Ficool

Chapter 5 - Bab 5: Di Antara Pedagang dan Tentara

Keesokan harinya, Jainal berdiri di antrean penyortiran logistik di pintu masuk barat kota Thural. Di punggungnya tergantung kantong besar berisi besi tua dan kabel magitek bekas. Ia menyamar sebagai pemulung—salah satu dari ratusan pekerja lepas yang hidup dari sisa perang dan reruntuhan teknologi.

Wajahnya tersembunyi di balik kain debu, dan jubahnya diganti dengan rompi kasar. Di dunia bawah, informasi terbaik tak bisa dibeli dengan koin emas, melainkan dengan waktu dan penyamaran yang sabar.

> “Pemulung, kirim ke gudang timur. Pedagang logam, barat. Yang nggak punya surat kerja, keluar.”

Petugas militer bersenjata magitek berdiri dengan wajah lelah. Mereka tidak mencari musuh, hanya menjaga keteraturan. Tapi Jainal melihatnya berbeda: tatanan buatan yang menekan rakyat agar tetap diam, tunduk, dan pasrah menerima keadaan.

---

Di dalam gudang barat, para pekerja sibuk memilah potongan-potongan mesin, alat tempur rusak, bahkan pecahan armor magitek. Jainal mendekati seorang pria tua bertubuh kurus yang tengah membakar lempeng logam dengan api sihir.

> “Apa barang-barang dari luar kota juga masuk ke sini?” tanya Jainal.

“Dari mana aja, Nak. Dari ladang perang, desa mati, reruntuhan markas. Asal nggak nempel mayat, semua bisa dijual.”

Jainal membantu tanpa banyak bicara, sambil mengamati. Di pojok, ada peti-peti besar bertanda lambang Tujuh Roda—gilda dagang yang katanya netral, tapi punya jaringan di semua belahan konflik. Peti-peti itu dijaga ketat oleh tentara bayaran, bukan pasukan resmi.

> “Gilda itu... pedagang atau kaki tangan?” gumam Jainal dalam hati.

---

Saat sore menjelang, ia menyelinap ke belakang gudang, menyusuri koridor servis menuju ruang data. Di sana, ia melihat papan pengiriman. Nama-nama daerah terpampang: Thural – Pegunungan Timur, Thural – Kota Felkas, Thural – Karsel(dicoret dengan tinta merah).

Beberapa catatan di bawahnya menarik perhatian:

> “Prioritas tinggi – senyawa pendingin – klasifikasi S – jangan diperiksa”

“Transfer ke laboratorium utama. Jalur langsung. Hanya pengantar bersertifikat.”

Jainal menyimpan catatan visual itu dalam ingatannya. Jika ia ingin mengetahui siapa yang membakar Karsel, ia harus mengikuti aliran barang. Dan untuk itu, ia harus menyusup lebih dalam—bukan hanya ke gudang, tapi ke dalam sistem.

---

Malam itu, ia kembali ke biara. Anak itu menyambutnya dengan diam, tapi duduk lebih dekat dari biasanya. Mereka makan bubur hangat dalam sunyi, lalu berbagi selimut tipis di bawah cahaya lentera kecil.

> “Kita tidak punya rumah,” kata Jainal pelan. “Tapi selama kita masih hidup, kita bisa memilih ke mana kaki melangkah.”

Anak itu tidak menjawab. Tapi ia mengangguk—pelan, ragu, tapi sadar.

More Chapters