Ficool

Chapter 71 - Chapter 71 – Moonlight of Regret

Chapter 71 – Moonlight of Regret (Cahaya Bulan Penyesalan)

“Efeknya akan bertahap... tapi racunnya mulai netral. Dalam beberapa jam, tubuhnya akan pulih sepenuhnya,” ucap Lu Maohan.

Zienxi menunduk dalam-dalam. “Terima kasih… Terima kasih banyak, Senior Lu…”

“Tenang saja,” jawabnya santai. “Menolong sesama bukanlah beban.”

Satu jam berlalu. Vuyei membuka mata perlahan, wajahnya lebih tenang dan tidak lagi kaku. Ia menoleh pelan ke arah pria tua itu.

“Senior... terima kasih telah menyelamatkanku.”

Lu Maohan tersenyum kecil. “Kau wanita yang tangguh, kau hanya butuh sedikit dorongan untuk melawan racun itu.”

Zienxi menatap adiknya lega. “Bagaimana perasaanmu?”

“Aku… jauh lebih baik sekarang, Kak. Terima kasih karena telah berjuang sampai sejauh ini…”

“Kau adik yang hebat. Aku bangga padamu.”

Lu Maohan mengangguk pelan. “Kalian saudara yang saling melindungi. Aku senang melihatnya.”

Vuyei dan Zienxi saling melirik, lalu menunduk dalam-dalam penuh hormat. “Terima kasih…”

“Sudahlah, jangan terlalu dramatis,” ujar Lu Maohan sambil tersenyum tipis. “Tapi, kalau suatu saat kita bertemu lagi... kalian bisa membalasnya dengan sedikit bantuan. Dunia ini selalu butuh tangan yang siap membantu.”

Zienxi tersenyum dan menggenggam tangannya erat. “Tentu, Senior. Aku akan ingat itu. Aku akan membalasnya jika takdir mempertemukan kita kembali.”

Langit mulai berganti warna, tanda senja menjelang. Zienxi, Vuyei, dan Lu Maohan berjalan perlahan keluar dari Lembah Darah Arura. Setelah tiba di batas lembah, Zienxi dan Vuyei berpamitan dengan penuh hormat.

“Semoga perjalanan kalian lancar,” kata Lu Maohan.

“Semoga kita bertemu lagi, Senior,” ucap Vuyei lirih.

“Jaga satu sama lain,” balas Lu Maohan.

Dengan langkah pasti, Zienxi dan Vuyei melangkah meninggalkan lembah menuju arah Kota Feifei, kembali ke dunia yang lebih tenang setelah melewati cobaan hidup dan mati.

Langit malam terbentang luas, dihiasi gemintang yang bertebaran malu-malu di balik kabut tipis. Di bawahnya, sosok seorang kakak menggendong adiknya yang lemah namun tersenyum, melesat menembus udara menuju arah timur ke kota Feifei, menuju rumah mereka yang sederhana di desa kecil di pinggiran kota.

Di tengah perjalanan yang sepi dan sunyi, suara lembut Vuyei terdengar, menyusup di antara desir angin yang menyapu rambut mereka.

“Kau sangat tampan, Kak,” ujarnya bercanda, bibirnya mengukir senyum kecil saat ia menatap wajah sang kakak dari bawah, menyandarkan kepalanya pada bahu yang selama ini melindunginya.

Zienxi menoleh sedikit, matanya tetap menatap ke depan. Wajahnya kembali seperti biasa, dingin, datar, dan acuh. Ia tak menjawab candaan itu.

Tapi Vuyei melanjutkan dengan suara yang kali ini lebih lembut dan tulus.

“Terima kasih telah menyelamatkanku, Kak.”

Zienxi hanya menjawab singkat, “Sama-sama.”

Beberapa saat kemudian, mereka mendarat dengan mulus di depan rumah. Langkah Zienxi cepat dan tenang, membawa adiknya ke dalam kamar. Ia membaringkan Vuyei perlahan, lalu berdiri tanpa berkata-kata.

“Beristirahatlah,” katanya singkat.

Vuyei mengangguk menurut. Tak ada tanya, tak ada bantahan.

Zienxi pun keluar, melangkah pelan ke halaman depan rumah. Angin malam berembus dingin, membelai rambut hitamnya yang acak. Ia mendongak, menatap langit yang kini dihuni bulan purnama terang namun dingin, seperti dirinya malam itu.

Wajahnya tampak berat. Matanya memancarkan penyesalan yang tak bisa ia sembunyikan.

Ia bergumam lirih, nyaris tak terdengar, “Seharusnya aku tak membawamu ke Lembah Darah Arura… Jika aku terlambat sedikit saja, kau… bisa saja tidak selamat...”

Langkah kecil terdengar dari dalam rumah. Vuyei, yang tak bisa benar-benar tidur karena pikirannya penuh, memutuskan untuk keluar. Namun, saat berada di ambang pintu, ia mendengar gumaman sang kakak.

Ia terdiam sesaat. Lalu dengan langkah tegas namun lembut, ia keluar dari pintu dan berdiri di samping Zienxi.

“Jangan katakan seperti itu, Kak.”

Zienxi menoleh cepat, terkejut.

“Aku tidak merasa menyesal,” lanjut Vuyei, matanya menatap lurus ke arah bulan. “Justru aku senang… Aku mendapatkan pengalaman bertarung lebih banyak. Aku belajar bagaimana rasanya menghadapi situasi hidup dan mati. Aku jadi tahu… betapa berharganya hidup.”

Zienxi menatap adiknya dengan mata yang mulai melembut. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi hanya satu kalimat yang berhasil keluar.

“Aku hanya… takut jika aku tadi tidak bisa menyelamatkanmu.” Suaranya nyaris pecah, tapi ia menahannya.

Vuyei menoleh padanya. Matanya yang jernih menatap dalam, penuh ketulusan.

“Tapi nyatanya, Kakak menyelamatkanku. Kau berhasil. Jadi, tolong… jangan menyalahkan diri sendiri lagi. Aku tidak ingin melihatmu terbebani oleh hal yang tidak terjadi.” Ucapannya lembut, namun nadanya tegas.

Zienxi terdiam. Tubuhnya gemetar sedikit, seolah kata-kata itu menusuk jauh ke dalam hatinya. Lalu tiba-tiba, tanpa berkata-kata lagi, Vuyei memeluk kakaknya erat. Dalam diam dan kehangatan itu, rasa bersalah Zienxi perlahan mencair.

Ia membalas pelukan itu. Tangannya yang besar dan hangat terangkat, mengelus lembut kepala adik perempuannya.

“Terima kasih… Vuyei.”

Dalam keheningan malam itu, hanya ada cahaya bulan, desir angin, dan dua hati yang saling menguatkan.

Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah dedaunan, menciptakan cahaya keemasan di jalanan tanah desa. Udara masih sejuk, embun masih menempel di rumput liar yang tumbuh di tepi jalan setapak. Di depan sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggiran desa, duduklah Zienxi dengan tenang sambil meminum teh hangat. Uap dari cangkirnya mengepul pelan, seolah ikut menikmati kedamaian pagi.

Tak jauh darinya, Vuyei menyapu halaman dengan sapu kayu. Rambut panjangnya dikuncir rapi, dan ia mengenakan pakaian sederhana berwarna putih lembut. Meski bisa saja membersihkan halaman dengan satu gerakan kekuatan spiritual, dia memilih menggunakan cara biasa lebih lambat, tapi memuaskan. Tangannya bergerak lincah, menyapu dedaunan kering yang jatuh semalam.

Dari arah jalan kecil desa, seorang kakek tua berjalan perlahan sambil membawa keranjang berisi sayuran. Ia tersenyum ramah saat melewati halaman rumah mereka.

"Zienxi, Vuyei! Pagi yang indah, bukan?" serunya.

Zienxi mengangguk sambil menyesap tehnya. “Pagi, Kakek Han. Sayur dari kebun utara hari ini?”

“Benar sekali,” jawab Kakek Han dengan bangga. “Sayurannya baru dipanen subuh tadi. Kalau kalian mau, mampirlah nanti. Aku akan menyiapkan sup lobak.”

“Terima kasih, Kek Han. Kami akan mampir nanti sore,” sahut Vuyei dengan senyum ceria.

Beberapa anak kecil berlarian melintasi jalan, salah satunya melambai pada Zienxi dan Vuyei.

“Kakak Zienxi! Kakak Vuyei! Ayo main ke sungai sore ini!” teriak bocah itu.

Zienxi hanya mengangguk ringan, sementara Vuyei tertawa kecil dan menjawab, “Kalau kakakku mau, aku juga ikut!”

Zienxi menoleh sekilas dengan ekspresi datar. “Kau saja. Aku tidak suka keramaian.”

“Hei! Kau tidak boleh terus menyendiri,” goda Vuyei sambil terus menyapu. “Kau terlalu tampan untuk terus bersembunyi di balik rumah dan cangkir teh itu.”

“Teh ini jauh lebih tenang daripada orang-orang,” jawab Zienxi datar, tapi sudut bibirnya tampak sedikit terangkat.

Vuyei melirik kakaknya dengan senyum lembut. “Setahun ya… kita tinggal di sini.”

Zienxi menatap langit sejenak. “Iya. Damai. Tapi aku tahu… ini hanya sementara.”

“Selama damai masih ada di tangan kita, aku akan menikmatinya sepenuhnya,” balas Vuyei pelan. “Aku suka pagi-pagi seperti ini.”

Suara ayam berkokok dari kejauhan, disusul aroma roti panggang dari dapur tetangga yang mulai sibuk. Seorang ibu muda bernama Isha melewati rumah mereka sambil menggendong bayinya.

“Pagi, kalian berdua. Mau roti madu? Aku buat terlalu banyak,” katanya sambil mengulurkan keranjang kecil ke arah Vuyei.

“Ohh, terima kasih banyak Kak Isha! Ini kelihatan enak sekali!” ujar Vuyei riang.

“Jangan terlalu manis nanti giginya keropos,” sindir Zienxi sambil berdiri dan masuk ke rumah, membawa cangkir tehnya.

Vuyei menatap punggung kakaknya sambil tersenyum dan berkata pelan pada Kak Isha, “Dia selalu begitu, tapi hatinya paling hangat.”

Kak Isha tertawa. “Kalian beruntung saling memiliki. Tetap jaga satu sama lain, ya.”

Vuyei mengangguk. “Selalu.”

Vuyei pun melangkah masuk ke dalam rumah mendatangi kakaknya.

"Kak, apakah kau mau roti madu ini?" tanya Vuyei sambil membawa roti di keranjang yang masih hangat. Senyumnya cerah, seperti biasa.

Zienxi yang tengah duduk bersandar di dekat meja kecil menoleh sebentar. "Tidak, kau saja."

"Ayolah, ini sangat enak! Kau harus mencobanya," ucap Vuyei sambil tersenyum lebar, lalu menyodorkan potongan roti ke arah mulut kakaknya.

Zienxi menatap roti itu sejenak, lalu menggigit sedikit. Ia mengunyah pelan, tak memberikan reaksi apa pun. Tapi bagi Vuyei, itu sudah cukup.

"Nah, begitu dong. Kak Isha sudah memberikan ini, jadi kau harus mencobanya," kata Vuyei sambil duduk di sampingnya, masih dengan senyum yang belum luntur.

Zienxi tetap dengan wajah datarnya, namun tak menolak saat Vuyei duduk lebih dekat dan bersandar sedikit ke pundaknya. Keduanya menikmati momen sederhana itu, diam-diam bersyukur atas ketenangan yang masih mereka miliki

Hari itu berjalan dengan tenang. Mereka tidak berlatih, tidak bertarung, tidak berbicara tentang kultivasi atau racun. Hanya secangkir teh, tawa kecil, dan hangatnya sinar matahari pagi di sebuah desa yang sementara menjadi tempat mereka pulih, bukan hanya dari luka tubuh, tapi dari luka di hati yang lebih dalam.

More Chapters