Ficool

Chapter 5 - Chapter 5

Suara burung pagi terdengar nyaring dari kejauhan, seolah menyambut hari baru. Cahaya matahari menembus perlahan melalui celah-celah tirai kamar, membentuk garis tipis keemasan di lantai kayu yang dingin.

Tok… tok… tok…

Ketukan pintu terdengar pelan, hati-hati, seperti orang yang ragu apakah tindakannya benar atau tidak.

“Anu… apa kamu sudah bangun?” suara lembut seorang wanita terdengar dari balik pintu. Itu suara putri ketua asosiasi.

Genshiki yang sudah duduk di ranjang hanya menatap biasa ke arah pintu beberapa detik, sebelum akhirnya berdiri. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, tapi penuh ketegasan. Ia membuka pintu perlahan.

Begitu pintu terbuka, wajah wanita itu muncul, sedikit terkejut melihat sosoknya sudah bangun.

“Eh… maaf, apa aku mengganggu tidurmu?” tanyanya buru-buru, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuh, ekspresinya gugup.

Genshiki menghela napas ringan. “Cih… tidak. Aku ingin turun dan mandi.”

“Oh… baiklah. Aku sudah siapkan tempat untukmu mandi, dan—”

“Ya, ya… aku tahu.” Genshiki langsung memotong kalimatnya.

Wanita itu terdiam sejenak. Seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi Genshiki sudah lebih dulu berjalan melewatinya tanpa menoleh lagi.

Tangga kayu berderit pelan di bawah pijakannya. Saat ia menuruni tangga, suasana yang semula riuh di lantai bawah tiba-tiba membeku. Para petualang yang tadinya bercanda atau berdebat langsung terdiam. Tidak ada lagi bisik-bisik, tidak ada lagi tawa.

Hening.

Semua mata tanpa sadar melirik ke arahnya, tapi begitu tatapan Genshiki menyapu ke bawah, mereka serempak menunduk. Seolah hanya keberadaannya saja sudah cukup membuat udara terasa berat.

Genshiki tidak menggubris. Ia hanya berjalan lurus melewati ruang tengah menuju pemandian, langkahnya tenang tapi membawa aura yang membuat siapa pun menahan napas.

Udara pagi masih lembap ketika Genshiki sampai di halaman dalam markas, tepat di mana tempat pemandian sederhana berada. Area itu luas, kira-kira sebesar lapangan futsal, dikelilingi bangunan kayu yang membuatnya tampak seperti kotak terbuka di langit-langit biru.

Di tengahnya berdiri sebuah sumur tua, dikelilingi ember-ember kayu dan rak untuk menaruh pakaian. Di sisi kanan, tali jemuran penuh dengan pakaian petualang yang baru dicuci. Bau sabun lembut bercampur dengan aroma tanah basah.

Tanpa basa-basi, Genshiki melepas siluet hitam yang menutupi tubuhnya, lalu menanggalkan bajunya. Di bawah cahaya matahari pagi, ototnya terlihat jelas—keras, penuh bekas luka, tanda bahwa tubuh itu ditempa oleh pertarungan panjang.

Di dada kanannya, terukir sebuah tanda kuno. Bukan tato, tapi seperti lambang yang lahir bersama dirinya, samar berkilau seolah menolak untuk benar-benar hilang.

Ia menimba air dari sumur, lalu menyiramkan ke kepalanya. Suara air yang jatuh membasahi tanah bercampur dengan gemericik aliran kecil. Ia terus membasuh tubuhnya, gerakannya tenang tapi teratur, seperti kebiasaan lama yang sudah melekat.

Saat sedang mengeringkan tubuhnya dengan handuk, sebuah suara pelan tiba-tiba terdengar di belakang.

“Anu… apa aku boleh mencuci pakaianmu?”

Genshiki terkejut, menoleh cepat. Putri ketua asosiasi berdiri di dekat pintu, wajahnya kemerahan karena baru saja menyelinap masuk.

“Eh!? Bisa tunggu aku selesai sebelum masuk!?” seru Genshiki, sedikit gugup. Meski wajahnya tetap datar, pipinya memerah halus. Setelah menarik napas, ia mengalihkan pandangan. “Tentu saja… kau boleh mencucinya.”

Wanita itu menunduk dalam-dalam. “I-iya, maafkan aku… anu, sebenarnya ada satu hal lagi…”

“Apa lagi?” tanya Genshiki, masih setengah jengkel, handuknya ia kencangkan ke tubuh.

Wanita itu mengangkat pandangan, matanya jernih tapi ragu-ragu. “Aku melihat rambutmu… terlalu panjang. Kalau kau mau, aku bisa memperbaikinya. Aku sering memangkas rambut adikku.”

Genshiki terdiam sebentar. Ia menyentuh ujung rambutnya yang kusut, teringat kalau rambut itu memang tak pernah ia potong sejak insiden bertahun-tahun lalu. Dengan helaan napas, ia duduk membelakangi wanita itu.

“Iya… baiklah. Kalau kau mau.”

Wanita itu tersenyum tipis, lalu mengambil gunting dari rak kayu di dekat jemuran. Ia berdiri di belakang Genshiki, sementara pemuda itu menatap lurus ke depan.

Suara krek… krek… terdengar ketika helai-helai panjang jatuh ke tanah. Rambut hitam Genshiki perlahan dipendekkan, setiap potongannya terasa seperti menyingkap sedikit masa lalu yang ia simpan rapat.

Putri ketua asosiasi bekerja dengan hati-hati. Jemarinya sesekali menyentuh rambut Genshiki, dan meski lembut, cukup untuk membuatnya kikuk. Dari samping, Genshiki tetap terlihat dingin, tapi sebenarnya ia tidak tahu harus berbuat apa.

Keheningan itu pecah ketika wanita itu akhirnya bertanya dengan suara pelan:

“Anu… siapa namamu? Aku belum tahu, padahal kau sudah beberapa hari di sini.”

“Namaku…” Genshiki menghela napas pendek. “Genshiki. Panggil saja sesukamu.”

Wanita itu berhenti sebentar, lalu tersenyum. “Hmm, begitu ya. Kalau begitu, aku tetap akan memanggilmu Genshiki. Karena aku percaya… nama yang sudah diberikan, tidak seharusnya diubah.”

Genshiki tidak menjawab. Bibirnya nyaris terbuka, tapi ia menutupnya lagi. Dalam hati, ada sesuatu yang bergetar, hanya dari cara wanita itu mengucapkan namanya. Begitu lembut—seperti kapas yang jatuh, ringan tapi tetap meninggalkan bekas.

Setelah selesai dipangkas, wanita itu mengangkat gunting tinggi-tinggi lalu berucap dengan nada dramatis,

“Jejeeeeng… kamu mau lihat wajahmu sekarang?”

“Ya, ya…” jawab Genshiki singkat.

Wanita itu mengambil cermin dan mengarahkannya ke wajahnya. Refleksi yang terlihat membuat Genshiki sedikit terdiam. Rambut panjang yang dulu menjuntai kini berganti jadi potongan pendek rapi. Wajahnya seakan benar-benar berubah—begitu berbeda hingga siapa pun yang melihat bisa saja terpaksa melirik dua kali.

“Huh… sudah, ya. Aku ingin kembali ke atas dan ganti baju,” ucap Genshiki, nada suaranya datar seperti biasa.

“Baju kosong banyak di kamar paling ujung. Kalau mau ambil, silakan,” jawab wanita itu sambil merapikan gunting dan menyapu rambut-rambut yang jatuh. “Aku juga ingin mencuci pakaianmu dulu,” tambahnya.

Genshiki sempat berhenti di ambang pintu, menoleh sebentar. Wanita itu sibuk dengan ember dan kain, mencuci dengan telaten. Suaranya dingin saat bertanya,

“Siapa namamu?”

Wanita itu tersentak, tak menyangka. “Eh? A-aku… Soiya Souru. Kau bisa memanggilku dengan nama depan… atau belakang.”

Mata Genshiki sedikit melebar. Nama itu… ia pernah melihatnya. Di selembar kertas, jauh sebelum hidupnya di Bumi hancur. Ingatan itu menohok, membuatnya menatap kosong beberapa saat. Namun tanpa menjawab lebih jauh, ia memilih pergi.

Soiya sempat berhenti dari cuciannya, menatap punggung Genshiki yang menjauh. Ia bisa merasakan sesuatu—seolah ada hubungan samar di antara mereka. Tapi cepat-cepat ia menggelengkan kepala. “Huh, mungkin cuma khayalanku,” gumamnya, lalu kembali mencuci.

Genshiki melangkah melewati lorong, rasa kantuk mulai menekannya. Namun suasana tenang itu mendadak pecah—

Kreeeck!

Suara gelas jatuh dan pecah menggelegar dari tengah ruangan markas. Semua kepala serentak menoleh.

Seorang gadis muda, adik perempuan Soiya, menatap dengan wajah panik. Matanya membesar, tangannya gemetar sambil berteriak gugup,

“E-eee… siapa ka-kamu!?”

Genshiki berdiri di sana, hanya mengenakan handuk di pinggang. Tubuhnya masih basah, dada bidangnya jelas terlihat. Semua lambang bekas luka di tubuhnya terpampang nyata, membuat ruangan mendadak senyap. Tak ada satu pun yang berani langsung berkomentar.

Beberapa detik terlewat sebelum Genshiki akhirnya menjawab datar,

“Hmph… aku anak muda yang kalian pungut itu.”

Adik Soiya semakin gugup. “A-a… bu-bu-bukannya waktu itu rambutmu panjang? K-kenapa sekarang… pendek? A-apa kau petualang baru?”

Sebelum ia sempat menambah pertanyaan lagi, suara berat ketua asosiasi memotong. Pria paruh baya itu menggeleng dengan wajah kaku, lalu berkata,

“Hoii, putriku yang aneh! Itu benar. Dia anak muda yang dibawa kakakmu kemari.”

“Ehh? Benarkah? Tapi… kenapa dia bisa berubah begitu? Dan… siapa namanya?” celetuk gadis itu lagi, polos.

Sang ketua hanya menggeleng keras-keras, seolah tak sanggup menghadapi keluguan anak bungsunya.

Namun Genshiki sendiri akhirnya bersuara, pendek dan jelas,

“Genshiki.”

Gadis itu menggenggam jemarinya di depan dada, wajahnya merah padam. Dengan suara lirih, ia memberanikan diri,

“A-anu… b-boleh aku… mengantarmu ke kamar?”

Seketika suasana membeku. Para petualang di ruangan itu melongo, mulut mereka terbuka lebar. Bahkan ketua asosiasi sampai nyaris keselek ludahnya.

“Haaaah!? Dasar bocah tolol!” teriak ketua asosiasi, nadanya campuran marah dan jengkel. “Untuk apa kau tawarkan begitu!? Anak itu sudah bisa jalan sendiri, bisa berpakaian sendiri! Apa yang ada di kepalamu, hah!?”

Para petualang lain menunduk, menahan tawa. Bahunya berguncang-guncang, tapi mereka tak berani melepas tawa keras-keras.

“Huuhh…” Genshiki hanya menghela napas panjang, malas menanggapi. Ia kemudian berbalik, melangkah menaiki tangga menuju kamar atas.

Namun sebelum benar-benar menghilang, tatapan adik Soiya masih berbinar, penuh rasa ingin tahu dan… sesuatu yang sulit dijelaskan. Sementara ayahnya, sang ketua asosiasi, melotot tajam pada putrinya dengan wajah campuran antara kesal dan pasrah.

Genshiki menutup pintu kamarnya perlahan. Suara kayu berderit jadi satu-satunya bunyi yang tersisa. Begitu tubuhnya jatuh ke ranjang, matanya menatap langit-langit kusam. Tapi pikirannya tidak tenang. Nama itu—Soiya Souru—terngiang-ngiang, seperti gema dari masa lalu yang seharusnya sudah terkubur.

Ia menutup mata, menarik napas dalam. Sesaat, ingatan samar melintas: secarik kertas, tanda yang sama di dadanya, dan wajah seseorang yang tak lagi jelas.

“...Hmph.”

Genshiki berguling ke samping, memaksa dirinya tidur.

Di bawah, suara gaduh petualang kembali pecah, tawa yang sempat tertahan kini meledak setelah ketua asosiasi marah-marah pada putrinya. Semua terasa biasa… seolah insiden barusan tak meninggalkan apa-apa.

Namun bagi Genshiki—hari ini bukan sekadar awal yang tenang. Ada sesuatu yang bergerak, perlahan, menariknya ke dalam arus yang lebih besar dari sekadar mandi pagi dan potong rambut.

Dan ia tahu… ia tidak bisa lari selamanya.

Bersambung>

More Chapters