Chapter 80 – The Choice of Stillness (Pilihan dari Keheningan)
Kabut yang menutupi sekeliling perlahan menipis saat suara Aeravis menggema, bergema tidak hanya di udara, tapi hingga menelusup masuk ke dalam batin Zienxi.
“Mana yang akan kau pilih hari ini... dan tanggung akibatnya?”
Tiga jalan terbentang di hadapannya, terbuat dari cahaya, namun masing-masing menyimpan beban yang tak kasat mata.
Jalan pertama menunjukkan Vuyei, sepupunya, satu-satunya keluarga yang tersisa, terperangkap dalam reruntuhan gua, wajahnya berlumuran darah dan tangannya terulur seolah memohon bantuan.
Jalan kedua memperlihatkan siluet pria berjubah gelap, pembunuh keluarganya, sedang berdiri di depan sekelompok orang yang tengah lengah, seakan menunggu waktu yang tepat untuk mengayunkan maut.
Jalan ketiga menampakkan bayangan dirinya sendiri, berdiri sendirian di tepi tebing bersalju, menghadapi angin yang menggila saat ia berjalan naik ke puncak gunung, menjauh dari siapa pun, hanya dirinya dan langit luas di atas.
Zienxi memandangi ketiganya, matanya tidak gentar tapi tidak juga tenang. Dalam hatinya terjadi pertarungan bukan antara benar dan salah, tapi antara rasa kehilangan, keinginan membalas dendam, dan harapan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar korban masa lalu. Ia menghela napas panjang, menutup matanya sejenak, lalu membuka kembali.
Langkahnya mantap, menuju jalan ketiga.
“Aku ingin menjadi lebih kuat... bukan karena dendam,” katanya, suaranya tegas namun bergetar lembut, “tapi agar tak ada orang lain yang kehilangan seperti aku.”
Aeravis mengepakkan sayapnya di atas kepala Zienxi. Sayap raksasa itu menciptakan pusaran angin lembut yang mengitari tubuhnya. Cahaya putih turun dari langit, menyerap perlahan ke dalam pori-porinya, menembus tulangnya. Hangat, tapi ada rasa perih seperti pisau yang mengiris, bukan menyakiti, melainkan menyucikan.
“Engkau bukan cahaya... bukan pula angin...” suara Aeravis menjadi lebih lembut, seperti nyanyian kuno, “tapi kau telah cukup bersih untuk dikenali oleh keduanya. Maka terimalah jejak ini... dan biarkan dirimu tumbuh bersama langit.”
Dalam tubuh Zienxi, dua kekuatan mulai tumbuh. Jejak Angin Arashi, sebuah warisan langka yang memperkuat persepsi dan kecepatan aliran qi-nya, menjadikan setiap geraknya lebih ringan dan responsnya lebih tajam. Bersamaan itu, Titik Cahaya Dalam terbentuk, sebuah inti kecil yang samar, mengandung elemen cahaya yang suatu hari kelak akan tumbuh, jika ia mampu menguasainya. Ia juga memperoleh penglihatan aneh dalam pikirannya, seperti potongan mimpi bentuk dan ciri tanaman langka yang hanya tumbuh di Langkan Aetheris.
Langit berubah. Kabut tipis yang menyelimuti wilayah itu mulai menyingkir, seperti menyadari sesuatu telah tuntas. Angin kembali berbisik tenang. Burung-burung di kejauhan berkicau lagi. Seolah seluruh Langkan ini hanya meminjamkan dirinya sebentar pada sebuah momen penting, lalu kembali diam.
Zienxi berdiri perlahan. Di dadanya tumbuh Keheningan baru, bukan kehampaan, bukan pula kosong, tapi damai. Sebuah kekosongan yang justru terisi oleh pemahaman. Ia merasa ringan, bukan karena semua beban hilang, melainkan karena ia sudah tidak lagi menolak kehadirannya.
“Ujian itu bukan tentang kekuatan...” gumamnya lirih, “tapi tentang hatiku sendiri...”
Aeravis Lunara, sang Penjaga Langit, mengepakkan sayapnya sekali lagi. Dari helai-helai bulunya yang luas dan bercahaya, satu helai bulu putih keperakan jatuh perlahan dan mendarat di tanah di depan Zienxi. Bulu itu mengandung esensi murni dan dapat digunakan sebagai media alkemia tingkat menengah, bahan penting untuk pil yang mendukung pertumbuhan elemen cahaya dan angin.
Zienxi membungkuk hormat, mengambil bulu itu dengan kedua tangan, lalu menyimpannya dengan hati-hati ke dalam kantong dalam jubahnya.
"Terima kasih..." bisiknya.
Langit mulai gelap. Malam pun tiba. Cahaya bintang memantul lembut di wajahnya. Ia kembali duduk di atas batu datar, memejamkan mata, membiarkan angin malam menyentuh pipinya. Wangi samar bunga spiritual yang hanya mekar di Langkan ini tercium pelan, seperti napas langit.
Tiba-tiba, kabut tipis kembali muncul di sekitar kakinya. Namun kali ini bukan ancaman. Dari dalam kabut, terdengar langkah ringan, nyaris seperti desir napas angin.
Seekor rubah kecil berwarna perak muncul perlahan. Tiga ekor bercahaya menggulung di belakangnya, dan matanya... mata emas hangat, seolah menyimpan musim semi dalam pandangannya.
Zienxi diam. Tidak satu pun gerakan ia buat. Bahkan napasnya ia tahan sesaat.
“Aether Wisp Fox...” bisiknya lirih, seolah tengah mengucapkan nama legenda yang hanya hidup dalam dongeng.
Rubah itu mendekat. Satu langkah. Dua langkah. Ia berhenti hanya sejengkal dari ujung jari Zienxi yang terulur. Kabut di sekelilingnya berputar ringan. Di udara, muncul satu bayangan cahaya samar bukan dari dunia nyata, melainkan dari dalam memori Zienxi: wajah ibunya, tawa masa kecilnya, dan langit malam yang pernah ia ajak bicara diam-diam ketika merasa kesepian.
Rubah itu menatap memori itu, seolah mengerti, lalu menutup matanya. Saat ia membuka matanya kembali, sorotnya berubah. Hangat. Lembut. Dan... menerima.
Ia menyentuh tangan Zienxi dengan hidungnya. Saat itu juga, angin yang mengelilingi Zienxi seolah menyambut. Dada Zienxi terasa ringan, namun terdengar sebuah dentuman lembut seutas benang halus dari qi cahaya terhubung padanya.
“Kau mengakuiku... bukan karena kekuatanmu, tapi karena jalanmu,” ucap Zienxi lirih.
Dari langit, turun seberkas cahaya lembut. Seekor kupu-kupu besar berwarna pelangi tembus cahaya turun perlahan. Breeze Moth makhluk spiritual langka, simbol kedamaian dan keterhubungan batin.
Ia mengitari kepala Zienxi, lalu hinggap di bahunya. Sayapnya bergetar, menimbulkan arus qi yang lembut dan menenangkan, membuat napas Zienxi stabil dan pikirannya jernih. Ia tidak berkata-kata, tidak menawarkan kontrak. Ia hanya menjadi saksi.
Rubah kecil itu duduk di sampingnya, matanya tertutup setengah, tenang dan puas.
Dan saat malam mencapai puncaknya, Zienxi tidak lagi sendiri.
Ia kini ditemani dua makhluk yang tidak hanya akan menjadi pelindung atau pengikut, tapi bagian dari dirinya. Bagian dari jalannya yang tidak akan pernah kembali seperti semula.
Malam itu terasa berbeda. Di antara bisikan lembut angin dan gemerlap redup Langkan Aetheris, Zienxi duduk bersandar di dinding batu berlumut, menatap kedua makhluk yang kini menjadi temannya. Aether Wisp Fox, dengan mata bening seperti embun beku, melingkar di dekat kakinya, sementara Breeze Moth dengan lembut mengepakkan sayap di rambutnya, menyebarkan partikel cahaya samar yang menenangkan. Mereka tidak berbicara dengan suara, tapi setiap gerakan mereka menyampaikan sesuatu: kenyamanan, kehangatan, dan ikatan yang baru saja terbentuk namun terasa telah lama ada. Zienxi tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia tidak merasa sendiri.
Ia menghabiskan sebagian malam dengan mengamati beberapa tanaman yang ia kumpulkan. Daun kebiruan yang menggulung saat disentuh, akar bercahaya dari tebing yang nyaris tak terlihat, dan bunga ungu pucat yang hanya mekar saat kabut datang. "Mungkin suatu saat aku akan butuh mereka," gumamnya pelan sambil menyimpannya ke dalam kantong spiritual. Setelah itu, ia duduk bersila, menenangkan napas, dan mulai berkultivasi. Meski hanya sebentar, kabut lembut Langkan Aetheris terasa mempercepat aliran energi dalam tubuhnya. Energi dunia ini… begitu alami, begitu bersih. Seolah-olah tempat ini menyimpan rahasia yang bahkan langit pun belum sepenuhnya pahami.
Ketika pagi menyapa dengan tarian kabut di sepanjang tebing, pelangi samar tergantung seperti selendang tipis di udara. Zienxi perlahan membuka matanya, memandangi keindahan yang sulit dilukiskan. “Aku akan keluar dari tempat ini,” bisiknya sambil berdiri, “tapi tujuan ku belum tahu ke arah mana…”
Ia melangkah ke tepian tebing, lalu dengan gerakan ringan ia terbang perlahan meninggalkan Langkan Aetheris, melintasi Lembah Arashi yang selama ini menjadi tempat pembentukannya. Angin pagi mengelus wajahnya, dan kenangan selama hampir satu tahun di tempat itu melintas cepat di kepalanya. Ia mendarat sebentar di Pinggir Arus, menghadap arah matahari terbit, lalu membiarkan pikirannya terbuka. Di antara gelombang ingatan, terlintas sosok-sosok dari Negara Zhongluan yang ia lihat sekilas dalam pertemuan Sekte Kabut Tengah. Ada rasa penasaran yang menuntunnya atau mungkin takdir yang berbisik halus dari balik waktu.
“Baiklah, kita akan pergi ke Negara Zhongluan,” ucap Zienxi dengan mantap. Ia melirik ke arah Breeze Moth yang menempel lembut di rambutnya, dan Aether Wisp Fox yang kini berubah menjadi kabut hangat berputar di punggung tangannya, membentuk simbol pusaran yang bergerak perlahan. Mereka menjawab dengan getaran lembut yang membuat hatinya tenang.
Perjalanan pun dimulai.
Langit berganti warna seiring waktu berjalan. Zienxi melintasi hamparan hutan lebat, melintasi sungai berliku, dan sesekali melewati desa-desa kecil yang terasing dari keramaian dunia kultivasi. Ia tidak berhenti, hanya mengamati dari kejauhan, menjaga jarak dari apa pun yang bisa memecah konsentrasinya. Malam pertama ia lewati di atas puncak pohon raksasa, di mana angin bersenandung dan bintang-bintang menggantung seperti lentera abadi. Kedua makhluk itu menjaga di sisinya, tak pernah jauh, seakan menjadi bagian dari bayangan Zienxi sendiri.
Di hari kedua, udara mulai terasa berbeda. Jalanan mulai lebih rapi, aroma dunia yang lebih teratur mulai terasa. Zienxi menghela napas panjang. Ia tahu ia hampir sampai. Dan ketika matahari mulai merunduk di ufuk barat, barulah dia tiba Negara Zhongluan, tempat yang mungkin akan membuka babak baru dalam hidupnya. Namun dia tidak melangkah masuk terburu-buru. Ia berdiri diam di pinggiran perbatasan, membiarkan angin terakhir dari luar negeri itu mengusap wajahnya, seolah mengucapkan selamat tinggal.
Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah masuk.
Babak baru pun dimulai.