Ficool

Chapter 7 - Bab 7: Luka yang Terbuka

Hari berganti. Tapi Rayhan tidak datang ke sekolah.

Tidak ada kabar. Tidak ada penjelasan. Tidak ada "cerita semuanya" seperti yang ia janjikan.

Tara duduk di bangku kelas dengan tatapan kosong. Suara guru di depan hanya terdengar seperti dengungan tak bermakna. Ia merasa seperti dikosongkan oleh waktu—ditinggalkan di tengah sorotan dan fitnah, tanpa siapa pun untuk membelanya.

Apakah aku hanya alat baginya? Alat untuk menyimpan rahasia dan membagi beban, lalu dibuang saat beban itu terlalu berat?

Saat istirahat, Tara memberanikan diri ke ruang OSIS, berharap Rayhan ada di sana.

Tapi yang ia temukan hanya Dito.

"Rayhan belum balik?"tanya Tara pelan.

Dito menghela napas.

"Belum. Kayaknya dia ngurus sesuatu di rumah. Ada urusan keluarga."

"Keluarga?"

Dito menatap Tara sebentar, lalu menurunkan suaranya.

"Kamu tahu nggak soal adik Rayhan?"

Tara menggeleng.

"Adiknya pernah jadi korban bullying di sekolah ini. Tahun lalu. Tapi sekolah tutup-tutupi. Supaya nggak viral. Rayhan marah besar, tapi dipaksa diem. Sejak itu dia masuk OSIS—katanya biar bisa 'merubah sistem dari dalam'."

Tara terdiam. Kata-kata Rayhan kemarin—"aku takut kamu pergi kalau kamu tahu semuanya"—kini masuk akal.

"Adiknya pindah sekolah karena trauma. Rayhan belum bisa maafin dirinya sendiri."

Malam itu, Tara menatap foto lama di Instagram Rayhan. Sebuah potret bahagia: Rayhan dan seorang bocah laki-laki berumur 13 tahun, tersenyum lebar di taman kota.

Caption-nya berbunyi:

"Adikku, pelindung kecilku yang sebenarnya."

Tara menggulir layar perlahan. Hatinya perih.

Pukul 21.12, ponselnya bergetar.

Rayhan:

"Maaf aku hilang. Aku takut bilang semuanya tapi malah bikin kamu ikut sakit."

Tara:

"Kamu nggak harus lindungi semua orang sendirian."

Rayhan:

"Aku gagal lindungi adikku. Aku nggak mau gagal lagi sama kamu."

Tara mengetik pelan.

Tara:

"Kamu nggak gagal. Kamu cuma belum bisa memaafkan diri sendiri."

Beberapa detik berlalu. Lalu Rayhan menjawab:

"Boleh kita ketemu besok? Aku akan cerita semuanya. Tanpa sensor. Tanpa pelindung."

Tara menatap layar ponselnya, lalu mengetik:

Tara:

"Aku akan dengerin. Bukan sebagai penjaga rahasia. Tapi sebagai seseorang... yang peduli."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Tara tidur tanpa air mata. Karena besok… akan jadi hari yang penuh jawaban.

Dan mungkin awal dari penyembuhan.

More Chapters