Setelah membantu menarik kabel, Fahrul berjalan ke arah dapur kecil di belakang tenda. Bau harum menyeruak — bau nasi, sambal, dan wajan panas.
Di sana, ia melihat ibu-ibu sibuk: ada yang memotong cabai, ada yang mengaduk sayur di kuali besar, ada yang menata kotak nasi. Semuanya dengan mata agak sembab, kantuk masih menempel di wajah mereka.
"Assalamualaikum, Bu…" sapa Fahrul pelan.
Salah satu ibu, berkerudung biru, menoleh sambil tersenyum. "Waalaikumsalam. Wah, ini anak panitia juga, ya?"
Fahrul mengangguk canggung. "Iya, Bu. Baru bantu-bantu tadi. Ibu-ibu dari jam berapa di sini?"
Ibu itu tertawa kecil. "Dari jam sebelas malam, Nak. Kalau nggak siap dari semalam, nanti pagi nggak sempat apa-apa. Biasa, emak-emak harus gerak duluan."
Fahrul tersenyum, kagum dalam hati. Ia melihat seorang ibu lain — mungkin seumur ibunya sendiri — sibuk membungkus nasi kotak sambil sesekali memijat pundaknya sendiri. Ada juga ibu muda yang menggendong anak kecil sambil mengaduk sayur.
Suara HT terdengar lagi dari kejauhan, memanggil Fahrul. Sebelum beranjak, ia sempat berkata pelan, "Terima kasih, ya, Bu. Sudah capek-capek bantu."
Ibu itu tersenyum lebar. "Yang penting acaranya sukses, Nak. Kita semua ikut senang."
Saat Fahrul berjalan kembali ke tenda utama, hatinya terasa penuh. Ia baru sadar: acara ini bukan hanya milik panitia atau tamu penting, tapi milik semua orang di sini — termasuk para ibu yang rela begadang demi melihat anak-anak mereka bahagia.