Ficool

Chapter 7 - Chapter 7

Setiap Pagi di markas petualang itu tidak pernah benar-benar tenang. Selalu ada suara berisik dari petualang yang pulang, ada yang tertawa keras, ada yang mengeluh soal luka, ada juga yang bangun lebih pagi untuk mempersiapkan misi baru. Suara kayu bergesekan dengan sepatu, bau sup hangat bercampur dengan aroma roti dan senjata yang digantung di dinding, semua itu membentuk denyut kehidupan markas.

Di ruang tengah, para petualang sudah duduk bergerombol di meja. Ada yang membicarakan misi kemarin, ada yang menyombongkan jumlah goblin, bahkan ada juga yang sibuk main kartu sambil ketawa ngakak sampai hampir jatuh dari kursi.

“Eh, eh, jangan curang kau! Kartumu jelas disembunyikan di lengan!” teriak salah satu petualang, membuat yang lain semakin heboh.

Di salah satu sudut, dua gadis muda sudah mencuri perhatian dengan tingkahnya.

“Lydia, jangan asal colek roti orang lain! Itu pesanan mereka!” seru seorang gadis berambut panjang yang diikat rapi ke samping—Soiya. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di tengah keributan.

“Apa? Aku cuma ngecek, ini gosong apa enggak! Lagian kalau gosong, kan bisa aku makan biar nggak mubazir.” Lydia, gadis berambut pirang berantakan, menjawab dengan wajah polos tapi tangannya masih nyelonong ke meja petualang yang sibuk tertawa.

“GOSONG KATAMU?! Itu roti spesial buatanku!” teriak pemilik roti, seorang pria jangkung yang baru sadar jatahnya nyaris raib. Ia buru-buru menutup piringnya dengan lengan. “Hei, Ketua Asosiasi mana sih? Kenapa bocah ini dilepas bebas?”

Markas kembali meledak oleh tawa. Lydia, alih-alih malu, malah menepuk dadanya dengan gaya sok bangga. "aku ini penjaga kualitas makanan markas! Semua yang gosong harus lewat pengecekan mulutku. Kalau nggak enak, itu tanggung jawab buat ku!”

Petualang di meja lain bersuit, bersorak. “woi, kasih dia gosong semua biar kita dapat tambahan hiburan pagi!”

Soiya menutup wajahnya dengan telapak tangan, berusaha menahan diri agar tidak merasa malu. “Astaga… Lydia, kamu itu… bisa gak lima menit aja, jangan ribut?!”

Dan di lantai atas, langkah kaki berat terdengar turun dari tangga. Itu Genshiki. Ia masih dengan wajah datarnya, rambut pendek barunya sedikit berantakan karena baru bangun, tapi justru membuat para petualang yang melihat sekilas jadi agak menoleh. Anak muda ini memang punya aura dingin yang membuat orang penasaran, meskipun ia sendiri tak peduli.

Ketika ia menapakkan kakinya ke ruang tengah, suara riuh sedikit mereda. Beberapa petualang melirik, lalu cepat-cepat pura-pura kembali ngobrol. Ada juga yang senyum tipis tapi tak berani menyapa.

Dengan rambut yang masih acak-acakan, langkahnya berat seakan kakinya membawa beban pikiran yang menumpuk. Malam tadi, percakapannya dengan Ketua Asosiasi masih membekas. Kata-kata “kau bagian dari keluarga” terus terngiang di telinganya, membuat dadanya terasa hangat sekaligus berat.

Terlihat Soiya sudah sibuk sejak subuh. Tangannya cekatan menata piring kayu di meja panjang. Apron lusuh menempel di pinggangnya, rambut hitam panjangnya diikat seadanya, beberapa helai masih jatuh ke wajahnya. Meski terlihat sederhana, ada sesuatu dalam gerakan yang membuat ruangan itu seolah lebih terang. Disebelahnya ada lydia yang membantu.

“Pagi, kak Genshiki!” seru Lydia tanpa menoleh, hanya dengan nada riang khas dirinya.

Genshiki hanya mengangkat sedikit dagunya, semacam salam datar yang nyaris tak terdengar. Ia berjalan melewati meja, menatap sekilas, lalu duduk di kursi kosong dekat jendela. Dari kursi itu, cahaya matahari pagi menyorot wajahnya yang serius, seakan dia masih lebih suka memandangi dunia luar ketimbang ikut ramai-ramai.

Tubuhnya masih terasa berat, bukan karena lelah fisik, melainkan oleh sisa percakapan semalam dengan Ketua Asosiasi.

Ucapan pria itu terngiang jelas.

“Lindungi dia lebih dulu. Soiya harus hidup lebih lama dari kami semua.”

Terlepas dari pikiran itu genshiki menoleh ke arah lydia — "Kau sudah bangun sejak kapan?”

“Sejak ayam jantan masih malas berkokok,” jawab Lydia, kali ini menoleh dengan senyum lebar. “Kalau aku telat, kak Soiya bisa, ngambek seharian.”

mata soiya setengah mengerut. “Aku nggak ngambek,” “Aku cuma…suka ngomel sedikit.”

“Sedikit?” Lydia tertawa kecil. “Kau bisa bikin satu buku Penuh omelan kalau benar-benar niat.”

Lydia mendengus sambil meletakkan piring ke meja. “Kalau bukan aku yang ngomel, siapa lagi yang mengingatkanmu? Kau terlalu sibuk senyam-senyum sendiri, lupa kalau sendok belum dicuci lah, lupa kalau air sudah mendih—”

Genshiki mendengus pelan. Interaksi mereka berdua, kakak dan adik—selalu seperti ini, ringan tapi Selalu membawa suasan kehangatan yang kontras.

Lalu, suara lain memecah suasana.

“PAPAN MISI DITEMPEL LAGI! SIAPA CEPAT DIA DAPAT!”

Petualang berlari ke papan besar di dinding, kertas-kertas baru dipaku oleh staf markas. Semua orang langsung bergerombol, berteriak-teriak penasaran.

“Wah, lihat tuh! Ada misi pengawalan ke kota perbatasan!”

“Bayarannya lumayan! Tapi hati-hati, katanya jalan itu sering disergap bandit!”

“Ah, cuma bandit. Kasih ke pemula aja. Kita cari yang lebih menantang!”

Sorakan itu menggema. Dari tempat duduk Genshiki tanpa sadar ia menoleh. Sorot matanya menangkap sekilas tulisan di papan. Kata-kata seperti “perbatasan”, “iblis”, dan “pembersihan kecil” mencuri perhatiannya. Ia tidak bergerak, tapi jemarinya yang menegang sedikit.

Lydia, tentu saja, tidak melewatkan momen itu. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Genshiki, matanya berbinar. “Eh, kak kamu, liat papan misi? Mau coba ambil ya?”

Soiya menepuk pundaknya. “Lydia! Jangan asal ngomong begitu, nanti dia—”

“tidak apa-apa,aku tidak mempermasalahkan hal itu.” Genshiki memotong, tapi kali ini suaranya tidak setajam biasanya.

Hening sejenak.

Lydia menyengir. “Hehe, yaudah deh. Tapi kalau nanti kamu tiba-tiba berdiri dan ikut misi, jangan bilang aku nggak nyangka, ya.”

Soiya menunduk sedikit, tersenyum samar. Ia tahu, ada sesuatu yang perlahan berubah di mata Genshiki.

Kerumunan di papan misi makin gila. Petualang-petualang besar dengan baju zirah penuh debu dorong-dorongan sama pemula yang cuma bawa belati. Suara kertas disobek paksa, protes bersahut-sahutan, dan kata kata kotor bertebaran di udara.

“Hei! Itu misi aku yang ambil duluan!”

“Apaan?! Aku udah naro jariku di kertasnya dulu sebelum kau rebut!”

“Dasar curang! Kalau begitu kita selesaikan dengan tinju aja!”

BAM!

Kursi terjungkal, meja hampir terguling, dan dua orang langsung bergulat di lantai. Sorakan dan taruhan spontan langsung meledak dari sekitar.

“Dua koin perak aku dukung yang botak!”

“Ha! Aku dukung yang kurus, dia licin kayak belut!”

Soiya menepuk dahinya, wajahnya kaku setengah putus asa. " Aduh,mereka....lagi-lagi bikin markas kayak arena gulat.”

Lydia malah semangat. “Ayo taruhan! Aku si kurus! Aku yakin dia jago lari zig-zag!” Ia mengangkat tangan ke arah petualang yang memegang kantong koin taruhan.

“Lydia!” Soiya hampir menjerit. “Kamu itu… bisa gak! jangan ikut campur orang dewasa?”

“Hei, umur itu cuma angka, yang penting niat!” jawab Lydia dengan muka sok bijak, lalu langsung di jewer keras sama Soiya.

Para petualang yang lihat adegan itu meledak tertawa. “Hahaha! putri ketua emang beda ya, lebih rame daripada dua orang yang lagi berantem!”

Genshiki menoleh ke papan itu. Matanya menatap gulungan kertas dengan seksama, seolah ada sesuatu yang menariknya. Malam tadi, janji pada Ketua Asosiasi membuatnya berpikir ulang tentang posisinya di markas. Dia bukan hanya penonton. Kalau benar dia bagian dari “keluarga” ini, berarti dia juga harus memikul tanggung jawab sebagai petualang.

Sambil menatap papan, ia mendengar suara kursi ditarik di sampingnya. Soiya duduk dengan membawa dua mangkuk sup panas. Ia meletakkan satu di depan Genshiki. “Hei, jangan cuma lihat papan itu saja . Ayo Sarapan dulu.”

“Terima kasih,” jawab Genshiki pendek, sambil mengambil sendok .

Sementara dia meniup supnya, Soiya ikut menatap papan misi. “Setiap hari, aku cuma lihat mereka rebutan ambil gulungan. Kadang aku penasaran… seperti apa rasanya ada di luar sana, ikut misi?”

Lydia yang mendengar itu langsung menoleh cepat. “kak,Apakau sudah gila?! Jangan mulai lagi. Ayah menyuruh kita fokus di markas. Kalau semua orang pergi, siapa yang urus dapur?”

Soiya mengangkat bahu. “Aku cuma penasaran. Lagi pula, apa salahnya mencoba hal baru?! ”

"eee, gak salah kok kak. tapi aku ga mau terjadi apa-apa sama kakak" ucapnya sambil berbalik memandang papan misi.

Genshiki diam saja, hanya menatap mereka berdua. Tapi dalam hati, ia mulai melihat benang merah. Malam tadi, ayah mereka bilang: “Lindungi dia lebih dulu.” Dan kini, gadis itu sendiri mulai menunjukkan rasa ingin tahu pada dunia luar.

Seolah membaca pikirannya, salah satu petualang tua ikut nimbrung. Namanya Liduard, pria berotot dengan jenggot tebal yang sudah memutih. Ia berdiri di tetap di depan mereka bertiga, sambil menepuk-nepuk gulungan kertas. “Hei, kalau ada yang masih muda dan segar kayak kalian, sesekali ikut turun misi itu bagus. Biar tahu dunia nggak cuma masak dan tidur!” katanya dengan suara keras, membuat para petualang melirik dan beberapa orang sedikit tertawa.

Soiya menoleh, wajahnya bercampur antara kaget dan semangat. “Benarkah, Paman Liduard? Ayah pasti marah kalau aku ikut sembarangan.”

Liduard tertawa pendek, tapi tawa itu pahit, bukan riang. “Hahaha… ayahmu dulu pernah bilang hal yang sama padaku. Katanya, ‘tetaplah di markas, itu lebih aman’. Dan lihat aku sekarang—setiap luka di tubuhku ini adalah bukti kalau aku menolak hidup aman.” Ia mengepalkan tangan, menunjukkan bekas luka panjang di lengan kirinya. “Karena di luar sana… kau akan belajar apa arti dunia luar, dan apa arti kehidupan. Sesuatu yang tak akan pernah kau dapat hanya dengan menyapu lantai atau menyiapkan makanan.”

Suasana meja jadi hening. Para petualang yang mendengar ikut menunduk pelan. Kata-kata Liduard jelas bukan sekadar nasihat, tapi potongan masa lalu yang berat.

Kalimat itu membuat Soiya Berpikir sejenak. Genshiki berhenti mengaduk supnya, lalu perlahan berkata, “ Benar, Tidak ada salahnya belajar. Tapi dunia luar tidak seperti yang kau bayangkan. Karena Tidak ada jaminan untuk pulang dengan selamat.”

Soiya menoleh cepat, menatap matanya. “Lalu, kalau aku ingin ikut, apa kau akan melindungiku?”

Pertanyaan itu membuat. Genshiki teringat kalimat ketua asosiasi semalam, “Kalau suatu saat kau harus memilih, lindungi dia lebih dulu.”

kemudian Liduard menatap Genshiki sekilas, matanya tajam seperti menantang. “Dan kau, bocah baru. Kalau kau benar-benar laki-laki… dan benar-benar petarung… jangan cuma duduk dan menatap papan itu dengan wajah dingin. Dunia luar tidak menunggu siapa pun. Kau ingin tahu arti hidup? Kau harus mencarinya di luar sana.”

Semua petualang yang melihat liduard terkagum, berani mengatakan genshiki seperti itu seolah menantang, tapi dia tidak tahu 3 orang yang menjadi rumor di markas ini sudah berhenti semenjak ia datang kesini.

Matahari sudah merangkak naik, sinarnya menembus kaca jendela dan membuat ruangan tampak lebih terang. Namun, cahaya itu juga mengungkap betapa berantakan markas setelah perkelahian. Beberapa meja masih dipenuhi piring kotor, noda minuman, dan bahkan sepasang sepatu yang entah milik siapa.

Di dinding itu, papan misi berdiri dengan penuh ratusan kertas. itu benda yang selalu mengguncang ruangan.Tulisan tangan ketua, tanda-tanda coretan hitam, cap—semua itu mengumbar kemungkinan. Mereka seperti papan ramalan yang menunggu pejuang baru untuk membaca takdirnya sendiri.Ada permintaan mencari ramuan, membasmi serigala, hingga misi besar yang berhubungan dengan perbatasan. Papan itu seperti jantung markas; setiap hari berubah dan setiap hari juga menentukan arah langkah para petualang.

Ketua asosiasi tak terlihat sejak pagi. Ia meninggalkan pesan singkat di papan pengumuman itu: “Hari ini saya keluar sebentar. Genshiki, Adalah penjaga markas hari ini.” Hanya itu. Kalimat singkat tanpa penjelasan lebih jauh.

Dan begitulah, kini Genshiki seharusnya duduk di meja depan, posisi yang biasanya ditempati ketua.tapi dia lebih memilih duduk di dekat jendela karena Kursi kayu besar terasa asing di bawah tubuhnya.

Ia melipat tangan, menatap kosong ke depan. Suasana ruang tengah sudah agak sepi—para petualang yang sibuk sudah berangkat misi, sementara sisanya tertidur pulas di sana.

"Kenapa aku harus di sini? pikir Genshiki. Menjaga pintu, Atau apa? Itu bukan sesuatu yang butuh pedang ataupun darah dingin. Tapi… mungkin justru ini membuatku melihat hal-hal yang biasanya tidak terlihat."

Pintu markas berderit terbuka. Seorang pemuda kurus dengan jubah kebesaran masuk tergopoh. Wajahnya pucat, matanya liar. Ia menghampiri meja dengan langkah cepat.

“Aku mau misi!” katanya dengan suara tinggi.

Lydia mengangkat alis, menatap serius. “Misi yang mana?”

“Yang paling gampang! Yang… yang cuma jalan-jalan doang, ya, semacam nyari bunga di hutan!”

Lydia meraih buku catatan, membalik beberapa halaman. “Ada misi ‘mengumpulkan herbal di pinggir hutan’. Bayaran lima koin perunggu.”

“Ya, itu! Itu aja!” pemuda itu meraih kertas misi dengan tangan cekatan, menandatangani buku catatan dengan cepat. “Aku bisa kok, aku… aku hebat!”

Tanpa menunggu, ia langsung keluar lagi.

"ehhhh" belum sempat lydia ngomong dia udah diluar.

Hari merayap, matahari bergeser ke barat. Keributan benar benar mereda, sebagian besar petualang sudah berangkat menyelesaikan kontrak mereka. Ruang tengah markas mulai longgar, hanya tersisa beberapa kelompok yang masih makan sore sambil bercengkerama.

Di salah satu meja, Lydia dan Soiya duduk sambil berbagi semangkuk sup. Lydia rakus, Soiya sabar mengawasi. Genshiki masih di bangku sudut, tapi kali ini duduk sedikit lebih tegak, tidak lagi sekaku pagi tadi.

Pintu markas terbuka. Seorang pria tua berambut perak masuk dengan langkah ringan, jubah panjangnya berkibar sedikit. Ketua Asosiasi.

“Wah, suasananya masih hidup ya, Syukurlah” katanya riang sambil menepuk bahu beberapa petualang yang lewat. Tawa dan salam hangat menyambutnya, seolah tidak ada beban di pundaknya. Padahal, hanya beberapa orang yang tahu: pria itu pandai sekali menyembunyikan kekhawatirannya.

Ia melangkah ke meja utama, menaruh sebuah gulungan laporan, lalu tertawa kecil ketika melihat Lydia masih sibuk menyeruput sup. “Lydia, kau tidak membuat masalah lagi hari ini, kan?”

“Eh?! Nggak kok, aku anak baik hari ini!” jawab Lydia dengan mulut belepotan kuah.

“Anak baik katanya…” gumam Soiya sambil menghela napas panjang.

Ketua tertawa lepas, kemudian matanya sekilas melirik ke sudut—ke arah Genshiki. Tatapan singkat itu, cepat sekali, lalu ia berbalik lagi dengan senyum lebar, seolah tak ada apa-apa. “Baiklah, ayo kita jalani sore dengan damai!”

Wajahnya terlihat santai, senyumnya hangat, seolah tidak ada masalah dunia yang menindih bahunya.

Hanya Genshiki yang menatapnya berbeda. Ia tahu di balik senyuman ketua asoasi yang ringan itu ada sesuatu yang berat—sesuatu yang disembunyikan.

Dan entah kenapa,justru membuat hatinya semakin yakin. Besok… ia akan mengambil satu misi dari papan itu.

Bersambung>

More Chapters