Malam itu, langit tidak sekadar gelap—ia retak.
Cahaya oranye mengoyak malam, menukik liar ke bumi dengan suara raungan yang mengguncang dunia. Meteor itu—yang kelak disebut Punctum Dimensio—jatuh bukan sekadar membawa kehancuran, tapi membuka pintu-pintu dunia yang selama ini tersembunyi. Dimensi demi dimensi bertabrakan, dan perang pun dimulai bahkan sebelum manusia sempat bertanya: kenapa?
Pertempuran terjadi bukan antara negara, tapi antara realitas. Ras-ras asing bermunculan, teknologi dan sihir beradu dalam ledakan yang tak dikenal sejarah. Tapi seperti semua perang, akhirnya hanya menyisakan abu.
Dari abu itu, dibangun sebuah dunia yang disebut "baru"—dengan janji perdamaian dan keadilan. Tapi itu hanya untuk mereka yang tinggal di dunia atas: tempat gedung tinggi mencakar langit, tempat hukum bisa dibeli, dan cahaya tak pernah padam.
Sedangkan sisanya... dibuang ke bawah.
Di dunia bawah, matahari hanya sesekali menembus celah bangunan runtuh. Bau besi dan peluh jadi keseharian. Orang-orang hidup bukan karena harapan, tapi karena kebiasaan untuk bertahan. Tak ada yang peduli pada mimpi di sana—kecuali tiga anak yang tumbuh bersama, saling mengandalkan tanpa pernah menyebutnya sebagai kasih sayang.
Yzucska, bocah dengan senapan lebih tinggi dari tubuhnya. Ia jarang bicara, lebih sering mengukur dunia dengan pandangan yang terlalu tajam untuk usianya.
Dimas, pewaris darah Solvaria. Sayapnya tumbuh di usia sepuluh, dan sejak itu, ia belajar menahan ejekan dan batu lebih dulu sebelum bisa belajar terbang.
Kael, anak laki-laki yang tak pernah menangis walau tidur di lantai beton. Ia membawa pedang kutukan yang beratnya melampaui tubuhnya.
Suatu hari, seseorang dari dunia atas turun ke bawah. Petugas keamanan. Seharusnya dia mengawasi, memukul, atau minimal memaki. Tapi pria itu berbeda. Ia datang bukan dengan senjata, tapi dengan tangan kosong dan mata lelah.
Mereka akhirnya dipertemukan oleh petugas tersebut. Bersatu karena sama-sama tak punya tempat. Tak pernah ada ikatan darah, tapi ada sesuatu yang lebih kuat: pilihan untuk tidak meninggalkan.
Orang baik itu tidak banyak bicara, tapi hadir. Ia tak mengubah dunia, tapi mengubah mereka.
Yzucska belajar membidik bukan untuk membunuh, tapi untuk melindungi.
Dimas belajar terbang bukan untuk melarikan diri, tapi untuk melampaui batas yang orang lain tentukan.
Kael belajar bahwa diam bukan berarti tak bisa bersuara.
Pria itu tak pernah menyebut namanya. Tapi bagi mereka, ia adalah rumah pertama yang pernah mereka kenal.
Hingga suatu pagi, ia menghilang. Begitu saja.
Tak ada jejak. Tak ada peringatan. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi.
Dunia bawah hanya bisa menebak: mungkin ia dibunuh. Mungkin ia kembali ke atas dan dilenyapkan karena dianggap mengkhianat.
Tapi mereka—tiga anak itu—tidak percaya pria itu hilang tanpa alasan. Dan di situlah segalanya berubah.
Malam itu, di atas atap gedung tua yang nyaris roboh, mereka duduk bertiga. Langit seperti menyisakan luka yang belum sembuh. Angin berhembus dingin, membawa bisik yang tak mereka pahami, tapi mereka tahu artinya: waktunya telah tiba.
"Aku akan mengubah dunia ini," bisik Yzucska, suaranya pelan tapi penuh arah.
"Aku akan membuat dunia bawah bisa melihat matahari," ucap Dimas, menatap ke langit yang seperti selalu menolak sayapnya.
Kael tidak berkata apa pun. Ia hanya menancapkan pedangnya ke lantai atap, duduk bersila, dan mengangguk pelan. Itu cukup. Teman-temannya tahu artinya.
Mereka tak punya rencana besar. Tak ada pasukan. Hanya rasa kehilangan, amarah yang terkubur, dan mimpi kecil yang tak pernah mati.
Mereka bukan pahlawan.
Mereka hanya tiga anak yang terlalu keras kepala untuk menyerah. Terlalu percaya bahwa kebenaran tidak selamanya bisa dikubur. Dan terlalu mencintai satu sosok yang telah mengajari mereka apa arti hidup.
Apa pun yang terjadi, mereka akan mencari pria itu.
Menguak rahasia Punctum Dimensio, dan kenapa dunia dipecah menjadi dua.
Karena kebenaran, sesakit apa pun, selalu lebih baik daripada kebohongan yang dibungkus kemewahan.
Dan ketika mereka bergerak, langit pun kembali retak.