidak akan bisa diam di kamarnya terus. Aku tahu caranya, serahkan padaku…”

Sampailah ia di depan pintu kamar. Tangannya mengepal, lalu terdengar tok tok tok.

Di dalam kamar, Genshiki tengah duduk di kursi dekat jendela. Pandangannya menembus awan-awan di langit luar, seperti ada sesuatu yang jauh lebih berat daripada tubuhnya sendiri. Saat ketukan terdengar, ia menarik napas panjang.

“Iya… sebentar,” ucapnya datar.

Pintu berderit terbuka. Ketua asosiasi berdiri di sana, terkejut pura-pura.

“Eh? Jadi kau memang ada di sini, Nak. Kupikir kamarmu kosong,” katanya sambil menggaruk kepala.

Genshiki hanya melirik, lalu kembali ke trmpat asal dan menatap keluar jendela. Ia tahu pria tua itu sedang mencari alasan.

“Ngomong-ngomong…” suara ketua asosiasi menjadi lebih berat, namun tetap hangat. “Apa kau ingin ikut aku keluar?”

Genshiki menoleh sedikit. “Untuk apa?” tanyanya datar.

“Selama beberapa hari ini aku melihatmu hanya menatap jendela. Jarang sekali keluar kamar. Jadi kupikir… mungkin kau perlu melihat sesuatu. Tempat yang berbeda. Tempat yang… mungkin penting.”

Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan dengan nada lebih dalam.

“Kalau kau tidak mau lihat, kau akan menyesal seumur hidupmu nak.”

Hening sejenak.

Setelah itu Genshiki berdiri, wajahnya tetap malas dan dingin.

“Ya… baiklah.”

Ekspresi Ketua asosiasi terkejut " Eh semudah itu, apanya yang harus ku ragukan" Bisikinya dalam hati.

Mereka berdua pun turun dari tangga bersama. Ketua asosiasi berjalan tegap dengan senyum tipis, sementara Genshiki mengikuti di sampingnya, kedua tangannya diselipkan ke dalam saku.

Di ruang tengah, semua petualang menoleh. Suasana langsung hening beberapa detik.

“Itu kan ketua asosiasi… sedang apa mereka berdua..” bisik mereka penasaran.

Namun tak ada satupun suara yang keluar berani bertanya. Keduanya melangkah lurus menuju pintu, melewati tatapan ingin tahu dari banyak orang.

Begitu sampai di halaman, beberapa petualang yang penasaran mencoba mengintip dari jendela. Tapi saat itu, ketua asosiasi mengangkat tangan kirinya ke udara. Itu adalah tanda yang jelas: jangan ikut campur.

Semua yang melihat langsung mundur dengan wajah kecewa, ada juga yang cengengesan.

“oi kita ga boleh ikut campur…” gumam salah satu petualang, membuat yang lain berhenti penasaran.

Sementara itu, ketua asosiasi dan Genshiki terus berjalan, meninggalkan markas.

Mereka berjalan melewati jalanan kota. Suasana ramai pasar, teriakan pedagang, hingga aroma roti panggang tercium samar. Tapi Genshiki tetap biasa saja. Ketua asosiasi langkahnya berat namun tegas.

Ia menatapnya sekilas, lalu kembali menegakkan badan.

“Anak ini… wajahnya seperti menyimpan seribu beban,” gumamnya dalam hati.

Tak lama, mereka tiba di tepi sungai yang membelah kota. Menyusuri jembatan kayu kuat namun sederhana, lalu masuk ke jalan setapak kecil yang mengarah ke sebuah gerbang batu tua.

Di balik gerbang itu terbentang lahan luas dengan nisan-nisan berjajar rapi. Tempat itu tenang, hanya suara angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar.

“Hei, Nak. Kau tahu tempat ini?” tanya ketua asosiasi pelan.

Genshiki nelihat sekilas kedepan kemudian menggeleng datar. “Tidak.”

"Oh begitukah, baiklah ikut aku" Sambung ketua asosiasi dengan penuh wibawa.

Mereka melangkah lebih dalam. Sampai akhirnya mereka berhenti di depan sebuah nisan dengan nama yang terukir jelas.

“Kenal nama ini?” tanyanya ketua Asosiasi sambil menunjuk.

Genshiki menatap. Sekilas,nama itu hampir memudar di batu nisan. Namu ingatannya mulai berdenyut—seperti pernah melihat nama itu di daftar para pahlawan belasan tahun lalu. Tapi kabur.

“Ini… adalah kakakku. Seorang wanita penyembuh.” suara ketua asosiasi merendah.

Genshiki mendadak tersentak. Ingatannya tidak salah dia mengingat benar —wanita yang dulu menolongnya dirumah, wanita yang terakhir kali tersenyum sebelum jatuh di didepanya. Matanya terbuka lebar.

“Dia kehilangan nyawanya saat bertugas bersama para pahlawan. Aku bahkan tidak tahu di mana tepatnya ia gugur. Yang kutahu, jasadnya akhirnya dimakamkan di sini,” lanjut ketua asosiasi.

Kemudian

Ia menghela napas panjang. “Waktu itu aku sibuk bermain. Berburu, berkemah, menghabiskan waktu dengan teman-temanku. Aku menyepelekan keluarga… dan ketika aku tahu kakakku sudah tidak ada… rasanya seperti separuh diriku ikut hilang.”

Genshiki yang mendengar perkataan itu hanya berdiri diam, menatap nisan . Kata-kata itu menusuknya seolah mengingatkan akan kehilangan yang sama.

“Lihat ke sebelahnya,” kata ketua asosiasi lagi.

“Itu makam istriku. Belum lama ini ia menghembuskan napas terakhir… karena usia"

"Tapi kenapa, kau keliahatan biasa saja" Sambung genshiki

Dengan datar.

"Ya meskipun aku selalu terlihat kuat tapi,

Itu… pukulan terberat yang pernah kuterima.” gumam ketua asosiasi dengan nada rendah.

Genshiki lanjut berdiam menatap nisan mereka berdua.

Dengan senyum lebar ketua asosiasi berjalan kedapan.

" ayo ikut aku.. "

Langkah mereka berlanjut menuju bagian lain, ke tanah yang agak tinggi dan hanya beberapa langkah dari tempat pertama. Saat sampai, Genshiki tiba-tiba terhenti. Lututnya goyah hingga akhirnya jatuh berlutut, tangannya menyentuh tanah.

Nama di nisan itu—dua nama yang paling tidak ingin ia lihat. Ayah dan ibunya. Dimakamkan berdampingan.

“ib—…” suaranya tercekat.

Ketua asosiasi menepuk bahunya perlahan. Suaranya kali ini benar-benar serius.

“Nak. Angkat kepalamu.aku tahu apa yang kau rasakan, terkadang itu merupakan penyesalan tanpa akhir, Kau tidak boleh terus terjebak di masa lalu. Karena hanya akan menghancurkanmu secara perlahan.”

Angin berhembuss mengibaskan rambut dan baju mereka berdua.

Ketua asosiasi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil.

“aku sudah bilang Dulu, ayahmu pernah membuatkan pedang untukku. Pedang itu menyelamatkan nyawaku berkali-kali. Dari sekian banyak pedang yang kupunya, hanya pedang itu yang kubilang… ditempa dengan kekuatan, ketegasan, dan hati, saat aku tahu dia sudah tidak ada pedang yang yang terakhir kudapatkan, aku akan menyimpan sebagai rasa terimakasih”

Genshiki masih menunduk, hatinya bergejolak. Dunia seperti berputar di antara kenangan dan kenyataan.

Langkah kecil terdengar dari belakang.

“Soiya? Lydia?” gumam ketua asosiasi ketika menoleh.

Benar saja, dua gadis itu datang membawa keranjang kecil berisi bunga dan kain pembersih. Soiya seketika pandangan jatuh ke arah genshiki, dengan langkah mantap, sementara Lydia tampak gugup menunduk, seakan takut salah tingkah.

“Kami… ingin ikut membersihkan makam,” ucap Soiya pelan.

Ketua asosiasi menghela napas, tapi matanya melembut. “kamu harus melihatku jika berbicara, huh....Kalian memang keras kepala, ya. Baiklah, sini.”

Soiya langsung jongkok di depan samping genshiki, membersihkan debu dengan kain lembut. Lydia kemudian berbalik menata bunga di sisi makam ibunya. Gerakan mereka sederhana, tapi hati-hati, seolah setiap sentuhan punya makna.

Genshiki masih berlutut di depan makam orang tuanya. tak beranjak dari tempat itu. Soiya mendekat perlahan, menaruh sebuket bunga kecil di sampingnya.

“…Aku tidak tahu harus bilang apa,” ucap Soiya lirih. “Tapi… kalau aku di posisimu, aku ingin mereka yang sudah tidak ada, tetap bahagia.”

Genshiki menoleh sekilas. Tatapannya dingin, tapi mata Soiya menangkap kilatan rapuh di sana.

"Jika terllau hanyut dalam kesedihan, apakah mereka akan bahagia" Ucap soiya sambil menatap balik genshiki.

Genshiki terkejut dengan kelembutan cara bicaranya, benar mirip dengan sesorang yang selama ini bersamanya.

Sementara itu, Lydia—yang biasanya ceroboh—hari ini begitu hati-hati. Ia menaruh batu-batu kecil di sekitar nisan, menatanya seperti pagar mungil. Saat selesai, ia menatap ke arah Genshiki, lalu berkata dengan suara pelan tapi tulus:

“Kakakku selalu bilang… setiap makam adalah bukti kalau seseorang pernah hidup, Jadi jangan cuma menangis atapun terlalu sedih, sebab, Kak. Hidupmu juga bisa jadi bukti buat mereka.”

Keheningan turun sejenak. Hanya suara angin dan daun-daun berbisik.

Ketua asosiasi yang berdiri di belakang langsung menyambung. Lalu menarik napas panjang.

"Huhh.....maksud putriku yang kedua, jangan hatimu terlalu berlarut dalam kesedihan atau masalalu, sebab itu membuatmu tidak akan pernah siap menghadapi apa yang akan terjadi kedepanya"

Ekspresi ketua asosiasi Ada rasa lega sekaligus khawatir di wajahnya—lega karena Genshiki tidak sendirian lagi, khawatir karena ia tahu, jalan di depan anak itu masih panjang dan penuh luka.

Soiya meremas kain di tangannya, lalu menoleh ke Genshiki.

“Kalau kau mau… kita bisa sering datang ke sini. Bukan? Tapi tidak hanya untuk bersedih, untuk mengenang dengan baik.”

Genshiki menghela napas panjang. Kali ini, untuk pertama kalinya sejak tiba, suaranya keluar tanpa dingin.

"terimakasih...”

Kata kata itu saja. Tapi cukup untuk membuat Soiya tersenyum samar, dan Lydia menghela napas lega Dan ketua asosiasi.

Langit sudah mulai meredup, jingga sore berubah perlahan menjadi biru gelap. Angin membawa aroma dedaunan kering dari pemakaman, seakan ikut mengantar mereka pulang.

Ketua asosiasi berjalan paling depan, langkahnya tegap tapi tak terburu. Di belakangnya, Soiya dan Lydia berjalan berdampingan, sementara Genshiki menyusul paling akhir, seperti tak ingin terburu meninggalkan makam itu.

Suasana awalnya hening. Hanya suara serangga malam yang mulai bangun dan orang orang yang mulai menyalakan obor. Namun, Lydia yang tak tahan diam akhirnya membuka suara, meski pelan:

“Eh… ayah, apa kita boleh mampir kesitu? .”

(Tempat yang ditunjuk tempat hiburan malam)

Ayah menoleh sekilas, alisnya terangkat. Lydia langsung gelagapan.

“M-maksudku bukankah udah usia 15 tahun! Bisa ke tempat itu? ”

"Kau ingin kita kesitu setelah semua ini? " Tanya ketua asosiasi sambil melotot ke putri keduanya.

Soiya menahan tawa, menutupi mulut dengan tangan. “Haha… iya, benar juga. Malah aku aneh, sama. Pikiran lydia”

Genshiki yang mendengar dari belakang hanya diam melihat mereka bertengkar

"Oii genshiki mungkin kita, berdua bisa kesana kapan-kapan" Sambil berbinar mata ketua asosiasi

“Justru itu, Ayah,” jawab Soiya cepat. “yang hampir sama dengan lydia"

Lydia mengangguk berlebihan. “Betul! Betul sekali! Jadi kalau aku yang bilang malah gak boleh, berarti aku harus dengan kak gen ya"

“LYDIA!” seru Soiya refleks sambil mencubit lengannya.

“Aw, aw! Sakit, Kak! Aku cuma bercanda!” Lydia meringis, tapi wajahnya merah karena berusaha menahan tawa.

Genshiki menghela napas panjang. Tapi anehnya, ada sudut bibirnya yang sempat terangkat—sekilas, nyaris tak terlihat.

Malam semakin turun. Lampu-lampu minyak di kejauhan mulai terlihat, tanda mereka hampir tiba kembali di markas.

Ketua asosiasi berhenti sejenak membiar mereka berdua duluan lalu menoleh sebentar ke arah Genshiki, berkata dengan nada tegas namun lembut:

“Anak muda… ingat baik-baik. Hari ini mungkin penuh luka. Tapi jangan biarkan luka itu membelenggumu selamanya. Orang yang sudah pergi… tidak akan mau melihatmu hancur.”

Kata-kata itu jatuh seperti batu ke dalam hati Genshiki. Ia tidak menjawab, hanya menunduk dalam. Namun, langkahnya terasa lebih mantap dari sebelumnya.

Pintu markas asosiasi petualang berderit saat dibuka. Aroma khas ruangan langsung menyeruak: kopi yang masih mengepul, asap daging panggang, dan suara riuh rendah para petualang yang baru pulang dari misi.

Begitu melihat ketua asosiasi masuk bersama Soiya, Lydia, dan Genshiki, beberapa petualang yang sedang duduk di meja langsung menoleh.

“Eh? Ketua? Dari mana aja, aku yang mengatikan didapur sebentar” satu petualang bersuara.

“Shhh! Jangan ikut campur, nanti kepalamu bisa dipelintir,” balas ketua asosasi dengan cepat, membuat dia langsung diam dan membuat petualang lain menahan tawa.

Ketua asosiasi tidak peduli tatapan mereka. Ia berjalan masuk dengan langkah santai, lalu menepuk pundak Genshiki.

“Duduklah dulu. Makanlah. Kau sudah terlalu lama mengurung diri di kamar.”

Petualang lain kepala botak ditengah dengan sigap mengambilkan kursi. “Ayo, duduk di sini. Aku ambilkan makanan.”

“Eh, biar aku saja!” Lydia langsung maju, tapi entah kenapa justru menabrak meja . Gelas berisi jus buah hampir jatuh, untung Soiya cepat-cepat meraih sebelum isinya tumpah.

“Lydia!” seru Soiya, wajahnya merah.

“Hehe… maaf, maaf! Aku cuma terlalu semangat,” Lydia menggaruk kepala, wajahnya polos tapi jelas menyimpan rasa malu.

Beberapa petualang yang melihat adegan itu menahan tawa. Salah satunya bahkan berbisik, “Putri ketua memang tak pernah berubah…”

Soiya akhirnya mendesah pasrah lalu membantu mengambil sepiring makanan hangat untuk Genshiki. Ia meletakkannya di depan kursi dengan senyum lembut.

“Nih, makanlah. Kau butuh tenaga.”

Genshiki menatap piring itu sejenak. Bau sup hangat dan roti panggang membuat perutnya—yang sedari tadi kosong—berbunyi pelan. Ia menghela napas, lalu mengangguk singkat.

“Terima kasih.”

Soiya tersenyum tipis, lalu duduk di sebelahnya. Lydia ikut nimbrung di sisi lain, matanya berbinar-binar seolah ingin ikut mengobrol.

Ketua asosiasi memilih duduk agak jauh, mengamati mereka sambil menyeruput minumannya. Dalam hati, ia merasa sedikit lega. Setidaknya, anak muda itu sudah mulai membuka diri, meski hanya sedikit.

Sementara itu, suasana meja mereka mulai terasa hangat. Meski sederhana, momen kecil ini terasa seperti langkah baru—sebuah awal yang perlahan menghapus jarak di antara mereka.

Malam turun perlahan di markas asosiasi. Lampu minyak satu per satu dinyalakan, menerangi ruangan dengan cahaya temaram kekuningan. Riuh rendah para petualang mulai mereda, hanya tersisa suara denting gelas dan tawa kecil di beberapa meja.

Di sisi lain, Soiya masih duduk di samping genshiki, sambil merapikan sisa-sisa makanan di piringnya. Sementara Lydia sudah tidak bisa diam—tangannya sibuk mengetuk-ngetuk meja, kakinya goyang-goyang seolah ada ribuan kata yang ingin ia lontarkan.

“Genshiii…,” Lydia akhirnya membuka suara dengan nada panjang, mencondongkan tubuhnya.

“Apa?” sahut Genshiki datar, tanpa mengangkat kepala.

“Hehe… aku cuma penasaran, masalalu mu,bisakah ceritakan kepadaku” tanyanya polos.

Pertanyaan itu membuat Soiya melirik adiknya tajam. “Lydia! Jangan asal tanya begitu, nanti dia—”

“Tidak apa-apa,” potong Genshiki pelan. Ia meletakkan cangkirnya, menatap lurus ke arah meja. “Dulu… aku sering berharap, kalau kehidupanku akan berjelan lancar, dari sebelumnya, tapi semenjak tau kalau harapan ku salah, aku mulai berheti menaruh harapan.”

Hening sejenak. Jawaban itu sederhana, tapi membuat suasana sedikit berat. Seketika Soiya menggenggam erat sendok di tangannya, lalu perlahan berkata,

“Kalau begitu… harapan itu belum sepenuhnya hilang! Maka tinggal perlu menjaganya baik-baik bukan? ”

Genshiki menoleh. Tatapannya dingin seperti biasa, tapi di balik sorot matanya ada kilatan samar—entah keterkejutan, atau mungkin rasa hangat yang sudah lama hilang. Ia tidak langsung membalas, hanya mengangguk pelan. "Mungkin"

Lydia, yang tak tahan suasana serius, langsung menyikut kakaknya sambil berbisik cukup keras.

“Kaaaak, kamu ngomongnya kayak langsung dari hati, tanpa melihat orang-orang disekitar.”

“Ehhh!” wajah Soiya langsung merah padam, melihat para petualang melihat ke arahnya. tapi cepat-cepat pura-pura tidak tahu saat ketua asosiasi menatap dengan sorot "awas kau".

Genshiki malah menghela napas, seolah lelah dengan tingkah mereka berdua. Ia berdiri dari kursinya. “Aku… mau keluar sebentar.”

“Eh? Mau kemana?” tanya Soiya cepat, refleks ikut berdiri.

“Ke halaman. Butuh udara.” jawabnya singkat.

Lydia melompat, “Kalau begitu aku ikuuut!”

Namun kali ini ketua asosiasi dari meja sebelah langsung melempar tatapan maut.

“Lydia. Duduk.” suaranya berat tapi lucu, membuat Lydia langsung mengempis seperti balon bocor. “U-uhh… iya, Ayah.”

Soiya diam sejenak lalu menanyakan kedua kalinya. “Boleh aku… ikut menemanimu?”

Genshiki menatapnya, seakan ingin menolak. Namun melihat wajah Soiya yang begitu serius, ia akhirnya hanya menghela napas.

“iya...”

---

Mereka berdua berjalan keluar. Udara malam menyambut dengan dingin dan lembut serta bulan bulan yang hampir tertutup awan .

beberapa obor menyala redup, cahayanya bergetar ditiup angin.

Genshiki duduk di bangku kayu dekat pagar, memandang langit malam yang dipenuhi bintang. Soiya berdiri sebentar, ragu, lalu akhirnya duduk di sebelahnya.

Beberapa menit hanya ada keheningan. Soiya menatap Genshiki dari samping, mencoba menebak isi kepalanya.

“Kau… selalu seperti ini ya dulu?” akhirnya ia bertanya pelan.

"Seperti apa?” tanya genshiki.

"Diam. Menyimpan semuanya sendiri.”

Genshiki tidak langsung menjawab. Angin malam berhembus, membuat rambut pendek barunya sedikit berantakan. Ia menutup mata sebentar, lalu berkata dengan suara nyaris berbisik:

“Aku sudah terlalu sering kehilangan.karena Diam… lebih mudah aku lakukan.”

Soiya menunduk, jemarinya saling menggenggam di pangkuan. Kata-kata itu menembus hatinya. Ada rasa ingin meraih tangan pemuda itu, tapi ia hanya bisa menahan diri.

“Kalau kau diam terus,” bisiknya lirih, “bagaimana orang lain bisa tahu?”

Ucapan itu membuat Genshiki sedikit menoleh. Wajah Soiya diterangi cahaya obor, matanya jernih, tulus, dan penuh kehangatan. Untuk sesaat, Genshiki terdiam.

Angin berhembus lagi. Malam terasa lebih sunyi, tapi entah kenapa juga terasa lebih hangat duduk berdua.

Soiya mengangkat kepala, menatap bintang-bintang yang berkelip. “Cantik sekali, ya… kalau malam seperti ini. Rasanya semua masalah jadi kecil.”

Genshiki ikut mendongak, tapi wajahnya tetap datar. “Di saat sendirian, aku juga sering melihat langit. Bedanya… saat sendirian. Bintang-bintang jarang terlihat.”

“Oh begitu…” Soiya tersenyum samar. “Kalau begitu, anggap saja malam ini hutang. Bintang-bintang di sini membayar semua bintang yang tak sempat kau lihat saat sendirian. ”

Jawaban itu sederhana, tapi bagi Genshiki terasa aneh—aneh hangat. Ia menoleh sebentar ke arah Soiya. “Kau selalu bicara begitu… seolah semua hal punya makna.”

Soiya tertawa kecil. “Mungkin karena aku tidak suka membiarkan sesuatu terasa sia-sia. Kalau ada yang sedih, aku ingin membuatnya sedikit lebih ringan.”

Kali ini Genshiki tidak buru-buru menghindar. Ia menatap bintang bintang itu dengan tatapan harapan, lalu akhirnya berkata:

“Aku sudah kehilangan banyak hal. Keluarga, rumah, bahkan dunia tempatku lahir. Semuanya…tidak sekali tapi seakan dunia menolak keberadaanku.”

Soiya menoleh cepat, menatapnya serius. Sorot mata Genshiki bukan sekadar dingin—ada luka yang dalam, seperti jurang gelap yang tak ada ujungnya.

Tanpa sadar, tangan Soiya bergerak pelan, ingin menyentuh tangan Genshiki. Namun sebelum benar-benar menyentuh, ia berhenti, ragu.

“Aku… tidak tahu harus berkata apa. Tapi… selama kau ada di sini, kau tidak sendirian lagi, ada banyak orang disana yang terus melihatmu seperti cahaya.”

Kata-kata itu membuat dada Genshiki terasa sesak. Ia tidak terbiasa dengan perhatian seperti itu. Sekilas, wajah ibunya muncul di benaknya—sosok yang pernah berkata dengan lembut, “kau adalah cahaya kami…”

Ia segera mengalihkan pandangan, mencoba menahan emosinya. Namun Soiya masih menatapnya, tak menyerah.

“Genshiki.” suaranya lembut, tapi tegas. “Kalau kau terus menutup diri, aku tidak akan bisa mengenalmu. Padahal… aku ingin mengenalmu lebih jauh.”

Detik itu, Genshiki menoleh. Tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—seolah dunia berhenti hanya untuk memberi ruang pada mereka berdua.

Lalu tiba-tiba—

Krik… krik… suara jangkrik di semak-semak memecah suasana.

Soiya buru-buru mengalihkan pandangan, pipinya merah. “Ehhhh… maaf. Aku jadi bicara aneh.”

Genshiki hanya mendengus pelan, nyaris seperti tawa samar yang tertahan. “Kau memang aneh.”

Soiya menoleh kaget. “Eh? Kau… barusan tersenyum?”

“Tidak.” jawab Genshiki cepat sambil memalingkan wajahnya.

Soiya terkekeh, matanya berbinar. “Aku melihatnya. Kau bisa menyangkal, tapi aku melihatnya.”

Genshiki menghela napas panjang. “Hhh… dasar merepotkan.”

Namun entah kenapa, malam itu terasa berbeda bagi Genshiki. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa beban di dadanya sedikit berkurang.

Langit sudah makin pekat. Obor di halaman markas menyala redup, cahayanya bergoyang-goyang seperti ingin ikut menguping percakapan rahasia dua anak muda yang duduk di bangku kayu.

Soiya masih duduk dekat Genshiki, pipinya merah tapi senyumnya enggan hilang. Angin malam membuat helai rambutnya berantakan, dan tanpa sadar, ia merapikan poni lalu menoleh ke arah Genshiki.

“Genshiki…” suaranya hampir berbisik.

Genshiki menoleh malas. “Apa lagi?”

“Boleh aku tanya sesuatu?”

“Tanya saja.”

“…Apa kau benar-benar tidak pernah merasa… nyaman di sini?”

Genshiki, tidak langsung menjawab. Sorot matanya jatuh pada tangan Soiya yang masih menggenggam. Ia tampak gugup, tapi juga tulus.

Sebelum Genshiki sempat menjawab.

kreeeeett!

Terdengar suara ranting patah dari balik semak-semak.

Soiya kaget, matanya membelalak. “Eh?!”

Genshiki langsung mendengus. “Aku sudah bilang, tempat ini terlalu ramai untuk rahasia.”

Dan benar saja—dari balik bayangan pohon, muncul sosok Lydia yang nyaris terjungkal karena kepeleset batu.

“AWAAAA!—” BRUK! Lydia jatuh duduk, tanah menempel di roknya.

Soiya langsung berdiri, wajahnya merah campur panik. “Lydia?! Sejak kapan kau disini? kau menguping, ya?!”

Lydia bangkit sambil membersihkan rok pendeknya, lalu nyengir tanpa dosa. “Hehehe… kebetulan lewat aja kok, Kak~. Kebetulan banget lewat halaman, terus kebetulan banget lihat kalian berdua duduk berdekatan. a~.”

“LYDIAAA!” Soiya hampir melempar sesuatu.

Tapi belum selesai drama itu, terdengar suara berat dari arah lorong markas.

“Lydia kau selalu saja bikin masalah!”

Suara itu membuat bulu kuduk Soiya berdiri. Lydia malah sudah nunduk sambil menepuk-nepuk paha.

Dari balik pintu kayu besar, muncul ketua asosiasi—ayah mereka—dengan tatapan melotot namun wajahnya jelas menahan ekspresi kocak.

Ia menatap lydia dulu, lalu beralih ke Soiya.

“Kau… selalu saja membuat masalah lydia dan kau…” ia menunjuk soiya dengan telunjuk yang bergetar. “…dan kau sampai kapan mau berduaan disini. Udah jam berapa ini”

Soiya panik. “Eh, ini sudah jam berapa...?”

“Hampir jam 1 malam,apakah kau ingin tidur diluar” Ketua asosiasi menepuk jidatnya, hampir seperti kesal.

Lydia makin ngakak keras, sampai-sampai harus jongkok sambil memegangi perut. “Hahahaha—ayah mukanya kayak kuda marah!”

“LYDIA! Diam kau, kau juga sudah jam segini belum masuk! ”

Genshiki akhirnya berdiri, ekspresinya tetap datar. “Aku tidak melakukan apa pun. Dia hanya duduk di sebelahku.”

“TAPI JARAKNYA TERLALU DEKAT!” Ketua asosiasi menunjuk Soiya, lalu tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Astaga… istriku, lihatlah anak perempuanmu! Dia warisi sifat mesummu!”

Soiya mendengus keras, wajahnya memerah sampai telinga. “Ayahhh! Jangan bilang hal aneh di depan Genshiki!”

Genshiki menghela napas panjang. “huhh… baiklah. Aku mau kembali ke kamar.” Ia berbalik hendak pergi.

Tapi tiba-tiba ketua asosiasi melompat ke depannya, menghalangi jalan. “TUNGGU, NAK! Jangan tinggalkan aku sendirian dengan dua gadis ini! Mereka bisa membunuhku dengan tatapan!”

Lydia langsung menukas sambil cengengesan. “Santai aja, Yah. Kalau Kak Soiya gagal, aku yang bakal dapetin Genshiki. Aku masih 15 sih, tapi bentar lagi gede.”

PETAKK! kepala Lydia langsung kena ketokan maut dari ayahnya.

“DASAR BOCAH MESUM! Kau bahkan lebih berbahaya dari kakakmu!”

Genshiki akhirnya mendesah, antara jengkel dan geli. Untuk pertama kalinya, sudut bibirnya naik sedikit—seolah menikmati kekacauan ini.

Dan malam itu, halaman markas bukan hanya dipenuhi cahaya obor, tapi juga tawa Lydia, teriakan ayahnya, dan wajah merah padam Soiya. Semua jadi saksi bahwa, di balik tragedi dan masa lalu kelam, Genshiki kini punya keluarga baru yang kacau tapi hangat.

Setelah ribut-ribut itu, akhirnya Lydia diseret masuk oleh Soiya yang sudah nyaris mendidih karena malu. Dari jauh masih terdengar suara Lydia ketawa-ketawa sambil teriak, “Kak Soiya jika aku sudah gede aku bisa dapat Genshiki~!”

Soiya berusaha menutup mulut adiknya dengan tangan, dan suara mereka hilang perlahan di balik pintu markas.

Tersisa hanya Genshiki dan sang ketua asosiasi di halaman yang diterangi obor. Angin malam terasa lebih sejuk sekarang, seakan ikut menenangkan suasana.

Ketua asosiasi menepuk pundak Genshiki.

“Nak, jalan sebentar denganku. Ada yang ingin kubicarakan.”

Genshiki menoleh sebentar, lalu mengangguk. Mereka berjalan menyusuri sisi markas, menuju pelataran kecil tempat biasa orang-orang menaruh kayu bakar. Obor di situ lebih redup, membuat bayangan wajah mereka samar, tapi justru memberi ruang untuk percakapan serius.

Ayah Soiya berdiri bersandar pada tumpukan kayu, menghela napas panjang sebelum membuka suara.

“Maafkan tadi, suasana jadi ricuh. Aku terlalu reaktif.”

“…Biasa saja,” jawab Genshiki datar.

“Tidak, tidak biasa. Aku seorang ayah, sekaligus ketua asosiasi. Dua hal itu sering berbenturan.”

Ia menatap Genshiki lurus, kali ini bukan dengan sorot bercanda atau panik, melainkan mata seorang pria yang sudah kenyang perang dan kehilangan.

“Kau sudah tahu, kan, tentang tragedi yang menimpa istriku dan kakak pertama ku satu satunya”

Genshiki mengangguk pelan. “Anakku selalu menyebutnya sedikit.”

“Ya… sedikit.” Sang ketua mengangkat wajahnya ke langit, menatap bintang. “Tapi luka itu tidak pernah benar-benar ‘sedikit’ untuk Aku. Kehilangan keluarga, kehilangan cinta, kehilangan jati diri—semua bercampur.”

Hening beberapa detik. Hanya bunyi serangga malam menemani.

Ia kembali menatap Genshiki, lebih tajam.

“Genshiki, aku tahu dari awal kau berbeda. Matamu bukan mata anak seusiamu. Ada beban, ada… semacam jurang di dalam sana. Aku tidak tahu apa tepatnya, tapi aku bisa merasakan.”

Genshiki tidak menjawab. Ia menunduk sedikit.

Ketua asosiasi menepuk pundaknya sekali lagi, kali ini dengan kehangatan.

“Kau tidak harus menceritakan apa pun padaku sekarang. Tapi dengar baik-baik: selama kau di bawah atap markas ini, kau bagian dari keluarga. Entah sebagai anak buah, teman, atau bahkan… mungkin kelak, lebih dari itu untuk putriku.” sambil tersenyum samar.

Ketua asosiasi melanjutkan, suaranya berat namun penuh keyakinan.

“Sebentar lagi, kerajaan akan memanggil ku, jadi aku ingin kau menjaga tempat ini jika terjadi sesuatu"

Genshiki mengernyit tipis. “Aku? Banyak petualang lain yang bisa menjaga tempat ini"

“Kau punya sesuatu yang orang lain tidak punya. Kekuatanmu… bukan sekadar fisik. Kau punya keteguhan. Dan keteguhan itu yang kita butuhkan di sini.”

Angin malam bertiup lebih kencang, seakan menekankan kata-kata itu.

Akhirnya, Genshiki menatap lurus ke arah pria itu. “…Kalau aku menjaga tempat ini, berarti aku harus melindungi mereka juga?”

“Tentu saja.”

“…Termasuk Soiya?”

Ketua asosiasi terdiam sejenak, lalu tersenyum pahit. “Ya. Dan kalau suatu saat kau harus memilih, lindungi dia lebih dulu. Aku rela mati, Lydia pun harus belajar menerima. Tapi Soiya—dia harus hidup lebih lama dari kami semua.”

Hening lagi.

Kali ini Genshiki kebinggungan, namun bibirnya mengeluarkan satu kata lirih. “…Baik.”

Ketua asosiasi mengangguk puas. “Bagus. Kau tidak tahu betapa berharganya jawaban itu bagiku.”

Malam itu ditutup dengan langkah mereka kembali ke markas. Sementara di dalam, Lydia sudah tertidur setengah nyenyak, dan Soiya masih duduk di ranjang dengan wajah setengah merenung.

Bersambung>

More Chapters