Langit kelabu menutupi seluruh Troya, malam ini seolah menyambut sebuah kehancuran.
Di istana Troya suasana mendadak menjadi tegang, seorang pria berjalan bolak-balik di luar kamar.
Sedang di dalam kamar, seorang wanita yang juga seorang ibu sedang berjuang melahirkan anak.
Para pelayan istana berlarian keluar masuk kamar persalinan, di sisi lain tabib istana melakukan doa pada para Dewa-Dewi mereka, meminta kelancaran.
Di luar, badai petir menggelegar liar seolah Dewa-Dewi sedang menyambut datangnya seorang yang kelak membawa sebuah bencana yang menghancurkan bangsanya sendiri.
Kembali ke kamar wanita tadi, suara tangisan bayi kecil terdengar hingga keluar kamar.
Tabib kini menggendong bayi berjenis kelamin laki-laki, "Yang Mulia Ratu, putra Anda telah lahir dengan selamat, tapi..." katanya setengah terputus.
"Tapi apa? Mengapa wajahmu pucat?" Tanya dengan sedang sosok wanita atau ibu bayi tersebut, yang ternyata adalah Ratu.
Tabib menunduk seolah tidak berani menatap Ratunya, "burung-burung berhenti berkicau saat dia keluar. Dan lihat langit... badai ini datang tiba-tiba," jawabnya sambil melihat pangeran kecil yang entah kenapa berhenti menangis dan tersenyum kepadanya.
Sementara itu sebuah suara memenuhi pikiran sang bayi kecil.
"Ini tidak mungkin. Reinkarnasi? Aku tidak percaya hal-hal seperti ini. Tapi kenapa aku bisa ingat semuanya? Kenapa aku bisa mengerti bahasa mereka? Dan kenapa... kenapa aku tahu nama 'Paris' sebelum mereka menyebutnya?"
Sang Ratu menatap dari jauh bayinya yang tengah di gendong tabib istana.
"Panggilkan suamiku, katakan bahwa anaknya telah lahir," kata Ratu pada seorang pelayan wanita di sampingnya.
Pelayan itu mengangguk ringan, "baik, Yang Mulia Ratu Hecuba," katanya, kemudian ia melangkah keluar dari kamar.
Pada saat yang sama, seorang laki-laki yang masih berjalan memutar di luar kamar, kini sedang ditenangkan oleh seorang pria tua.
"Yang Mulia Raja, tolong tenanglah," kata pria tua itu.
Raja kemudian berhenti sejenak dari langkahnya, "tenang? Apa maksudmu tenang, Agealus? Di luar sedang terjadi gemuruh petir, sedang ini musim kemarau," katanya dengan wajah pucat dan keringat mengalir.
"Maafkan saya, Yang Mulia," kata Agealus dengan nada rendah, "saya tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin menenangkan anda."
Sebelum Raja dapat membalas perkataan Agealus, seorang pelayan wanita mendekati keduanya dari arah kamar.
"Salam, Yang Mulia Raja," kata pelayan wanita itu dengan penuh hormat.
Raja memiringkan kepala ke arah suara itu, "ada apa? Bagaimana kondisi istriku? Bagaimana dengan bayinya?" Tanyanya dengan nada tergesa-gesa.
"Yang Mulia Ratu, meminta anda untuk masuk," jawab pelan pelayan wanita itu.
Raja mengangguk ringan, "baiklah, kau tunggu di sini, Agealus," katanya, kemudian ia melangkah cepat masuk ke dalam kamar.
Mata kini sedikit tenang, ia menyaksikan sendiri istrinya sehat, dan sosok bayi kecil digendong oleh tabib istana.
"Puji Dewa, kau telah melahirkan anak kita dengan selamat, Hecuba," kata sang raja yang kemudian mendekati istrinya.
Dengan penuh ke hati-hatian, ia menyentuh pundak istrinya, kemudian ia mencium keningnya.
"Coba kau gendong anakmu, Priam," kata pelan istrinya.
Priam mengangguk pelan pada Hecuba, kemudian tabib istana mendekati mereka.
"Silakan, Yang Mulia," kata tabib istana sambil menyerahkan bayi kecil ke tangan sang raja.
Priam menerima bayinya dengan pelan namun pasti, dalam gendongannya, mata hitam indah bayi itu menatap ke mata Priam.
Hati sang raja berdetak dengan cepat, seolah ia merasakan kegelisahan yang belum pernah ia rasakan.
"Anakku yang tampan..." puji sang raja sambil mengayun pelan bayinya.
Pada saat yang sama, dalam pikiran Ratu Hecuba, ia memikirkan mimpi malam sebelumnya.
Dimana ia melahirkan sebuah obor yang menyala tanpa henti di Troya, namun ia belum berani menceritakannya pada siapapun, bahkan pada suaminya sendiri—Raja Priam.
Setelah beberapa saat mengendong bayinya, Priam menyerahkan kembali pada Hecuba, yang tenaganya sudah kembali sedikit demi sedikit.
"Pelan-pelan saja, Sayang," kata Priam sambil memberikan anaknya pada Hecuba.
Hecuba tersenyum sedikit, "tenanglah, Suamiku," katanya, yang kemudian menerima bayi kecil mereka.
Hecuba mencium bayinya dengan kasih sayang seorang ibu, "selamat datang di Troya, Putraku," katanya kemudian.
Bayi kecil itu akhirnya bisa terlelap dalam pelukan hangat ibunya, namun ada sebuah jiwa di dalamnya yang masih tetap terjaga.
Dia mendengar sebuah bisikan samar di antara angin malam ini.
"Mimpi buruk Ratu," "ini pertanda dari dewa," "kita harus ke oracle kerajaan."
Sementara itu, jauh dari kelabu Troya, langit cerah menyambut satu set dua telur yang dilahirkan oleh seorang wanita.
Satu telur akan keluar, Helen dan Pollux, yang juga anak Zeus—Raja Dewa dari gunung Olympus.
Sedangkan telur yang lain akan keluar, Castor dan Clytemnestra, yang merupakan anak dari Raja Sparta—Tyndareus.
Wanita itu adalah, Leda—seorang Ratu dari Sparta dan istri Raja Tyndareus dari Sparta.
Cerita berbeda datang dari Mycenae, dua kakak-beradik sedang melarikan diri dari pengejaran yang dilakukan oleh paman mereka.
Keduanya berlari sekuat tenaga, setelah ayah mereka dibunuh oleh paman mereka demi sebuah tahta Mycenae.
"Kita harus melarikan dari sini, Menelaus," kata sang kakak dengan nafas tersengal.
Si adik mengangguk lelah, "baik, Kak Agamemnon," jawabnya pada sang kaka.
Mereka terus berlari cepat ke arah Sicyon, dalam hati mereka terus berdoa pada Dewa agar mereka dapat selamat sampai tujuan.
Pada saat yang sama, di Olympus, tujuh belas Dewa-Dewi sedang berkumpul di singgahsana mereka.
"Takdir sedang berubah," kata Zeus sang Raja Dewa, "anak yang seharusnya menjadi awal kehancuran Troya, kini akan menelan langit seutuhnya."
Hades tersenyum licik melihat ketidaktenangan adiknya, sementara dewa-dewi lainnya hanya memandang ke sang Raja Dewa.
"Apakah kita harus turun tangan, Zeus?" Tanya Aphrodite—sang Dewi Cinta, dengan kata-kata halus namun bisa menjungkirbalikkan dunia.
Mata Zeus menatap tajam ke arah Aphrodite, "tidak, Aphrodite, kita akan menyaksikannya terlebih dahulu," kata Zeus dengan tegas.
Poseidon—Dewa penguasa sungai, danau, dan laut, mendengus pelan, "tidak bisanya kau seperti ini, Zeus. Dulu kau menulis takdir bahwa Troya akan hancur, namun apa sekarang? Bahkan kau membuat Ratu Sparta melahirkan anak-anakmu," ejek halus Poseidon pada adik kecilnya.
"Diamlah kau, Poseidon," Zeus mencekram erat tahtanya, "kau tidak berhak berkata seperti itu, karena kau tidak berbeda denganku."
Poseidon tertawa keras, tawa itu bersamaan dengan ombak yang menggulung di lautan, sementara dewa-dewi lain memperhatikan tingkah kedua saudara itu.
Semantara itu, di sisi selatan pulau Jawa, sosok wanita dengan mahkota hijau permata menatap jauh sebuah palu besar, dayang-dayangnya hanya memperhatikan ratu mereka.
Kembali ke Troya, dimana sosok anak muda sedang berlatih pedang dengan keringat mengucur deras, di bawah rembulan.
"Kau sebut dirimu seorang pria, Hector!?" Kata keras seorang perajurit tua, "angkat pedangmu sekali lagi jika kau ingin melindungi tanah ini."
Tangan Hector yang masih bergetar, mencoba mencekram gagang pedang kembali.
Dengan teriakan penuh semangat, ia kembali berlatih dengan pedang.
Di masa depan yang jauh, ia akan dikenang sebagai pahlawan besar dari Troya.
Namun malam ini, ia hanyalah seorang pangeran pertama dari Troya yang masih harus berlatih.
Beberapa hari kemudian, atau lebih tepatnya tujuh hari setelah kelahiran sang pangeran kecil dari Troya.
Raja dan Ratu dari Troya sedang membawa putra mereka menuju ke tempat peramal atau oracle dari kuil Apollo bersama pelayan dan pengawal istana.
Bayi mereka menatap seluruh yang dapat ia lihat, "arsitektur dunia ini memang menakjubkan, bagaimana istana sebesar ini di bangun tanpa alat kontruksi modern dan bertahan akan semua medan?" pikir jiwa dewasa dalam tubuh kecilnya.
Kolom-kolom marmer, relief dewa-dewi menghiasinya, aroma dupa yang memenuhi udara.
Semua ini terasa nyata, bukan mimpi atau halusinasi belaka, pikir dalam-dalam si kecil yang sedang digendong erat ibunya.
Priam menyapa sang peramal—Phythia, "Pythia, kami datang mencari jawaban. Mimpi istri saya..." katanya setelah Hecuba jujur tentang mimpinya sebelum kelahiran anak kedua mereka.
Wanita dengan wajah keriput di depannya—Pythia tenang seolah melihat segalanya, "aku sudah tahu mengapa kalian datang, Raja Priam. Dewa-dewi telah berbisik padaku."
"Kalau begitu, apa maksud dari mimpi istriku?" Ucap Priam dengan sedikit menaikkan alis, "beri tahu kami, Pythia."
Sang peramal mengangkat tangan ke atas—menghentikan ucapan Priam.
Kemudian keheningan memenuhi ruangan, ritual dimulai dengan Pythia membakar daun laurel dan bersiap untuk trance.
Putra Priam mengamati dengan fascinasi - dia pernah membaca tentang ini dalam buku sejarah yang selalu menemani waktu sekolahnya dahulu.
Tapi melihatnya langsung adalah hal yang berbeda, "buku itu hanya menjelaskan, namun di depanku saat ini, mereka melakukan, apa yang disebut sebagai sihir oleh orang modern," kata si kecil dari Troya.
"Ini seperti National Geographic documentary yang menjadi kenyataan. Tapi tunggu... kalau ini nyata, dan aku benar-benar Paris, maka... oh tidak. Aku tahu bagaimana cerita ini berakhir," lanjutnya.
Ramalan telah selasai kesadaran sang Oracle telah kembali.
Pythia dalam trance memberikan prophesy, "putra yang kau gendong akan membawa api ke Troya. Kecantikannya akan memikat, tapi kehancuran akan mengikuti
Bila dia hidup, tembok-tembok tinggi ini akan runtuh, Bila dia mati, Troya akan bertahan lebih dari seribu tahun," katanya dengan nada tinggi seolah memperingatkan.
Tubuh Hecuba mendadak kehilangan tenaga setelah mendengar ramalan dari Phytia, kakinya mulai lemas, namun kedua tangan masih memegang erat bayinya.
Sementara wajah Priam memutih, keringat mulai mengalir deras, tangannya gemetar hebat seolah mencoba tidak dapat menerima ramalan tersebut.
"Ini tidak mungkin," kata Priam dengan mata menatap ke arah putranya, "anak kami akan..."
Para pelayan di belakang mereka bergumam takut pada ramalan kehancuran Troya dari Phytia.
Putra kecil Hecuba kemudian menyadari dalam pikirannya, "Trojan War. Helen dari Troya. Aku... aku adalah penyebab perang yang menghancurkan seluruh peradaban. Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Aku harus mengubah sejarah kali ini."
Sementara itu, di sebuah hutan penuh dengan pohon pinus, sang Dewa Musik sedang tersenyum lembut seolah segala sesuatu telah berjalan sesuai kehendakNya.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu, Saudaraku?" Tanya sosok wanita dengan seekor beruang bersandar di pangkuanNya.
Dewa Musik hanya menggeleng ringan sambil memetik kecapi, "tidak ada apa-apa, wahai Saudariku," katanya dengan nada halus.
Namun sosok wanita itu menatap tajam seolah tidak percaya dengan jawaban dari saudaranya.
"Jika ayah tidak ingin bermain, maka kita berdualah yang harus bermain, Saudariku," kata Dewa Musik dengan nada congkak, "kau setuju denganku, bukan?"
Wanita itu hanya mendengus, "terserah dirimu," katanya.
Angin utara mencoba meninggalkan kedua saudara, ia mencoba kembali ke Troya.
"Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang, Phytia?" Tanya Priam dengan suara lemah.
Hecuba menatap suaminya, ia memegang erat bayinya seolah tak ingin melepaskan.
Phytia melihat ke arah langit malam, "kalian harus membunuh anak itu agar apa yang kalian bangun tidak hancur," katanya sambil menatap tajam si bayi.
"Apakah tidak cara lain?" Tanya Priam seolah mencari sebuah harapan, "Dewa, tidak akan sekejam itu pada bayi kan?"
Sang Oracle hanya menggeleng seolah membunuh hanya satu-satunya cara.
"Baiklah, aku mengerti," kata Priam, "kalau begitu kami pamit."
Phytia menunduk hormat, "hati-hati di jalan, Raja. Semoga para dewa memberkati anda dan keluarga," lanjutnya.
Priam dan rombongannya meninggalkan kuil Apollo dengan membawa perasaan duka mendalam.
Priam berjalan mondar-mandir di kamarnya. Hecuba menangis sambil memeluk Paris. Bayi itu tidak menangis - seolah mengerti gravity situasi.
Hecuba mengeluarkan suara, "dia anak kita, Priam. Darah dari darah kita. Bagaimana mungkin kita..." suaranya memecah suasana tegang.
Priam mengangguk setuju, "tapi jika ramalan itu benar... seluruh rakyat Troya akan mati karenanya."
Tubuh Hecuba bergetar pelan, "ramalan bisa salah. Para dewa kadang berbicara dalam teka-teki."
"Aku berharap begitu, Istriku," kata Priam mencoba menenangkan istrinya, "namun mereka tidak pernah salah hingga hari ini."
Suasana di dalam kamar keduanya, menjadi hening kembali.
Bayi kecil dalam pelukan Hecuba menatap kedua orang dewasa yang berbicara barusan.
Dia mendengar semua percakapan itu, sebagai orang yang menggeluti bisnis, dia mengerti logika Priam, mengorbankan satu untuk menyelamatkan lainnya.
Tapi sebagai... dia sendiri, dia tidak mau mati lagi.
"Aku baru saja mati dan terlahir kembali. Aku belum sempat memahami apa yang terjadi. Dan sekarang mereka mau membunuhku lagi? Tidak. Aku harus selamat. Aku harus menemukan cara untuk mengubah takdir ini."
Hecuba menolak menyerahkan anaknya, "tidak akan aku serahkan dia, Priam. Jika dia harus mati maka aku harus bersamanya," Dia berkata akan bunuh diri jika Priam membunuh Paris.
Tubuh Priam bergetar, ia terpaksa mencari solusi lain, "baiklah, Istriku. Aku akan mencari jalan berbeda."
Kemudian Raja melangkah keluar meninggalkan istrinya, memanggil Agelaus sendiri seolah ingin tak seorang pun dari istana tahu masalah malam ini.
Ia bertemu dengan Agelaus yang sedang menyendiri menatap bulan sabit.
"Agelaus, kemari," kata Priam dengan nada pelan.
Agelaus mengangguk, ia melangkah mendekat, "ada apa, Yang Mulia?"
"Ikutlah denganku sekarang," kata Priam dengan suara mantap.
Agelaus mengikuti Raja seolah ia tidak ingin bertanya lebih lanjut.
Priam dan Agelaus masuk ke kamar Hecuba, namun tatapan tajam dari Hecuba membuat suasana lebih tegang.
Agelaus memberi keduanya saran, "saya memiliki sebuah saran, Yang Mulia. Namun ini membutuhkan persetujuan anda sekalian," katanya.
"Saran apa itu, Agelaus?" Tanya Hecuba sembari menatap pelayan tua itu.
"Saran dari saya adalah kita akan membuang dia ke gunung, jika dia selamat, berarti dewi-dewi menghendaki dia hidup. Jika mati, Troya akan selamat," kata Agelaus dengan suara mantap.
Priam menatap Hecuba, begitupun sebaliknya.
Keduanya bertatapan selama beberapa waktu, kemudian saling mengangguk.
"Baiklah, aku setuju dengan saranmu, Agelaus," kata Hecuba dengan nada sedih mendalam.
Agelaus menunduk hormat, "terima kasih, Yang Mulia. Karena menerima saran dari pelayan tua ini," katanya.
Pelayan tua yang loyal itu menawarkan diri untuk dia sendiri yang akan membawa si bayi sebagai sebuah solusi buang Pangeran Kedua ke gunung, biarkan alam yang menentukan.
Priam mengangguk setuju dengan rencana Agelaus.
"Besok secara resmi, anak ini akan diumumkan meninggal karena penyakit," kata Priam diiringi oleh isakan tangis Istrinya.
Hanya tiga orang yang tahu kebenaran tentang Pangeran Kedua yakni Raja Priam, Ratu Hecuba, dan Agelaus si pelayan tua.
Malam ini adalah terakhir kalinya Pangeran Kedua di istana Troya, Hecuba menyusui sambil bernyanyi lagu perpisahan dari Troya.
"Maafkan Ibu, Sayang," katanya dengan air mata membasahi wajah putranya, "ibu tidak ingin kau mati namun ibu juga tidak tega membiarkan Troya dalam kehancuran."
Putra kecil Hecuba merasakan kasih sayang yang tidak pernah dia rasakan dalam kehidupan sebelumnya.
Untuk pertama kalinya, dia mempertanyakan apakah murni selamat adalah tujuan yang tepat? Atau mungkin ada sesuatu yang lain bisa menjadi tujuan barunya dalam kehidupan ini?
Malam hari suasana cerah di istana Troya, bulan di langit malam sedang menatap dua sosok.
"Agelaus, bawalah anak ini ke gunung Ida," kata Priam dengan mantap, "biarkan dia mati di sana."
Raja kemudian menyerahkan bayi pada Agelaus, pelayan tuanya.
Agelaus hanya mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan Priam.
"Maafkan aku, Putraku," kata Raja sambil menatap bayangan Agelaus yang mulai menghilang di gelap malam, "para dewa sudah membuat keputusan."
Ia melangkah masuk ke dalam istana dengan campur aduk duka dan kesedihan akan nasib putranya.
Sementara Hecuba menatap kepergian putranya dengan air mata yang tidak berhenti jatuh.
Jauh dari Troya yang penuh peristiwa malam ini, sosok wanita di bawah rembulan membisikan sesuatu pada beruang wanita yang tertidur di pangkuannya.
Beruang itu bangkit, berjalan meninggalkan sosok wanita tadi.
Pria dengan busur dan anak panah menatap dari belakang beruang itu, "apa yang kau rencanakan, Saudariku?" Tanyanya sambil memalingkan wajah.
"Tidak ada, Saudaraku," kata wanita dengan bunga di antara rambut indahnya, "aku hanya melakukan apa yang biasa aku lakukan."
Pria dengan busur mendengus pelan, "kau tidak pernah seperti ini sebelumnya, Saudari," katanya dengan tatapan tajam seperti elang.
Wanita dengan bunga di kepalanya menggeleng, "aku selalu begini, Saudaraku. Tak pernah berubah dari dulu,"katanya sambil menyembunyikan senyum.
"Terserah kau," kata sosok pria tadi, "maka aku juga akan bermain dalam permainan ini."
Kisah kini beralih kembali, Agelaus si pelayan tua Raja Priam, sedang menggendong bayi kecil dalam selimut wool.
Ia berjalan dalam keheningan, hanya terdengar suara langkah kaki dan hembusan angin gunung malam.
Agelaus berbisik di telinga bayi, "maafkan kami, Pangeran Kecil. Ini bukan pilihan yang mudah."
Sebuah gunung Ida mulai terlihat begitu dekat.
"Gunung Ida... aku ingat baca tentang ini. Ini tempat Paris memilih antara tiga dewi. The Judgment of Paris. Moment yang memulai Trojan War. Ironik sekali bahwa aku akan dibuang di tempat yang sama di mana aku akan membuat keputusan yang mengubah sejarah," kata jiwa dewasa dalam tubuh bayi.
"Selama aku bisa hidup," lanjutnya.
Saat mereka mulai naik ke gunung, si bayi melihat Troya dari kejauhan, cahaya dari istana seperti bintang yang semakin menjauh.
Layaknya perlambangan perpisahan dari kehidupan mewah yang tidak akan pernah dia rasakan lagi.
Cliring yang indah dengan pemandangan ke arah lembah.
Tempat yang cukup terlindungi dari predator, pemangsa, ataupun binatang buas. Dekat dengan sumber air, tapi jauh dari jalur yang biasa dilalui manusia.
Agelaus meletakkan bayi itu di atas kain linen putih, meninggalkan beberapa persediaan seperti madu, susu dalam wadah kecil, termasuk amulet dari yang diberikan oleh Hecuba di istana.
Agelaus berkata pelan,"semoga dewi-dewi melindungimu, Pangeran Kecil. Jika kau memang ditakdirkan hidup, seseorang akan menemukanmu."
Namun di dalam hatinya, "atau mungkin aku akan kembali dalam beberapa hari untuk memeriksamu... tanpa sepengetahuan raja?"
Kemudian Agelaus melangkah dengan berat pergi meninggalkan bayi, seorang diri di dalam hutan yang begitu sunyi.
Ini adalah situasi bertahan hidup di alam liar yang sesungguhnya.
Semua kealihan bisnisnya di masa lalu tidak berguna di sini.
Dia hanya seorang bayi yang membutuhkan pertolongan, tergantung pada keajaiban atau keberuntungan.
"Ini gila. Aku tidak bisa selamat sebagai bayi di alam liar. Aku tidak bisa berteriak minta tolong, tidak bisa jalan, tidak bisa apa-apa. Apa yang harus aku lakukan?" Kata jiwa dewasa dalam tubuh si bayi.
Setelah Agelaus, si pelayan Priam pergi, si bayi mulai merasakan dinginnya udara gunung.
"Bagaimana ini sekarang?" Tanyanya, "aku tidak bisa berbuat apa-apa dalam tubuh kecil begini."
"Tolong siapapun!!!" Katanya namun suara itu yang keluar hanya tangisan bayi bukan suara yang berada dalam kepalanya.
Dia menangis keras, bukan karena reflek bayi, tapi karena ketakutan yang alami yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Suara tangisannya bergema di antara pohon hutan gunung Ida.
Suara tangisan menarik perhatian seekor bayangan besar mendekati sumber suara.
Bayi itu melihat bayangan besar mendekat, giginya begitu tajam dengan air liur yang meleleh seolah makanan enak tersedia di depan.
Dalam kepanikan, dia mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya tangisan bayi, "tidak...jangan makan aku..." teriak jiwanya begitu keras namun yang keluar hanya sebuah tangisan yang menyebar ke seluruh tempat.
Tiba-tiba dari arah lain, "mundurlah binatang," suara keras penuh peringatan dari seseorang yang nampaknya gembala terdengar dari kejauhan.
Bayangan besar itu mulai mundur ke arah berlawanan dari suara barusan.
Bayi itu mendengar langkah kaki sesuatu, seperti manusia mendekat.
"Syukurlah makhluk itu telah pergi," kata jiwa dalam pikiran.
Manusia barusan terlihat, pria paruh baya, weathered oleh kehidupan gunung, tapi mata yang kind.
Dia sedang mencari domba yang hilang ketika mendengar tangisan bayi.
Gembala termenung sejenak, "Astaga... siapa yang tega meninggalkan bayi di tempat seperti ini?" Katanya dengan tangan gemetar kecil.
Ia melihat kain linen yang mahal, "Ini bukan kain orang biasa. Anak siapa ini?"
Dia melihat ke arah kiri dan kanan, seraya memastikan ada manusia atau tidak.
Akhirnya sambil membulatkan tekad, ia memutuskan mengambil si bayi.
Tapi dia juga menyadari ironi diselamatkan oleh orang yang tidak begitu ia kenal dalam kehidupan ini.
"Kebetulan yang aneh. Atau mungkin ini memang takdir? Dua orang berbeda dalam hidupku barusan. Yang satu membuangku, yang lain menyelamatkanku. Simbolisme yang terlalu sempurna untuk sebuah kebetulan," gumamnya.
Dia melihat amulet yang ditinggalkan bersama bayi itu, lencana kerajaan yang dia kenal.
Dia menyadari ini adalah anak bangsawan, mungkin bahkan keturunan raja.
Tapi dia memutuskan untuk tidak menyelidiki lebih jauh, karena itu bukan tugasnya.
Agelaus: "Siapa pun yang meninggalkanmu, mereka pasti punya alasan. Tapi aku tidak akan membiarkanmu mati di sini."
Melihat mata Paris yang sangat waspada, "Matamu... seperti sudah melihat banyak hal. Aneh untuk bayi," katanya.
Gembala tadi memberikan susu kambing hangat pada si bayi.
"Minumlah dengan tenang, Nak," kata si gembala dengan nada lembut.
Untuk pertama kalinya sejak reinkarnasi ini, jiwa dewasa dalam tubuh bayi merasa aman.
Ada sesuatu berbeda menghadapi tentang kesederhaan kehidupan dari seorang gembala.
Sang gembala memutuskan untuk membawa si bayi pulang.
Dia akan mengatakan pada istrinya bahwa dia menemukan bayi yang ditinggalkan, tanpa menyebutkan detail tentang lencana kerajaan.
"Mari kita bertemu dengan ibu barumu, Nak," kata si gembala pada bayi yang berada dalam gendongannya, "dia pasti akan terkejut saat melihatmu."
Dalam perjalanan pulang, si gembala menceritakan semua kehidupannya, mulai dari ia yang seorang anak gembala dan sekarang menjadi suami seorang wanita.
Waktu berlalu dengan cepat, mereka telah tiba di rumah sederhana si gembala.
"Selamat datang, Nak," katanya dengan senyum lebar, "semoga kau nyaman di sini."
Rumah kayu sederhana dengan pandangan yang menakjubkan ke arah depan lembah, atapnya terbuat dari jerami tersusun rapi.
Perabotan yang sederhana, perapian yang memghangatkan, aroma dari roti hangat dan herbal.
Kontras dengan kehidupan yang telanjang dengan kemewahan istana.
Istri gembala mendadak terkejut, tapi naluri keibuan mulai muncul.
Mereka pernah kehilangan anak, jadi kehadiran bayi itu adalah menjawab doa keduanya selama ini.
"Dari mana anak ini berasal, Agelaus?" Tanya istri gembala pada suaminya.
Agelaus menjawab sambil menatap wanita di depannya, "aku menemukannya ditinggalkan di gunung. Tidak ada yang lain di sekitar sana, Thalia."
Thalia mengangguk seakan tidak meragukan suaminya, "pakaiannya mahal... tapi dia kurus. Sudah berapa lama dia sendirian?"
Tanyanya sambil tersenyum pada si bayi.
Agelaus menggeleng ringan, "tidak tahu. Tapi sekarang dia anak kita," katanya dengan suara mantap.
"Kau benar, Agelaus," Thalia kemudian mencium kening bayi itu, "selamat datang dalam keluarga ini."
Dia mulai mengamati kehidupan gembala dari Agelaus.
Rutinitas sederhana bangun pagi, menggembalakan domba, makan bersama, tidur early.
Tidak ada stress, tidak ada deadlines, tidak ada politik korporat, hanya ada kehidupan sederhana.
"Ini kehidupan yang aku tidak pernah bayangkan. Dalam kehidupan sebelumnya, aku selalu mengejar lebih banyak uang, kesuksesan, dan pengakuan akan perusahaan," gumamnya dalam pikiran.
"Tapi di sini... semua tentang cara bertahan hidup dan keluarga. Mungkin ada kebijaksanaan dalam kesederhanaan," lanjutnya.
Bayi tidur di tempat tidur kayu yang dibuat Agelaus.
Dia mendengar suara angin gunung yang berbisik, burung hantu berseru-seru, dan domba bergerak.
Pemandangan suara yang benar-benar berbeda dari keramaian kota yang dia kenal.
Sebelum tidur, Agelaus melihat royal amulet yang dia sembunyikan.
Dia tahu suatu hari kebenaran tentang bayi itu akan terungkap.
"Tenang saja, Putraku. Kau akan aman," kata Agelaus dengan tenang.
Tapi untuk sekarang, dia akan melindungi rahasia ini.
Bayi itu tertidur dengan tenang untuk pertama kalinya sejak reinkarnasi seolah kamar sederhana adalah tempat ternyaman baginya.
Dalam mimpinya, dia melihat dua buah takdir, satu menuju istana yang megah tapi berakhir dengan api, satunya menuju kehidupan sederhana di gunung yang berakhir dengan kedamaian.
Dia tidak tahu takdir mana yang akan dia pilih, namun satu hal yang pasti, ia tidak akan membuat kesalahan yang sama.
Gembala daerah lereng Ida seperti Agelaus bangun sebelum fajar, saat langit masih kelabu dan udara gunung Ida terasa dingin menyelinap melalui celah-celah rumah kayu mereka.
Mereka hidup di pondok sederhana dari kayu pinus dan tanah, dengan atap jerami yang bocor saat hujan deras.
Setiap pagi dimulai dengan menyulut api di perapian kecil, di mana Thalia memanaskan susu kambing atau memanggang roti dari tepung kasar yang mereka giling sendiri.
Aroma asap kayu dan herba liar seperti thyme mengisi udara, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan kerasnya dunia luar.
Agelaus menggembalakan domba-domba mereka di lereng gunung Ida, mengandalkan tongkat kayu tua dan anjing gembala setia untuk menjaga kawanan dari serigala atau beruang yang sesekali melintas.
Pekerjaan ini membutuhkan ketahanan, berjalan berjam-jam di medan berbatu, menghadapi angin tajam, dan kadang-kadang tidur di bawah bintang-bintang jika domba tersesat di antara lereng gunung.
Thalia, sementara itu, merawat rumah, memerah susu, dan mengumpulkan kayu bakar atau akar liar untuk makanan sembari memberi bayinya kehidupan yang nyaman.
Mereka hidup dari apa yang diberikan alam, keju kambing, madu dari sarang liar, dan sesekali daging domba yang disembelih.
Namun kehidupan keduanya mulai berbeda semenjak kedatangan bayi yang dibawa oleh Agelaus.
Sebagai gembala, Agelaus dan Thalia sangat bergantung pada tanda-tanda alam dan kepercayaan pada dewa-dewi yang mereka sembah.
Mereka selalu meninggalkan persembahan kecil—seikat rumput atau susu tumpah—di altar batu sederhana untuk Pan, dewa penggembala, atau Nyx, dewi malam, memohon perlindunganNya.
Badai tiba-tiba datang tidak diundang, kelahiran anak domba yang sehat dianggap sebagai berkah atau peringatan ilahi.
Si bayi, dengan jiwa modernnya, mulai memperhatikan ritual ini dengan kagum atau skeptis, ia mencoba memahami logika di balik kepercayaan mereka yang berbeda dari istana.
Kehidupan sebagai pengembala ini cukup keras.
Cuaca ekstrem, predator, dan penyakit domba mengancam setiap hari.
Agelaus mungkin pernah kehilangan sebagian kawanan dalam badai musim dingin, meninggalkan bekas luka emosional yang membuatnya lebih protektif terhadap anak angkatnya.
Thalia, yang kehilangan anak sebelumnya, menemukan makna baru dalam merawat bayi yang ditemukan suaminya, meski pakaian mahalnya mengundang pertanyaan yang mereka hindari.
Mereka hidup dengan keteguhan hati, mengandalkan komunitas kecil gembala lain untuk saling membantu saat panen atau perayaan.
Bagi jiwa dewasa dalam tubuh bayi, kehidupan ini adalah kejutan—jauh dari hiruk-pikuk kota modern atau tekanan bisnis. Ia mungkin merenung tentang kesederhanaan ini, membandingkannya dengan "deadlines" dan "politim korporat" yang pernah menghantuinya.
Suara angin malam, bau kayu bakar, dan rutinitas yang stabil bisa menjadi pelajaran baru baginya, bahwa kekayaan sejati mungkin ada dalam ikatan keluarga dan harmoni dengan alam, bukan ambisi.
Angin mengaum liar di antara puncak-puncak Gunung Ida, suaranya seperti jeritan bumi yang tersiksa oleh badai malam ketiga sejak Agelaus membawa bayi yang ditinggalkan dari padang terbuka.
Pondok kayu mereka bergoyang, dinding-dinding pinusnya berderit di bawah tekanan angin, sementara atap jerami bergetar seolah hendak lepas.
Di dalam, api kecil berkelip di perapian batu, cahayanya lembut namun penuh harap, menerangi wajah-wajah Agelaus dan Thalia yang berlutut di sisi buaian anyaman alang-alang.
Bayi itu terbaring di sana, dibalut kain linen halus yang kontras dengan kesederhanaan ruangan, matanya yang gelap menatap dengan kejernihan aneh, seolah menyimpan rahasia yang tak terucap.
Thalia menggenggam tepi buaian, jarinya gemetar saat menyentuh kain yang menyembunyikan amulet kerajaan, bukti asal-usul anak itu yang mereka pilih untuk disembunyikan.
Napasnya tersendat, ingatan tentang putra mereka yang hilang karena demam membanjiri pikirannya, dan air mata perlahan mengalir di pipinya.
"Dia adalah anugerah, Agelaus," bisiknya, suaranya pecah oleh campuran haru dan ketakutan.
"Tapi anugerah yang dibawa bayang-bayang. Lihat matanya, bukan mata bayi biasa."
Agelaus mengangguk pelan, wajahnya yang kasar dipahat oleh bertahun-tahun menghadapi kerasnya gunung. Ia pernah melihat tanda-tanda alam, elang yang melayang di atas kawanan domba yang sekarat, keheningan sebelum serangan serigala, tapi belum pernah ia merasakan beban seperti ini.
Badai di luar mengguncang pondok, petir menyambar dengan gemuruh yang menggema di lembah, seolah alam ikut bersuara.
"Gunung ini menyelamatkannya," gumamnya, suaranya dalam dan penuh kekaguman.
"Linen ini, amulet ini, menggambarkan darah Troya. Tapi siapa yang meninggalkannya? Dan nama apa yang layak untuknya?"
Thalia bangkit, langkahnya lambat namun teguh, siluetnya menari di cahaya api seperti bayang-bayang seorang ibu yang bertekad. Ia berjalan ke altar batu di sudut ruangan, sebuah monumen sederhana untuk Pan, dewa alam liar, dihiasi dengan ranting pinus dan sisa-sisa persembahan lama.
Dengan hati-hati, ia menuang sedikit susu kambing dari kendi tanah liat ke atas batu, cairan itu menetes perlahan ke tanah, diikuti oleh sejumput herba kering yang ia ambil dari kantongnya.
"Kita harus mencari petunjuk dari roh gunung," katanya, suaranya lembut namun penuh otoritas. "Ini bukan keputusan kita saja."
Udara di dalam pondok menjadi berat, aroma susu dan herba bercampur dengan bau kayu bakar dan angin liar yang menyelinap melalui celah-celah dinding.
Agelaus bergabung dengannya, meletakkan tongkatnya yang sudah usang di samping altar, lalu berlutut dengan tangan terbuka, seolah menyerahkan diri pada kehendak alam.
Bayi itu mengikuti gerakan mereka dengan tatapan yang tak biasa untuk usianya, dadanya naik turun selaras dengan dentuman guntur di kejauhan.
Tiba-tiba, Thalia terdiam, sebuah kilasan muncul di benaknya, bayangan menara-menara emas yang terbakar, suara tawa yang jauh, dan sebuah nama yang bergema dalam pikirannya: 'Paris'. Ia menarik napas dalam-dalam, tangannya mencengkeram pinggir altar.
"Paris," ucapnya, kata itu terasa berat di lidahnya, penuh makna yang tak terucap.
"Aku melihatnya dalam pikiran, nama yang terpaut dengan api dan kejayaan. Mungkin itu yang ditakdirkan untuknya."
Agelaus menatapnya, alisnya berkerut saat ia mencerna kata itu.
"Paris," ulangnya, suaranya bergema di ruangan kecil, menguji kekuatan nama itu.
"Nama yang indah, tapi penuh misteri. Apakah kita membesarkan harapan, Thalia? Atau beban yang terlalu berat?"
Ia berbalik ke buaian, mengangkat bayi dengan hati-hati, tangannya yang kasar bertolak belakang dengan kelembutan gerakannya.
Jari kecil bayi mencengkeram jarinya, genggamannya kuat meski tubuhnya rapuh, dan Agelaus merasa hangat menyelinap ke dadanya, ikatan yang lahir dari pilihan, bukan darah.
Thalia mendekat, air matanya berkilau di cahaya redup, mencerminkan api yang hampir padam.
"Dia milik kita sekarang, apa pun yang menantinya," katanya, suaranya menguat dengan cinta ibu.
"Kita akan menamainya Paris, anak gunung yang dipilih oleh alam. Semoga Pan memberkatinya, dan semoga angin membawa kebaikan baginya."
Ia menunduk, mencium dahi bayi itu dengan penuh kasih, bibirnya bergetar seolah menyegel janji yang tak terucap.
Badai di luar tampak mereda sesaat, guntur bergulir perlahan, seolah alam menyetujui pilihan mereka.
Tapi ketenangan itu pecah ketika suara aneh menggema di luar pondok, suara seperti langkah berat di atas bebatuan, diikuti oleh derit kayu yang tak wajar.
Agelaus melompat berdiri, mengangkat tongkatnya dengan tangan yang teguh, matanya tajam menatap ke arah pintu.
Thalia mencengkeram Paris lebih erat, napasnya cepat saat amulet yang tersembunyi tergelincir dan bersinar samar di lipatan kain, menangkap cahaya api yang sekarat.
"Ada sesuatu di luar," bisiknya, suaranya penuh ketegangan.
Agelaus melangkah ke pintu, jantungnya berdegup kencang, dan membukanya sedikit.
Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau tanah basah dan sesuatu yang asing—seperti logam atau darah.
Di kegelapan, ia melihat bayangan besar bergerak di antara pohon-pohon pinus, siluetnya samar namun mengancam, lebih besar dari serigala biasa.
"Tetap di dalam," perintahnya pada Thalia, suaranya tegas meski ada ketakutan di matanya.
Ia melangkah keluar, tongkatnya siap, dan menutup pintu di belakangnya.
Dalam pondok, Thalia mengayun-ayun Paris, mencoba menenangkannya meski tangisannya mulai pecah.
"Jangan takut, anakku," bisiknya, tapi suaranya gemetar. Amulet di tangannya bergetar, cahayanya memudar lalu menyala kembali, seolah merespons sesuatu di luar.
Di luar, suara derit berubah menjadi desir, diikuti oleh desir yang lebih dalam—seperti desir darah yang mengalir atau napas binatang raksasa.
Agelaus berteriak, suaranya terputus oleh dentuman keras, dan pondok bergetar seolah terkena hantaman.
Thalia berlari ke pintu, membukanya dengan paksa, dan membeku.
Agelaus terbaring di tanah, tongkatnya patah di sampingnya, sementara bayangan besar itu mundur ke dalam hutan, meninggalkan jejak cakar yang dalam di lumpur.
Darah menetes dari lengan Agelaus, tapi ia masih bernapas, matanya penuh kebingungan.
"Pergi… ambil Paris…" desahnya, suaranya lemah.
Thalia menarik napas panik, menarik suami dan anaknya ke dalam, lalu mengunci pintu dengan tangan yang gemetar.
Api di perapian hampir padam, cahayanya hanya menyisakan bayang-bayang di dinding.
Paris menangis keras, suaranya bergema dengan ketakutan yang tak biasa untuk bayi, seolah ia mengerti bahaya yang mengintai. Thalia memeluknya erat, amulet di tangannya kini dingin, cahayanya hilang sepenuhnya.
Di luar, desir itu kembali, lebih dekat, diikuti oleh suara seperti tawa rendah yang terbawa angin. Pintu bergetar, dan sebuah cakar raksasa menggores kayu dari luar, meninggalkan goresan dalam yang memecah keheningan malam.
Agelaus berusaha bangkit, tapi jatuh kembali dengan erangan.
"Apa yang telah kita picu?" bisiknya, matanya menatap Paris dengan campuran harapan dan ketakutan.
Thalia menatap pintu, lalu ke anaknya, hatinya berdebar kencang.
Nama Paris terngiang di pikirannya, sebuah janji dan ancaman, sementara suara di luar semakin mendekat, siap untuk mengungkap misteri yang belum mereka ketahui.
To be continue.