Langit cerah di atas lereng gunung Ida, tempat dimana para pengembala domba dan anak-anak dari desa berlarian ke sana-kemari.
Namun berbeda dari mereka, Paris kecil sedang bermain bersama anak domba, dia mengelus dengan lembut kepala binatang itu.
"Kau adalah kawan baruku di dunia yang penuh dengan keanehan ini," katanya pada anak domba.
Ia juga mengamati perilaku hewan di sekitarnya dengan sistematik untuk anak seusia, yang seharusnya tidak melakukan hal itu dan lebih banyak bermain.
Dengan tubuhnya yang masih kecil, Paris mulai dapat memahami beberapa domba yang selalu bermain dengannya.
Beberapa saat Paris bermain dengan anak domba, ibunya, Thalia melangkah mendekati anak laki-lakinya itu.
"Paris sayang, kenapa kamu tidak bermain dengan anak-anak yang lain?" Tanya wanita itu dengan lembut seperti helai rambutnya, "dan kamu hanya bermain dengan anak domba ini seharian?"
Paris menggeleng ringan, "mereka terlalu kekanak-kanakan, Ibu..." dia segera menutup mulutnya dengan kedua tangan yang kecil.
Thalia tertawa kecil melihat tingkah lucu putranya, "kamu juga masih anak-anak, Sayang," ia kemudian melipat kedua kaki, dengan lembut, Thalia mengusap hangat kepala Paris.
"Ya, tentu saja, aku masih anak-anak, Ibu," wajahnya memerah, namun dalam pikirannya, bagaimana tingkah laku normal anak kecil seusiaku? Dan hampir saja aku ketahuan sama ibu.
Thalia kembali tertawa melihat Paris yang menurutnya bertingkah lucu, "ya sudah, bermainlah dengan anak domba itu, Sayang. Namun saat kau lapar, kembalilah ke rumah kita," katanya dengan senyum yang indah.
Paris kecil mengangguk setuju pada ibunya.
"Baik, Ibu."
Thalia kemudian berdiri dari saat lalu, ia melangkah meninggalkan putra kecilnya.
"Aduh kau ini, hampir saja ketahuan sama Ibu tahu," gumam pelan Paris, "bagaimana kalau dia tahu aku bukanlah anak-anak, melainkan orang dewasa dari dunia lain nantinya? Apakah dia masih menganggapku sebagai anaknya? Atau akan menganggapku aneh?"
Paris terus berpikir lebih keras dari anak seusianya, anak domba tadi menginggit kulit tangan Paris yang melamun.
Paris kemudian berteriak pelan, "ada apa, kawan?" Tanyanya pada binatang itu.
Anak domba memperlihatkan gigi putih seolah menertawakan Paris, "kau ini..." kata Paris dengan sedikit senyum.
Namun sebelum Paris bisa menangkap anak domba tadi, binatang itu sudah berlari cepat menjauh dari Paris.
Paris kemudian berlari kencang mengejarnya, "ya, kenapa harus berpikir rumit tentang itu, tinggal tidak tahu matematika, tidak menunjukkan strategi berpikir, dan tidak mengomentari percakapan terkait orang dewasa. Sesimple itu menjadi anak normal dalam dunia ini," katanya dengan otak yang mulai berjalan lancar setelah kejadian barusan.
Musim mulai berganti, waktu mengikis polos di wajahnya, usia delapan tahun, Paris mulai memahami kehidupan kuno ini.
"Aku mulai mengapresiasi kehidupan ini. Tidak ada laporan triwulanan, tidak ada rapat dewan, tidak ada rekan kerja yang suka menusuk dari belakang, benar-benar jauh dari kehidupan kantor yang merepotkan. Tapi... aku juga merasakan sesuatu yang menggugah dalam diriku. Kekuatan yang tidak bisa aku jelaskan," katanya di dalam pikiran.
Saat Paris berusia sepuluh tahun, dia secara tidak sengaja mencegah tanah longsor dengan entah bagaimana merasakan ketidakstabilan geologis di antara lereng desa.
Desa yang terselamatkan, tapi masyarakat mulai berbisik tentang 'anak yang terbekati oleh para dewa.'
Di kandang domba milik Agelaus.
Thalia yang kini bersama putranya, "Paris, apapun yang terjadi nanti, ingatlah bahwa kamu dicintai oleh kami," katanya.
Paris menatap ibunya kemudian bertanya, "kenapa kamu bicara seolah-olah aku akan pergi, Ibu?"
Thalia menjawab putranya, "kadang ibu memiliki perasaan tentang itu, nak. Kamu... kamu berbeda, Paris. Tapi berbeda bukan berarti buruk."
"Mengerti, Ibu."
"Anak pintar."
Thalia kemudian memeluk hangat putranya seperti ibu yang tidak ingin kehilangan.
Angin mulai bertiup, saat Paris berusia dua belas tahun, terdapat sebuah kejadian.
Dimana ia berhasil mengalahkan sekelompok pencuri ternak dan mengembalikan ternak yang mereka curi ke kawanannya, sehingga ia mendapat julukan Alexander yang berarti pelindung manusia.
Dimana saat itu, Paris tersungkur, darah mengucur dari keningnya.
Nafas tercekat. Dalam detik berikutnya, mata Paris yang biasanya hangat berubah tajam, dingin.
Suara tenang terdengar dari bibirnya, "Langkahmu buruk. Sekarang, izinkan aku menghitung mundur kekalahanmu," jiwa Direktur Utama telah bangkit.
Dia menghajar kelompok itu tanpa ampun seolah berbeda dengan dirinya yang tersungkur sebelumnya.
Pada saat inilah, Alexander atau Paris bertemu dengan Oenone, Ia adalah seorang nimfa dari Gunung Ida tepatnya di Frigia. Ayahnya adalah Cebren, dewa sungai.
Ia terampil dalam seni nubuat dan pengobatan, yang diajarkan kepadanya oleh ibu para dewa Rhea dan dewa musik Apollo.
Melalui kemampuannya untuk melihat masa depan, ia meramalkan bahwa 'Alexander akan meninggalkannya namun tetap mencintainya.'
"Alexander ingatlah satu hal ini, jika kau kemudian meninggalkan diriku demi Helen, aku mengatakan ini kepadamu bahwa jika kau terluka dalam perjalanan ke Sparta, kamu harus datang kepadaku. karena aku bisa menyembuhkan luka apa pun, bahkan luka yang paling serius," kata Oenone pada Alexander.
"Helen? Sparta?" Alexander tertawa keras pada perkataan Oenone, "kau ini menyebut nama wanita yang begitu asing dan aneh!? Dan kenapa aku harus terluka demi seorang wanita?!"
Nimfa itu tidak tersenyum hanya menatap Alexander yang tertawa, "aku tidak tahu, Alexander. Namun ingatlah perkataanku ini," katanya dengan nada tegas.
"Kita hanyalah teman, Oenone," Alexander menghentikan tawanya, "kau tidak perlu mengkhawatirkan masa depanku. Entah di masa depan aku akan melakukan apa yang kau lihat saat ini, tidak akan berdampak padamu, karena kita hanya seorang 'teman.'"
Perkataan Alexander itu seolah memperjelas hubungan diantara mereka saat ini.
Oenone mendengus, "terserah kau," ia kemudian meninggalkan Alexander seorang diri.
Namun dalam pikiran nimfa itu, kenapa kau harus begitu, Oenone? Bagus jika Alexander tidak mengenal Helen di masa depan!? Yang terburuk adalah dia menikahiku dan meninggalkanku?! Apa-apaan dengan ramalan itu?!
Dua tahun kemudian, air mengalir deras di sekitaran sungai gunung Ida dan membuat masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oenone, nimfa dari sungai, muncul dalam kembali hidup Alexander setelah menghilang dalam sungai dalam saat itu.
Tapi dia merasakan sebuah bertentangan- dia memiliki sebuah pikiran dewasa yang memahami kompleksitas hubungan.
Nimfa itu berjalan mendekati Alexander, tatapan teman lama seakan mereka hanya bisa bertemu setelah ribuan tahun berlalu.
Oenone menatap teman masa kecilnya, "kamu berbeda dari gembala lain dari desa, Alexander. Ada sesuatu yang kuno dalam matamu."
Alexander menjawab nimfa itu, "kuno? Aku masih remaja, Oenone," sambil tertawa canggung.
Oenone menatap mata Alexander, "Mata tidak bisa berbohong, Alexander. Kamu sudah pernah hidup sebelumnya, kan?"
Alexander tertawa keras, "apa maksudmu? Aku hidup sebelumnya? Kau terlalu tenggelam dalam pengelihatanmu, Oenone. Jangan terlalu mengikuti para dewa yang kuno itu," katanya seolah menyangkal sebuah fakta.
"Kamu ini kalau diberitahu olehku tidak pernah sekalipun mendengarkan, ya Alexander," dengus Oenone, "ingat perkataanku dahulu."
"..." Alexander terdiam sejenak, "apa itu?"
Nimfa itu kemudian berjalan meninggalkan Alexander dengan perasaan kesal bahkan setelah lama tidak bertemu, Alexander masih sama saja, pikirnya.
Sudah tiga tahun Paris memilih hidup menyendiri di dalam gua.
Sunyi menjadi temannya, dingin menjadi selimutnya.
Dalam kesendirian itu, ia menajamkan keterampilan bertahan hidup.
Ia bisa membaca arah angin, mengenali tanaman beracun, bahkan mendengar langkah binatang dari jarak jauh. Alam bukan lagi sekadar tempat tinggal, melainkan bagian dari dirinya.
Namun kesunyian juga membawa bayangan.
Semakin dalam ia terhubung dengan hutan dan gunung, semakin jelas pula suara-suara di dalam kepalanya.
Suara yang menyingkap luka lama.
Di tengah meditasi panjang, ia mulai melihat kilasan-kilasan hidup yang bukan hanya miliknya.
Wajah Direktur Utama yang pernah ia kenakan seperti topeng. Ruang rapat, angka-angka, cahaya lampu kota.
Lalu, seolah ada tabir lain yang robek, hadir juga gambaran seorang Paris yang seharusnya ada, jiwa asli yang lama terkubur.
Ia terperangkap di antara dua dunia.
Satu penuh kekuasaan dan ambisi.
Satu lagi sunyi, tapi jujur.
Dan di dalam gua itu, Paris sadar, ia bukan sekadar bertahan hidup. Ia sedang berhadapan dengan dirinya yang sebenarnya.
Dia menyadari dia bukan reikarnasi sederhana yang dipukir, tapi gabungan dari tiga jiwa yang terbentuk setelah kelahiran dan kejadian di masa lalu.
Satu dupa kemudian, di dalam pikiran Alexander, "kau hebat, Oenone. Baru kamu saja yang menebak bahwa aku bereikarnasi," gumamnya dengan pelan.
Jiwa Direktur Utama XQO Holdings memulai percakapan, "kita perlu rencana untuk masa depan. Kita tidak bisa bersembunyi di sini selamanya."
Jiwa asli Paris berkata, "kita adalah pangeran dari Troya. Kita memiliki takdir yang harus dipenuhi daripada hidup sebagai gembala," dia tersenyum seolah takdir sedang menunggu mereka.
Jiwa Alexander yang berada di tengah keduanya, "kalian bedua ini, kita bahagia di sini. Kenapa harus memperumit masalah?" Tanyanya dengan nada tenang.
"Kita tidak bisa terus melakukan ini, Alexander. Kau juga sudah ku beritahu soal masa depan kita kan!?" Jawab Direktur Utama dengan lugas.
Alexander tanpa suara, ia menundukkan kepala sebagai jawaban.
"Lalu apa rencanamu, wahai jiwa dunia lain," kata jiwa asli Paris dengan senyum lebar.
Jiwa Direktur Utama menatap kedua jiwa di depan, "jika menurut buku The Judgement of Paris, kita akan hancur setelah menculik Helen. Maka kita tidak boleh mendekati wanita itu di masa depan," katanya dengan tenang.
"Aku berkata ini karena dirimu dapat merusak segala yang telah kita bangun, Paris," katanya.
Ia menatap tajam ke arah jiwa asli Paris.
"Baiklah, aku berjanji tidak melakukan hal itu," kata jiwa asli Paris.
Jiwa Alexander senyum kecil sambil mengangguk, "baiklah jika hanya itu. Kedengarnya mudah."
Sementara itu jiwa asli Paris tertawa keras setelah ia setuju barusan, "nampaknya wanita itu terlalu berbahaya hingga kita harus menghindari dia!?"
"Kau benar, dia adalah putri Zeus," kata jiwa Direktur Utama, "kalian tahu benar raja dewa yang selalu berbuat sesuka hati itu."
"Baiklah kita putuskan menghindari dulu Helen maupun Zeus, demi masa depan yang cerah untuk ayah Agelaus dan ibu Thalia," kata jiwa asli Paris sambil tersenyum cerah.
Jiwa Alexander mengangguk tegas, "tentu, itu adalah tujuan kita bersama."
"Bagus, kita bertiga sepakat untuk saat ini," kata jiwa Direktur Utama, "mari..."
Ketiga jiwa mengulurkan tangan, tiga tangan kanan menumpuk seperti gunung.
"Untuk ayah dan ibu!?"
"Untuk ayah dan ibu!?"
"Untuk ayah dan ibu!?"
Ketiga jiwa di dalam Paris telah bersepakat satu dan ini menandai kesatuan di antara mereka.
Mata Paris terbuka, "baiklah, kita kembali hari ini."
Ia kemudian melangkah dengan ringan meninggalkan gua.
Sesampainya di rumah, Paris disambut oleh dua sosok dengan tatapan penuh kasih sayang.
Kedua sosok berlari dengan perasaan bercampur ke arah Paris.
"Aku kembali, Ayah, Ibu," kata Paris dengan senyum indah dan penuh kerinduan.
Orang tua Paris kemudian memeluk hangat anaknya, "selamat datang, Sayang," kata keduanya dengan air mata haru mulai terjun ke bawah.
Beberapa saat haru kemudian, kedua orang tua Paris melepaskan pelukan mereka.
Ayah Paris, Agelaus berkata dahulu pada putranya, "Paris... kamu... kamu sudah berubah banyak, anakku."
Paris menatap ayahnya, "aku sudah menemukan siapa aku sebenarnya, Ayah," jawabnya dengan suara mantap.
Tubuh Thalia, ibu Paris, sedikit bergetar, "kamu akan meninggalkan kami lagi, kan?" Tanya dia dengan nada sedih.
Paris beralih ke ibunya, "tidak sekarang. Tapi suatu hari... ya. Aku punya tujuan yang harus dipenuhi, Ibu," jawabnya.
"Kau boleh mengejar tujuanmu, Nak. Namun ingat hal ini, kau adalah putra kami dan itu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun."
Paris mengangguk setuju, ia kemudian memeluk kembali ibunya, "tentu, Ibu."
Langit mulai penuh mendung gelap menutupi desa di lereng gunung Ida.
Cerita tentang pengembala emas menyebar ke beberapa wilayah sekitar gunung Ida.
Pedagang dari luar wilayah, beberapa kali datang ke desa di lereng gunung Ida, entah memastikan kebenaran cerita atau hanya ingin bertemu dengan penggembala emas.
Beberapa bangsawan juga kerap datang berkunjung, mereka hendak membawa penggembala emas ke wilayah mereka, walau dengan hasil penolakan dari si gembala.
Bahkan diknatier asing tertarik dengan cerita dari gunung Ida, tentang penggembala emas.
Sementara itu di istana megah Troya, kabar tentang sebuah desa yang menjadi pusat ekonomi dengan bantuan penggembala emas, terdengar sampai ke telinga sang raja.
"Apakah berita tersebut benar, " tanya Priam, seorang raja dari Troya kepada
Orang itu mengangguk pelan, "kami telah menyelidikinya terlebih dahulu, Yang Mulia. Kami membenarkan berita gembala emas dari gunung Ida, yang merubah desa yang awalnya miskin menjadi tempat yang kaya," jawabnya dengan suara mantap.
Raja menggaruk janggutnya, "baiklah, bawa dia kemari, jika dia menolak maka bersiaplah menjadi musuh dari Troya," katanya dengan lantang.
Orang tersebut menunduk hormat, "saya mengerti, Yang Mulia," jawabnya.
"Berangkatlah sekarang, dan bawa beberapa prajurit bersamamu."
"Laksanakan, Yang Mulia," jawabnya dengan lugas.
Orang itu kemudian meninggalkan ruangan, segera berangkat menuju gunung Ida.
Setelah beberapa langkah perjalanan dari Troya ke lereng gunung Ida.
Pembawa pesan Raja dari Troya, tiba di sebuah rumah setelah ia bertanya pada beberapa warga, dimana rumah si gembala emas.
Pembawa pesan berkata, "Raja Priam dari Troya mengundang semua para pemuda berprestasi untuk bergabung di pengadilan kerajaan."
Paris tersenyum, "saya merasa terhormat, tapi tempat saya di sini dengan segala kenangan indahnya," jawabnya.
Pembawa pesan kembali merayu, "tapi bakat seperti terbuang percuma di gunung ini."
Paris menunduk sedikit, "tidak ada bakat yang terbuang jika digunakan untuk menolong masyarakta."
"Maka bersiaplah menjadi musuh dari Troya, Anak muda," kata pembawa pesan dengan wajah merah, "ini penawaran terakhir kalinya, kamu mau ikut dengan kami atau tidak?"
Paris menggelengkan kepala, "maafkan saya, Tuan. Pilihan saya tetap sama," jawabnya dengan suara rendah.
Pembawa pesan itu meninggalkan Paris setelah ditolak, ia membawa sebuah perasaan yang akan menjadi bencana ke depannya.
Paris hanya menatap punggung pembawa pesan itu, senyum sedikit terlihat saat ia teringat kejadian barusan.
"Apa kubilang, kita tidak bisa menghindari takdir sebagai pangeran dari Troya," kata jiwa asli Paris dengan nada tinggi seorang pangeran.
Jiwa Alexander menatap jiwa itu, "itu bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. Kejadian hari ini membuktikan bahwa menghindari takdir adalah hal yang mustahil," ucapnya.
"Aku tidak setuju dengan kalian," bantah jiwa Direktur Utama, "jika takdir tidak bisa diubah, maka aku ada di sini?"
Kedua jiwa lainnya mendadak diam, seolah sebuah kepingan takdir mulai terlihat kemana arah dan tujuannya.
Malam hari menghentikan segala kegiatan warga lereng gunung Ida.
Di dalam rumah Agelaus.
Di bawah lentera redup, dua orang sedang duduk.
Agelaus berkata, "maafkan aku tahu siapa kamu sebenarnya, Paris. Sudah dari awal."
Ia merasa harus jujur pada putranya setelah kejadian saat pembawa pesan dari Troya datang.
Paris tidak terkejut dengan perkataan ayahnya, "aku juga sudah tahu, Ayah. Tapi itu tidak akan merubah apapun."
Agelaus menatap putranya dengan wajah heran, "kamu... kamu tidak marah padaku?"
Paris menggerakkan kepala pelan, "kenapa harus marah? Kamu menyelamatkan hidupku. Kamu memberiku sebuah keluarga yang nyata selama ini."
Agelaus memeluk Paris dengan erat, "terima kasih, Anakku," katanya dengan mata merah seolah menahan air mata.
"Tidak masalah, Ayah," jawab Paris sembari membalas pelukan Agelaus.
Waktu berjalan dengan cepat, Paris yang kini berusia dua puluh lima tahun, dengan berbekal pengetahuan zaman modern milik Direktur Utama XQO Holdings.
Dia mulai merevolusi ekonomi dari desanya, Paris mulai memperkenalkan pengembangbiakan ternak dengan cara baru, yaitu membuat kandang baru agar nyaman, memberikan makanan yang baik, dan lain-lain.
Di sisi perdagangan, ia juga membuat sebuah rute perdangan baru, yang bisa membuat perjalanan dagang lebih singkat dari rute lama.
Tak lupa, ia memeperkenalkan pada para warga desa sebuah teknik pertanian modern, yang mungkin terlihat asing bagi mereka.
Dengan metode-metode yang Paris ajarkan, nama desa di lereng gunung Ida tersebar ke seluruh penjuru negeri.
Sementara desa gunung Ida semakin terkenal, kisah lain datang dari sekitar Troya, dua sosok tengah berdiri santai di puncak gunung Lyrnessus.
"Lihatlah musuh kita di seberang lautan aegea," kata sosok dengan mata kanan jingga cerah, "mereka selalu menindas, menjarah harta, dan semua yang bisa diambil."
Sosok dengan ekor tujuh putih mengangguk ringan, "kau benar, Kak. Kita adalah korban dari raja-raja tamak itu," katanya dengan tangan kiri tergenggam erat.
"Tenanglah Lys," ucap sosok dengan mata kiri biru laut, "kekuasaan mereka tidak akan bertahan lama. Saat itu tiba, kita akan mengambil kepala mereka."
Mata penuh pesona dari sosok dengan ekor tujuh kini menatap tenang sosok yang lain, kakaknya.
Ia melepaskan kembali perasaan emosi sesaat, "aku mengerti, Kak," katanya.
Kisah kembali ke lereng gunung Ida, Pohon-pohon cemara tumbuh miring, seolah dipaksa membungkuk oleh angin utara yang tak pernah lelah.
Rumput liar dan bunga pegunungan mencuat dari sela bebatuan, mencuri cahaya dari langit mendung.
Burung elang melintas di atas, mengepakkan sayapnya di atas ladang miring yang tak pernah diam.
Helai rambut sosok pemuda membaur antara terang dan gelap, seperti langit senja yang belum memilih malam atau pagi.
Paris duduk bersila di depan pohon zaitun, tangannya menggenggam tongkat gembala yang sudah aus. Matanya terpejam, tenggelam dalam meditasi pagi, ketika keheningan aneh menyelimuti hutan.
Burung-burung berhenti berkicau, dan udara terasa berat.
Ia membuka mata, waspada, saat cahaya keemasan dari pohon zaitun membentuk sosok wanita. Jubah putihnya mengalir seperti air, sederhana namun memancarkan keagungan yang tak terbantahkan. Kain hitam menutup matanya, tetapi Paris merasa tatapannya menembus hingga ke tulang-tulangnya.
"Paris, putra Thalia," suara Themis bergema, bukan di udara, melainkan di dalam kepala Paris, seperti bisikan dari abad-abad lampau.
"Aku Themis, penjaga keadilan, penimbang takdir. Kau telah dipilih."
Paris bangkit perlahan, tangan kanannya mencengkeram tongkat lebih erat.
"Dipilih?" tanyanya, nada sarkastiknya tajam seperti pisau.
"Maaf, Bibi, tapi aku bukan tipe yang suka dipanggil-panggil dewa tanpa agenda jelas. Apa maumu? Dan jangan bilang ini cuma soal keadilan, karena dewa-dewa kalian biasanya punya motif lain."
Di dalam pikirannya, jiwa Direktur Utama berbisik, "Ini bau jebakan. Kita pernah hadapi negosiator licik di ruang rapat ini level Olympus."
Jiwa Paris asli menyahut, "Tapi jika ini panggilan untuk menyelamatkan, kita bisa jadi pahlawan!"
Jiwa Alexander menggerutu, "Pahlawan? Aku cuma ingin domba-domba kita aman dan Thalia masak sup lagi malam ini."
Themis tidak bergerak, tetapi senyum tipisnya dingin, seperti marmer yang dipahat oleh waktu.
"Kau berbicara dengan keberanian manusia yang telah melihat dunia lain, Paris. Tapi ketahuilah, sembilan naga dari masa lalumu kini bangkit di dunia ini, tersembunyi dalam wujud artefak, kekuatan, atau musuh. Tiga di antaranya harus kau temukan: satu di kuil yang ditinggalkan oleh dewa yang terlupa, satu di laut yang menelan kapal, dan satu di tangan musuh yang kau belum kenali."
Paris tertawa kecil, tapi matanya tajam.
"Sembilan naga? Kau tahu masa laluku? Baik, katakan aku percaya cerita tentang naga dan artefak itu. Kenapa aku? Aku cuma gembala yang kebetulan punya otak lebih dari domba-dombaku. Suruh Zeus atau Apollo yang cari barang-barang itu. Mereka kan suka main-main dengan manusia."
Namun di dalam jiwa terdalam Direktur Utama tertawa keras, sembilan naga? Semua warga Indonesia tahu apa itu sembilan naga!? Dan mereka bukanlah dewa!?
Ia tahu namun membiarkan Themis meneruskan omong kosongnya lebih menyenangkan.
Udara di sekitar gua mendingin, dan daun-daun di pohon zaitun bergetar pelan. Themis mengangkat tangan, dan angin seolah berhenti sepenuhnya.
"Kau bukan sekadar gembala, Paris."
Paris melangkah mundur, tongkatnya mengetuk tanah.
"Beri aku alasan kenapa aku harus percaya padamu, Themis. Apa ini cuma permainan dewa lain untuk memanfaatkan manusia lagi?"
Di dalam pikirannya, jiwa Direktur Utama berkata, "Dia sembunyikan sesuatu. Kita perlu jaminan, atau kita harus melarikan diri."
Jiwa Paris asli menambahkan, "Tapi jika ini terkait Troya, kita tidak bisa abaikan dia."
Jiwa Alexander mengeluh, "Kenapa kita tidak bisa hidup damai saja? Thalia akan khawatir kalau aku pergi terlalu jauh."
Themis menurunkan tangan, dan tekanan di udara mereda.
"Kau bijaksana untuk curiga, Paris. Tapi ketahuilah, keadilan tidak memihak, dan aku tidak di sini untuk menipu. Sembilan naga, dalam wujud baru, mengancam keseimbangan dunia ini. Jika kau gagal, desamu, Thalia, Agelaus, semuanya akan hancur. Aku menawarkan tiga hadiah untuk membantu misimu."
Tiga kilatan cahaya muncul di udara:
Cahaya perak melilit tubuh Paris, memberikan perlindungan ilahi yang membuatnya merasa lebih kuat, namun tidak tak terkalahkan.
Cahaya emas menyentuh matanya, seperti membuka tabir, memberinya penglihatan untuk menembus ilusi ilahi.
Cahaya biru mengalir ke tenggorokannya, seolah membuka lidahnya untuk segala bahasa.
Udara di sekeliling Paris bergetar pelan saat Themis mengangkat tangannya, jemarinya seperti menari di atas benang tak terlihat.
Dari tubuh Paris, tiga cahaya berkilau melesat keluar perak, biru, dan emas melingkar di udara, lalu menyatu, membentuk siluet tajam sebuah pedang yang perlahan memadat menjadi logam berkilau.
Angin berhenti bergerak. Langit menggantung sejenak.
"Pedang ini..." suara Themis bergema lembut namun tak terbantahkan, "lahir dari jiwamu sendiri."
Cahaya pedang itu kini melayang di hadapan Paris, tajam, panjang, dan berpendar seperti cahaya matahari lewat kabut pagi.
"Namanya adalah Justice," lanjut sang Titan, matanya menatap dalam, "senjata yang hanya akan sekuat kebenaran di tanganmu."
Paris menelan ludah. "Kalau aku salah jalan...?"
Themis tersenyum samar.
"Ia akan tahu. Dan kau akan merasakannya."
Paris menangkap pedang itu, dia memandang Themis, matanya menyipit.
"Hadiah yang bagus, tapi aku bukan anak kecil yang bisa dibujuk dengan hadiah. Apa untungnya buatku? Dan apa jaminan desaku aman kalau aku pergi? Aku tidak akan tinggalkan Thalia dan Agelaus untuk permainan dewa yang tidak jelas ini."
Themis mengangguk, kain hitam di matanya seolah memancarkan kebijaksanaan abadi.
"Keadilan menuntut pengorbanan, Paris. Aku jamin desamu akan dilindungi oleh berkahku selama kau menjalankan misi ini. Tapi kau harus bergerak dalam tujuh hari. Jika tidak, bayang-bayang sembilan naga akan menemukanmu lebih dulu."
Paris diam sejenak, tiga jiwanya kini bergulat.
Jiwa Direktur Utama menghitung risiko.
"Ini seperti investasi berisiko tinggi. Kita bisa kalah besar, tapi hadiahnya mungkin sepadan."
Jiwa Paris asli berbisik, "Ini kesempatan kita untuk membuktikan diri sebagai pangeran Troya."
Jiwa Alexander menghela napas, "Tapi kalau kita gagal, Thalia akan patah hati dan kita juga mati."
Akhirnya, Paris menatap Themis, suaranya tegas tapi penuh keraguan.
"Aku tidak bilang aku percaya padamu, Themis. Tapi kalau ini soal melindungi desaku, aku akan pikirkan. Beri aku waktu tujuh hari untuk bersiap dan ucapkan selamat tinggal. Dan kalau ini jebakan, kau akan menyesal mengganggu gembala dari gunung Ida."
Themis tersenyum tipis, auranya seperti angin yang membelai namun mengancam.
"Tujuh hari, Paris. Tapi ingat: takdir tidak menunggu, dan sembilan naga tidak akan diam. Carilah kuil yang ditinggalkan di utara, di mana bayang-bayang dewa masih berbisik. Di sanalah perjalananmu dimulai."
Cahaya keemasan memudar, dan Themis lenyap, menyisakan aroma bunga zaitun dan keheningan yang menyesakkan.
Paris memegang tongkat gembalanya, jantungnya berdegup kencang.
"Baiklah," gumamnya, "tapi kalau ini cuma drama dewa, aku akan cari cara untuk menang sendiri."
Di dalam pikirannya, jiwa Direktur Utama berkata, "Kita perlu rencana cadangan. Dewi ini tidak bisa dipercaya."
Jiwa Paris asli menyahut, "Tapi ini takdir kita."
Jiwa Alexander mengeluh pelan, "Aku cuma ingin pulang ke ibu dan hidup tenang di rumah."
Hening.
Paris jatuh terduduk di tanah berlumut, kakinya lemas seolah beban dunia menimpa bahunya. Nafasnya berat, matanya kosong menatap kegelapan hutan.
Baru kali ini sejak reinkarnasi ia benar-benar merasakan apa itu takut, bukan takut mati, tapi takut gagal, takut mengecewakan mereka yang mempercayainya.
Di kejauhan, kabut bergulung di antara pepohonan. Paris menutup mata, mendengar gema janjinya sendiri. Dalam tujuh hari, hidupnya yang lama akan berakhir.
Dan ia belum tahu seperti apa dirinya yang akan kembali.
Kabut tipis turun dari puncak gunung ketika Paris melangkah menuruni jalan berbatu. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah itu sendiri enggan melepaskannya.
Seminggu hanya itu waktu yang ia punya untuk merapikan hidupnya, sebelum dunia menuntutnya pergi.
Di desa, kehidupan berjalan seperti biasa, anak-anak menggiring domba ke padang, para perempuan menjemur kain, dan asap tipis naik dari tungku rumah.
Tapi di mata Paris, semuanya tampak lebih rapuh, lebih fana. Ia tahu, bila ia gagal, semua tawa itu bisa hilang selamanya.
Hari-harinya segera dipenuhi urusan. Dengan pikiran jernih jiwa sang Direktur Utama yang hidup dalam dirinya, ia menyusun rencana terperinci.
Para pemuda desa dikumpulkan di balai kayu, dan Paris melatih mereka bukan hanya cara mengangkat tombak, tetapi juga bagaimana berpikir cepat, membaca tanda bahaya, dan membunyikan tanduk jika musuh mendekat.
Untuk tanah pertanian, ia menuliskan instruksi detail di papan kayu, kapan menanam jelai, kapan memanen gandum, cara mengatur irigasi jika hujan tak turun. Ia bahkan menandatangani kontrak dengan pedagang dari lembah, memastikan hasil panen desa akan tetap mengalir ke pasar, meski ia tak lagi ada untuk menegosiasikan harga.
"Dengan ini," katanya pada tetua desa yang berambut putih, "kalian tak hanya akan bertahan, tapi berkembang."
Tetua menatapnya dengan dahi berkerut.
"Kau yakin dengan perjalanan ini, Paris? Desa ini membutuhkanmu. Kau adalah tiang penyangga kami."
Paris menahan napas. Ada luka dalam setiap kata yang keluar.
"Desa akan baik-baik saja. Aku sudah melatih kalian. Tapi bila aku tidak berangkat, tidak akan ada desa untuk kembali."
Suaranya pelan, tapi mantap, seperti pedang yang sudah ditempa api.
Di rumah, Agelaus menunggu. Lelaki tua itu duduk di kursi kayu, wajahnya keras namun matanya berkaca-kaca.
"Aku sudah tahu hari ini akan tiba," katanya, suaranya serak seperti kayu kering. "Sejak pertama kali aku melihatmu, aku tahu kau ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar, Anakku."
Paris berlutut di depannya, tangan menggenggam lengan ayah angkatnya.
"Ayah… semua yang ada padaku, semua yang baik dalam diriku, berasal darimu dan Ibu."
Agelaus tersenyum samar, meski garis kesedihan terukir jelas di wajahnya.
"Dan semua yang kau inginkan adalah pilihanmu sendiri. Buat kami bangga, Paris."
Thalia, ibunya, menaruh tangan hangat di bahu Paris. Matanya tidak menangis, ia terlalu kuat untuk itu, tapi senyum lembutnya justru lebih menyayat.
"Ingatlah selalu kau putra kami. Tidak peduli gelar atau kekuatan apa yang kelak kau peroleh. Perlakukan orang lain dengan kebaikan yang sama seperti yang kau pelajari di sini. Dan selalu…" suaranya bergetar, "ingat untuk pulang."
Kata pulang itu menancap di dada Paris lebih tajam dari pedang mana pun.
Di tepi hutan, Oenone menunggunya. Rambut hitam nymph itu jatuh menutupi wajahnya ketika ia menunduk, lalu mengangkat kepala dengan mata berkilat.
"Alexander… aku bisa membantumu. Sihirku, pengetahuanku tentang dunia ilahi, kau tidak harus menanggung semua ini sendirian."
Paris menatapnya lama, mendengar bisikan lembut jiwanya sendiri, ingin sekali berkata ya. Tapi ia tahu. Ia menggenggam tangannya.
"Aku tahu, Oenone. Tapi perjalanan ini… tentang aku menemukan siapa diriku yang sebenarnya. Aku tak bisa melakukannya bila ada orang lain yang melindungiku."
Air mata berkilat di mata Oenone. "Kalau begitu berjanjilah. Berjanjilah kau akan berhati-hati. Dan… kau akan kembali padaku."
Paris menelan pahit di tenggorokannya.
"Aku berjanji akan mencoba keduanya, Oenone."
Ia tahu kata mencoba bukanlah jaminan. Tapi itu satu-satunya janji jujur yang bisa ia berikan.
Hutan suci itu sunyi kecuali suara daun yang bergetar lirih, seolah pepohonan sendiri sedang menahan napas. Cahaya bulan menetes di sela cabang, memandikan tanah dengan perak pucat. Di tengah lingkaran batu berlumut, Paris berlutut. Tubuhnya lemah oleh tiga hari puasa, namun matanya jernih, memantulkan bara kecil yang tetap menyala di dalam dirinya.
Para pemandu spiritual duduk mengelilinginya, wajah mereka tersembunyi di balik topeng kayu berhias simbol matahari dan bulan. Dengan suara serempak, mereka melantunkan mantra purba. Suara itu rendah, dalam, bergetar, membuat udara di hutan terasa berat.
Roh-roh alam menjawab, hembusan angin berputar, cahaya kunang-kunang menari, dan jauh di atas, seekor burung hantu menjeritkan sapaan. Paris merasakan dirinya direngkuh, dipeluk, dan diuji oleh dunia tak kasat mata.
Air dari mata air suci dituangkan di kepalanya. Dingin menusuk tulang, namun rasa itu membersihkan.
"Sekarang kau kosong," kata salah satu pemandu, suaranya serak bagai bebatuan yang bergesekan.
"Kosong agar cahaya bisa masuk, dan gelap bisa dikenali."
Setelah ritual pemurnian, hari-hari berikutnya dipenuhi persiapan. Di bawah bimbingan para tetua, Paris menempuh latihan fisik, lari menembus kabut hutan, menebas batang bambu dengan pedang kayu, menahan napas dalam arus sungai.
Tubuhnya terbakar, paru-parunya seakan meledak, namun setiap keringat yang jatuh adalah janji bahwa ia tak akan runtuh di tengah jalan.
Meditasi menyusul. Paris duduk diam berjam-jam di bawah pohon beringin tua, menutup mata, mendengarkan denyut jantung bumi.
Sesekali bisikan asing mencoba merasuk pikirannya, janji kekuasaan, bayangan kejatuhan, namun ia belajar membiarkan semuanya lewat, tanpa melekat.
"Pegang tanah," bisik tetua, menaruh segenggam tanah gunung di telapak tangannya. "Ini rumahmu. Ketika langit berusaha mencuri pikiranmu, ingatlah bau ini."
Perlahan, peralatan untuk perjalanannya terkumpul. Tongkat gembala miliknya, dulu sekadar kayu sederhana untuk menggiring ternak, diberkati dengan api dan air, diukir ulang dengan simbol matahari.
Kini, ia memancarkan cahaya lembut, senjata sekaligus penuntun jalan. Sebuah jubah diberikan kepadanya, ditenun dari benang yang diwarnai dengan musim: hangat di salju, sejuk di terik, selalu mengikuti perubahan dunia.
Ada juga cincin kecil dari batu hitam yang disematkan di jarinya, cincin memori.
Terakhir, sebuah kantong kecil berisi tanah dari gunung kelahirannya. Ia mencium aromanya, basah, segar, akrab. Simbol bahwa ia selalu membawa rumah bersamanya.
Malam sebelum keberangkatan, tidur Paris dipenuhi penglihatan. Ia melihat pasir tak berujung, badai gurun yang menelan karavan.
Pegunungan es menjulang, di mana suara-suara aneh memanggil dari balik jurang. Kota-kota keemasan berkilauan, tapi bayangan besar menjatuhkan tirai gelap di atasnya. Dan di antara semua itu, wajah-wajah samar menantinya, musuh, sekutu, atau keduanya, ia tak tahu.
Ia terbangun menjelang fajar, tubuhnya masih bergetar oleh mimpi. Tak ada ketakutan, hanya kesadaran bahwa jalan ini lebih berat dari yang ia bayangkan.
Paris berdiri, meraih tongkatnya. Hutan sunyi, kabut tebal menutup jalan, tapi ia tahu, langkah pertama sudah di depan mata.
Saat matahari menembus garis pepohonan, ia melangkah ke timur, pagi itu menandai awal dari petualangan terbesar dalam hidupnya.
Fajar baru saja merangkak di ufuk timur, kabut tipis masih menggantung rendah di atas atap jerami.
Alun-alun desa dipenuhi orang, meski ayam jantan belum lama berkokok. Tidak ada yang ingin melewatkan peristiwa ini, kepergian Paris, putra desa yang kini harus menempuh jalan yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri.
Warga desa berdiri dalam lingkaran rapat, wajah-wajah mereka diterangi oleh cahaya pertama pagi.
Paris melihat mereka satu per satu, menyadari betapa ia pernah menjadi bagian dari tiap kehidupan di sana, membantu seorang ibu mengangkat kendi air, menuntun ternak yang lepas, menertawakan lelucon sederhana di musim panen. Kini semua kenangan itu menumpuk menjadi satu rasa berat di dadanya.
Anak-anak gembala maju bergantian, tangan mungil mereka menggenggam hadiah sederhana: sebuah batu keberuntungan yang mereka yakini bisa menolak nasib buruk, ukiran kayu berbentuk domba, gambar kasar yang dilukis dengan arang.
Hadiah-hadiah itu kecil, namun bagi Paris terasa lebih berharga daripada emas. Ia menunduk, menerima setiap pemberian dengan senyum getir, lalu meremas jemari kecil mereka seolah berjanji akan pulang.
Tetua desa maju, tongkat kayu tua menjejak tanah berbatu. Suaranya bergetar tapi penuh wibawa, melafalkan doa lama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kata-kata itu bukan sekadar mantra perlindungan; setiap suku kata memanggil roh leluhur untuk menjaga langkah Paris. Hening menyelimuti alun-alun. Bahkan angin seolah berhenti mendengar.
Agelaus dan Thalia menunggu di pinggir lingkaran. Paris menghampiri, dan tak ada kata yang terucap di antara mereka. Hanya pelukan erat, mata yang basah, dan napas yang tercekat. Cinta yang sederhana namun seumur hidupnya akan ia bawa.
Saat ia mulai melangkah meninggalkan desa, kabut menelan kakinya. Dari balik pepohonan, Oenone muncul, wajahnya pucat namun penuh ketabahan. Tanpa berkata banyak, ia menyematkan liontin perak di leher Paris.
"Ia akan bersinar ketika bahaya mengintaimu," bisiknya, jemarinya bergetar saat menyentuh kulitnya yang hangat.
Paris tidak menoleh lagi ketika ia melewati batas desa. Bukan karena hatinya dingin, melainkan karena satu lirikan saja akan membuat tekadnya runtuh. Kabut pagi menutupinya perlahan, menelan sosoknya dari pandangan orang-orang yang mencintainya.
Dalam keheningan yang mengikuti, hanya batinnya yang berbicara. Tiga suara dalam dirinya, pangeran, saudagar, dan pecinta, akhirnya selaras dalam satu janji.
"Aku akan kembali. Tapi saat aku kembali, aku bukan lagi Paris yang sama. Aku akan pulang sebagai seorang pria yang pantas menerima semua cinta yang pernah kalian berikan padaku."
Dia terus berjalan ke depan, tanpa tahu apa yang akan menanti.
To be continued.