Ficool

Chapter 6 - Bab 6 – Luka di Balik Senyum

Langit Thural pagi itu cerah, seolah tak tahu bahwa di balik tembok kota, sebuah desa telah menjadi abu. Jalanan penuh pedagang kecil yang menawarkan buah busuk, roti keras, dan logam bekas. Tapi mata Jainal tak tertarik pada barang dagangan.

Ia mengamati orang-orang.

Bersama anak yang kini lebih sering menggenggam tangannya, Jainal berjalan perlahan di sepanjang pasar. Jubah mereka sederhana, tak mencolok. Anak itu mengenakan pakaian biara yang sedikit kebesaran, wajahnya separuh tertutup kain untuk melindungi dari debu.

“Lihat itu,” bisik seorang wanita tua ke rekannya. “Anak itu salah satu korban dari utara, ya?”

“Bukan urusan kita,” jawab si rekannya sambil menunduk. “Kalau kita ikut campur, bisa ikut terbakar.”

Kalimat itu membuat Jainal menatap tajam, meski wajahnya tetap tenang. Ia mencatat: warga tahu lebih dari yang mereka katakan.

---

Mereka berhenti di sebuah kios kecil yang menjual ukiran kayu. Pemiliknya adalah lelaki setengah baya dengan janggut kelabu dan senyum yang terlalu ramah untuk kota yang penuh abu.

“Ukiran ini kubuat dari kayu tua di Pegunungan Timur,” katanya sambil menunjukkan figur naga kecil.

“Pegunungan Timur?” tanya Jainal ringan. “Tak banyak orang berani ke sana sekarang.”

“Oh, saya tidak ke sana langsung,” jawab si penjual. “Barang-barang itu... dikirim oleh orang-orang yang tak suka ditanya.”

Senyumnya tidak berubah, tapi matanya kehilangan sinar. Seperti orang yang pernah melihat sesuatu dan memilih berpura-pura lupa.

“Beberapa bulan lalu, orang-orang berseragam datang. Mereka tak membeli apa pun, hanya memberi satu peringatan.”

Jainal tak bertanya, tapi diam menunggu. Si penjual melanjutkan, lirih.

“Mereka bilang, ‘Kalau kau dengar suara mesin di malam hari... diam saja.’”

---

Setelah membeli sebuah ukiran kecil berbentuk burung untuk sang anak, Jainal berjalan menjauh. Mereka duduk di tepi air mancur tua yang nyaris kering. Anak itu memandangi burung kayu di tangannya.

“Aku... punya burung seperti ini dulu,” gumamnya pelan.

Jainal menoleh. Itu suara pertamanya sejak dua hari lalu.

“Namanya Kika. Ayah membuatnya sebelum dia...”

Kalimatnya menggantung di udara. Tapi bagi Jainal, itu cukup.

> Anak ini mulai membuka luka. Dan dari luka itu, akan lahir kekuatan—atau kehancuran.

---

Malam itu di biara, suasana hening. Anak-anak lain tidur pulas, tapi Jainal duduk di samping jendela dengan jurnal di pangkuan.

Ia mencatat:

“Warga mengenal suara mesin malam hari, kemungkinan magitek berat.”

“Pegunungan Timur terhubung dengan aktivitas tak dikenal, disensor oleh kekuatan militer.”

“Ukiran kayu dijadikan alat komunikasi visual—mungkin pesan tersembunyi.”

Lalu, ia melihat burung kayu yang dibeli tadi. Di bagian bawahnya ada ukiran kecil, nyaris tak terlihat:

7R-ET-13

Tiga huruf. Tujuh Roda. Eastern Track. Nomor peti?

Jainal memejamkan mata, menyusun peta di benaknya. Jika benar, ini bukan sekadar ukiran. Ini penanda jalur pengiriman—kode rahasia untuk para penghubung yang tidak ingin ketahuan.

---

Sebelum tidur, anak itu menghampirinya.

“Terima kasih... untuk Kika.”

Suara lirih itu disusul senyuman kecil. Tapi mata anak itu tetap menyimpan bayangan.

Jainal mengangguk. “Simpan baik-baik. Dia akan tunjukkan jalan.”

“Seperti Ayah?”

“Seperti harapan.”

Malam itu, angin yang berembus membawa bau bunga biara yang mulai mekar. Tapi di kejauhan, di arah timur, samar-samar terdengar... denting logam dan suara mesin berdetak.

More Chapters