Ficool

Alexander Knight

Ryuukawaa
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
117
Views
Synopsis
Di balik senyum dinginnya, Alexander Knight, duda kaya raya sekaligus CEO karismatik berusia 36 tahun, menyimpan kehampaan setelah pernikahannya hancur. Hidupnya penuh kekuasaan, uang, dan wanita, tapi tak satu pun mampu mengisi hatinya.Hingga suatu sore di tepi kolam renang mansion pribadinya, ia berjumpa dengan Lily Evans, gadis SMA berusia 18 tahun yang polos, lugu, namun memiliki tubuh yang begitu memikat.Lily hanya ingin bekerja paruh waktu untuk membantu ibunya, tapi siapa sangka, kehadirannya justru mengguncang dunia seorang pria dominan sekelas Alexander.Setiap tatapan Lily, setiap senyum canggungnya, membuat Alexander semakin terobsesi. Ia ingin melindungi, memiliki, dan pada saat yang sama menuntun gadis itu mengenal arti gairah dan cinta yang sesungguhnya.Namun, bisakah Lily tetap mempertahankan kepolosannya, ketika dunia mewah Alexander mulai menyeretnya pada romansa penuh godaan yang tak mampu ia hindari?
Table of contents
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1

Matahari sore menggantung rendah di ufuk barat, menebarkan cahaya emas yang menimpa jendela kaca tinggi mansion Alexander Knight. Dari lantai dua, pria itu berdiri tegak di balkon, menatap halaman belakang yang luas dengan kolam renang berkilau bagai permata biru.

Alexander Knight, 36 tahun, duda kaya raya sekaligus CEO yang dikenal kejam dan dingin. Hidupnya berjalan dalam pola yang sama: rapat, angka, wanita cantik yang datang dan pergi, dan sepi panjang yang tak pernah benar-benar bisa ia usir.

Namun sore itu, rutinitasnya pecah.

Seorang gadis berdiri di tepi kolam, dengan seragam SMA sederhana: blus putih dan rok abu-abu plisket. Gadis itu tampak gugup, memeluk buku catatan tipis ke dadanya, seolah itu adalah tameng terakhirnya. Rambut panjang cokelat mudanya tergerai bebas, sedikit berantakan diterpa angin.

Alexander menahan napas. Ada sesuatu yang berbeda.

Gadis itu tampak polos, tapi tubuhnya... terlalu menggoda untuk usianya yang masih muda. Lekuknya jelas terbentuk, kulitnya halus bagai porselen. Dan ekspresinya—tatapan canggung, bibir merah alami yang ia gigit pelan saat gugup—justru membuat Alexander semakin terikat.

Siapa dia?

"Permisi..." suara itu lirih, nyaris tenggelam oleh gemericik air kolam.

Alexander turun dari balkon, langkahnya tenang namun penuh kuasa. Sepatu kulitnya beradu dengan marmer lantai, gema setiap hentakan kakinya membuat Lily—si gadis SMA—makin menunduk.

Dalam hitungan detik, ia sudah berdiri tepat di hadapan gadis itu. Tingginya menjulang, bayangannya jatuh di atas tubuh mungil Lily.

"Siapa namamu?" suaranya dalam, berat, penuh perintah.

Lily menggenggam buku catatannya lebih erat. "L-Lily, Tuan."

Alexander menyipitkan mata. Nama itu terasa manis di lidahnya. "Umurmu?"

"Delapan belas..." jawab Lily, ragu-ragu.

Alexander tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai tanda bahaya daripada keramahan. Legal dan cukup untuknya.

"Dan apa yang kau lakukan di rumahku, Lily?" tanyanya lagi.

"Aku... bekerja paruh waktu. Membersihkan rumah. Aku tidak bermaksud mengganggu..." suaranya terbata, tubuhnya makin kaku.

Alexander menatapnya lama, lama sekali, hingga Lily merasa seolah seluruh tubuhnya telanjang di bawah tatapan itu.

"Kalau begitu," Alexander berucap pelan, "hari ini aku tidak butuh rumah yang dibersihkan." Ia mendekat, hanya beberapa inci dari wajah Lily. "Aku butuh ditemani."

Jantung Lily berdegup kencang. "M-menemani...?" suaranya nyaris tak terdengar.

Alexander mengangguk. Aroma parfumnya, maskulin dengan sentuhan kayu manis dan cedar, menyelimuti Lily. Tangannya terulur, mengangkat dagu Lily dengan sentuhan yang tegas tapi lembut.

"Ya. Menemani. Kau bisa melakukannya, bukan?"

Lily terpaku. Matanya bertemu mata biru tajam itu, dan ia tak bisa berpaling. Seluruh tubuhnya bergetar, tapi ia mengangguk kecil.

Alexander tersenyum puas. "Gadis pintar."

Tak lama kemudian, Alexander membawanya masuk ke ruang makan mansion. Meja panjang dengan lilin menyala, piring porselen mahal, dan hidangan yang tampak terlalu mewah bagi gadis SMA sederhana seperti Lily.

Ia duduk gugup di kursi, menunduk, berusaha menyembunyikan fakta bahwa ia bahkan tak tahu harus mulai dari mana.

Alexander duduk di seberang, menyandarkan tubuhnya santai sambil menatapnya. Tatapan itu membuat Lily salah tingkah, sampai-sampai ia hampir menjatuhkan gelas.

"Tenang saja," Alexander akhirnya berkata. "Aku tidak akan memaksa kau makan kalau kau tidak lapar. Aku hanya ingin melihatmu di meja ini."

Lily menelan ludah. "K-kenapa aku?"

Alexander mencondongkan tubuh ke depan, dagunya bertumpu di tangan. Senyumnya berbahaya. "Karena kau berbeda. Kau tidak seperti wanita lain yang pernah datang padaku."

Pipi Lily memanas. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa mengalihkan pandangan, mencoba menahan gejolak aneh di dadanya.

Setelah makan malam, Alexander mengajaknya berjalan di taman belakang. Lampu-lampu kecil berderet di sepanjang jalan, menciptakan suasana romantis.

Di bawah cahaya temaram, Alexander tiba-tiba berhenti. Ia berbalik lalu menatap Lily.

"Lihat aku."

Lily mengangkat wajah, matanya langsung terkunci pada tatapan biru yang begitu dalam. Alexander mendekat, hingga jarak mereka hanya tinggal sejengkal.

"Sejak kau berdiri di tepi kolam itu, aku sudah tahu," bisiknya serak, "kau akan menjadi kelemahanku."

Tangannya menyentuh pipi Lily, membuat gadis itu hampir melompat oleh listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sentuhan itu lembut, tapi jelas menunjukkan siapa yang berkuasa.

Lily menggigit bibir, menahan gemetar. Ia tahu ia harus mundur. Ia tahu ini berbahaya. Tapi tubuhnya menolak logika.

Alexander menunduk sedikit, bibirnya hanya beberapa inci dari bibir Lily. Ia tidak menciumnya. Belum. Ia hanya ingin gadis itu merasakan betapa dekatnya ia dengan bahaya.

"Mulai hari ini..." bisiknya rendah, "kau milikku, Lily."

Lily membelalak. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.

Alexander tersenyum tipis, jari-jarinya turun ke dagu gadis itu, lalu berhenti di leher jenjangnya. Ia bisa merasakan denyut nadi Lily yang berlari kencang.

"Kau tidak akan bisa lari dari ini," tambahnya. "Dari aku."

Lily menelan ludah, tubuhnya bergetar. Sebuah campuran aneh antara takut... dan tertarik.

Dan di bawah langit malam dengan aroma bunga mawar yang samar, ia tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Langit sudah semakin gelap, tapi lampu-lampu kecil di sekitar kolam renang menyala, memantulkan cahaya lembut ke permukaan air. Angin malam membawa aroma samar mawar yang baru mekar.

Lily berdiri kikuk di tepi kolam, memeluk dirinya sendiri. Seragam sekolahnya sudah sedikit kusut setelah seharian bekerja. Ia menunduk, berharap bisa cepat pulang. Tapi suara berat Alexander terdengar dari belakang, membuatnya membeku.

"Tidak ada yang terburu-buru, Lily."

Langkah kakinya terdengar mantap, mendekat perlahan. Hingga akhirnya pria itu berdiri tepat di belakangnya. Hanya beberapa inci memisahkan tubuh mereka.

"Lihat ke air," bisiknya.

Dengan gugup, Lily menuruti. Bayangan mereka berdua tercermin di permukaan kolam—tinggi besar pria dengan aura dominan yang menutupi siluet mungilnya. Kontras itu membuat Lily makin menyadari betapa lemahnya ia di hadapan Alexander.

Tiba-tiba, jemari Alexander menyentuh bahunya. Lalu turun perlahan ke lengan, menyusuri dengan gerakan yang begitu ringan namun meninggalkan jejak panas. Lily terisak pelan, tubuhnya kaku.

"Tenang..." Alexander berbisik tepat di telinganya. Suara itu serak, penuh kuasa. "Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kau terbiasa... dengan aku."

Lily menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gemetar. Tapi saat Alexander berbalik dan berdiri tepat di depannya, semua pertahanan itu runtuh.

Tatapan biru itu membakar.

Tangannya terulur, menyentuh pipi Lily, lalu turun perlahan ke rahang, berhenti di dagu. Ia mengangkat wajah gadis itu agar menatapnya.

"Jantungmu berdegup terlalu cepat," ucapnya lirih.

"A-aku..." Lily kehilangan kata.

Alexander tersenyum tipis, lalu mendekatkan wajahnya. Jarak mereka kini hanya sejengkal. Bibirnya begitu dekat, hingga Lily bisa merasakan hangat napasnya di kulit.

"Apakah kau takut padaku, Lily?"

Lily terdiam. Kata "takut" terasa tidak tepat. Ia memang gugup, jantungnya nyaris pecah, tapi bukan hanya karena takut. Ada sesuatu yang lain—sesuatu yang membuatnya enggan pergi, meski seluruh tubuhnya berteriak agar ia kabur.

Alexander menunduk lebih dekat. Bibirnya hampir menyentuh bibir Lily. Hanya satu inci yang tersisa.

Jari-jarinya menyusuri pinggiran rahang gadis itu, lalu berhenti di leher jenjangnya, merasakan denyut nadi yang berdetak liar.

"Begitu rapuh..." gumam Alexander, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi juga... memikat."

Lily menahan napas. Matanya membesar, tubuhnya kaku. Tapi tidak ada satu langkah pun ia mundur.

Alexander tersenyum tipis, melihat kepatuhan itu. Ia mendekat, bibirnya hampir menyentuh. Lily memejamkan mata, tubuhnya bergetar, siap menerima apa pun yang akan terjadi.

Namun, tepat pada detik itu, Alexander berhenti.

Ia hanya berbisik di bibir Lily, dengan suara rendah yang menusuk hati.

"Belum malam ini, Lily. Tapi percayalah..." ia menahan dagu gadis itu lebih kuat, membuatnya tetap terangkat. "Segera... kau tidak akan bisa lari dariku."

Alexander melepaskannya perlahan, lalu berjalan menjauh, meninggalkan Lily yang masih gemetar di tepi kolam.

Gadis itu membuka mata, napasnya tercekat. Ia merasa tubuhnya terbakar, padahal Alexander bahkan belum benar-benar menyentuhnya sepenuhnya.

Dan di sanalah ia berdiri, sendirian, dengan jantung yang masih berdetak liar—menyadari bahwa hidupnya baru saja berubah untuk selamanya.