Beberapa hari berlalu sejak Rayhan membaca surat dari Tara. Sejak saat itu, segalanya terasa berbeda.
Tidak ada lagi jarak di antara mereka. Tidak ada lagi diam yang membeku. Kini, Rayhan dan Tara berjalan berdampingan—bukan sebagai dua orang yang menyimpan rahasia, tapi sebagai dua orang yang berbagi keyakinan.
Hari itu, sekolah dikejutkan oleh sebuah video yang beredar di grup WhatsApp kelas.
Seorang siswa kelas 10—Ardi—terekam sedang ditarik paksa oleh tiga siswa lain di pojok lapangan belakang. Mereka menyembunyikan aksinya, tapi kamera CCTV yang bocor memperlihatkan semuanya.
Ardi terlihat ketakutan. Video itu hanya berdurasi 15 detik, tapi cukup untuk membangkitkan luka lama yang selama ini Rayhan simpan.
"Ini nggak boleh dibiarkan."Rayhan berkata sambil menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras.
Tara, yang duduk di sebelahnya di ruang OSIS, mengangguk.
"Apa kita bisa langsung lapor ke guru?"
"Kita bisa. Tapi kalau sistem masih kayak dulu, bisa-bisa malah dibungkam lagi."
Rayhan berdiri.
"Tapi kali ini beda. Aku nggak sendiri."
Mereka mengumpulkan data. Nama-nama pelaku. Waktu kejadian. Saksi-saksi.
Tara menghubungi Ardi diam-diam lewat DM Instagram.
"Kami tahu apa yang terjadi. Kamu nggak sendiri. Kalau kamu siap, kami akan bantu."
Ardi sempat tak membalas selama satu malam. Tapi esok paginya, ia mengirim pesan singkat:
"Aku mau bicara. Tapi jangan di ruang BK. Aku trauma tempat itu."
Rayhan dan Tara mengatur pertemuan di ruang UKS, dengan dua guru yang bisa dipercaya.
Hari Senin pagi, pertemuan itu berlangsung. Ardi bicara. Suaranya gemetar, tapi kata-katanya jelas.
"Aku capek diem terus. Aku cuma pengen sekolah dengan tenang."
Rayhan duduk di sampingnya, menepuk bahunya perlahan. Tara mencatat kronologi kejadian.
Guru pembina OSIS yang hadir—Bu Ratri—menatap mereka lama, lalu akhirnya berkata,
"Saya janji, kasus ini tidak akan disembunyikan. Kalian luar biasa."
Beberapa hari kemudian, pengumuman dikeluarkan: tiga siswa pelaku mendapatkan skorsing resmi dan diwajibkan mengikuti konseling intensif.
Bukan sekadar hukuman. Tapi langkah perubahan.
Saat semua selesai, Rayhan dan Tara duduk di bangku taman sekolah.
"Dulu, aku gagal jadi pelindung."Rayhan berkata pelan, menatap langit.
"Tapi hari ini… kamu jadi pelindung sekaligus penyembuh."jawab Tara.
Rayhan menoleh padanya.
"Dan kamu... jadi alasan kenapa aku nggak lari lagi."
Tara tertawa kecil.
"Jangan lebay, ketua OSIS."
Rayhan tersenyum.
"Tapi itu kenyataannya."
Dan di bawah langit yang mulai jingga, mereka berdua tahu: ini bukan lagi tentang rahasia masa lalu.
Ini tentang keberanian menatap masa depan—bersama.