Hari-hari biasanya berlalu lambat bagi Tara. Tapi hari ini—hari setelah ia mendengar percakapan itu semuanya terasa berbeda.
Langkah orang-orang di koridor terasa lebih berat. Suara tawa teman-temannya terdengar lebih tajam. Bahkan matahari yang biasanya hangat kini terasa menyilaukan. Semua terasa mencurigakan. Semua… terasa diawasi.
Tara duduk di kelas, berusaha membaca buku Biologi, tapi pikirannya tidak bisa lepas dari suara Rayhan kemarin.
"Kalau sampai ada yang tahu kita tutupin kasus bullying itu, bisa gawat."
Ia menatap keluar jendela, berharap angin bisa meniup rasa cemasnya pergi. Tapi itu tak pernah semudah itu.
Bel istirahat berbunyi. Rika sudah melesat ke kantin, tapi Tara masih duduk, menyusun keberanian untuk bangkit.
Saat ia memasukkan buku ke tas, sebuah bayangan berdiri di depan mejanya.
"Tara."
Suaranya dalam dan tenang.Tara mendongak. Rayhan.
Wajahnya seperti biasa: tenang, berwibawa, dan sedikit cuek. Tapi hari ini, ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang... menilai. Waspada.
"Boleh ngomong sebentar?"
Jantung Tara berdetak lebih cepat.
"Tentu."
Rayhan mengisyaratkan dengan tangannya. Mereka berjalan keluar kelas tanpa banyak kata. Banyak mata memandang, tapi Rayhan seolah tak peduli.
Mereka berhenti di tangga belakang, tempat yang jarang dilewati orang saat jam istirahat.
"Kamu kemarin di depan ruang OSIS, kan?"
Tara menatap lantai.
"Iya… aku nggak sengaja lewat. Maaf."
"Kamu dengar apa?"
"Sedikit. Tentang… kasus bullying."
Rayhan menghela napas panjang.
"Itu rahasia besar. Aku minta tolong, jangan ceritain ke siapa pun dulu."
Tara menatapnya, sedikit bingung.
"Kenapa?"
Rayhan tampak menimbang kata-katanya.
"Karena bukan cuma nama orang yang dipertaruhkan, tapi juga nama sekolah. Dan... nama seseorang yang sedang mencoba memperbaiki semuanya."
Ia tersenyum kecil, lelah, tapi tulus.
"Aku tahu ini aneh, Tara. Tapi aku percaya kamu cukup bijak buat ngerti."
Tara mengangguk pelan.
"Oke. Aku nggak akan cerita."
Rayhan menatapnya dalam beberapa detik.
"Makasih."
Sebelum pergi, Rayhan menoleh sekali lagi.
"Dan… kamu suka baca buku apa, sih? Aku sering lihat kamu di perpus."
Tara sedikit terkejut.
"Novel... dan sedikit sejarah."
"Keren. Mungkin kamu bisa rekomendasiin satu ke aku nanti."
Rayhan lalu pergi, meninggalkan Tara yang masih berdiri di tangga. Detak jantungnya belum kembali normal. Tapi untuk pertama kalinya... dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rahasia.
Ada awal yang diam-diam sedang tumbuh.