Ficool

Chapter 7 - Chapter 7 - Endless nine

Sunyi.

Gelap.

Hampa.

Itulah yang pertama kali dirasakan Licht. Seolah tubuh, pikiran, dan seluruh indranya telah dicabut dari dunia nyata. Ia melayang dalam kehampaan yang tak memiliki arah, tak memiliki dasar. Hanya kesunyian yang membelenggu, membatu, membekukan napas dan harapan.

Lalu—

Cahaya.

Sebuah kilau lembut menyeruak dari balik tubuhnya, samar namun nyata, menembus kehampaan seolah hendak mengingatkan bahwa ia belum sepenuhnya lenyap.

"Apa ini...?" pikirnya, matanya yang tak memiliki tempat untuk berpijak kini menatap langit tak berbentuk yang dihiasi... angka.

Angka sembilan.

Mengalir. Mengalir tanpa henti.

Ribuan, jutaan angka sembilan bergerak bagai hujan yang tak pernah reda, menari tanpa arah, menelannya dalam lautan absurditas. Licht mendapati dirinya duduk—atau lebih tepatnya terjebak—di tengah ruangan yang tak memiliki dinding, lantai, atau atap. Hanya kegelapan dan sembilan. Tak terhitung jumlahnya.

Kepalanya tertunduk.

Ekspresinya kosong.

Putus asa.

"Aku belum siap mati... Aku tidak ingin mati dengan penuh penyesalan..." bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun yang mungkin—atau tidak mungkin—mendengar.

Hatinya gemuruh. Kilasan wajah-wajah yang ia kenal melintas satu per satu—Marie, Lisshie, Kael, Minea... panti asuhan. Tempat yang selama ini menjadi satu-satunya rumah, satu-satunya pijakan, satu-satunya alasan untuk bertahan. Dan sekarang, semua itu terasa jauh. Terlalu jauh untuk disentuh kembali.

Air mata menetes perlahan, mengalir tanpa ia sadari. Mungkin karena duka. Mungkin karena hampa. Atau karena ia tahu, semua itu tak akan bisa ia ulangi lagi.

Tiba-tiba, sebuah tulisan mengambang di hadapannya. Tak bersuara, tapi jelas terbaca.

“Jangan menangis. Nine tidak ingin melihatmu menangis.”

Tulisan itu bersinar dalam warna putih keemasan, melayang lembut seperti debu bintang, lalu menghilang seakan tertiup angin.

Licht sontak terkejut. Tubuhnya bereaksi secara naluriah, tegang dan waspada. Siapa yang menulis itu? Suara siapa yang bicara lewat cahaya?

Namun sebelum sempat berpikir lebih jauh, tulisan berikutnya muncul kembali.

“Nine telah menunggumu…”

Matanya membesar. Pupilnya menyempit dalam kebingungan.

"A-apa ini...? I-ini bukan neraka?" pikirnya kalut, lalu berseru, sedikit panik.

“D-Di mana ini?!”

Tulisan keemasan itu kembali muncul, seolah sabar menjawab satu-satu.

“Bersama Nine.”

Lalu lenyap, menyisakan lebih banyak tanya daripada jawaban.

Licht menggeram pelan. “Apa maksudnya?” gumamnya. Pandangannya menyapu ruangan yang tak memiliki ujung, dinding, atau langit—hanya angka sembilan yang terus mengalir, mengurungnya dalam pola tak masuk akal.

"Seharusnya aku sudah mati..." pikirnya dengan getir.

Sepertinya logika tak berlaku di tempat ini.

Lalu, untuk ketiga kalinya, tulisan itu muncul.

“Nine ingin mengobrol denganmu lebih lama, tapi Nine tidak bisa berlama-lama.”

Licht mengernyit, alisnya terangkat. “Apa maksudmu? Kata-katamu… membuatku semakin bingung!” serunya, kini dengan nada frustrasi.

Kemudian, sesuatu berubah.

Di depan sana—sekitar beberapa meter dari tempatnya berdiri—sebuah pintu muncul. Tak mewah, tak rumit. Pintu kayu sederhana tanpa hiasan, berdiri begitu saja di tengah kehampaan.

Tak ada dinding, tapi pintu itu terlihat nyata.

Tulisan muncul lagi, seperti pemandu yang tak terlihat.

“Masuklah…”

Licht menggertakkan gigi. Banyak pertanyaan yang menggantung di kepalanya, tapi untuk alasan yang ia sendiri tak mengerti, ia memilih mempercayainya. Atau mungkin... ia hanya tak punya pilihan.

Perlahan ia melangkah menuju pintu itu. Setiap langkah terasa berat, seakan menentang logika dan gravitasi. Angka sembilan tetap mengalir, konstan, tak terganggu oleh kehadiran pintu itu.

Sesampainya di depan, Licht mengulurkan tangan dan menggenggam gagangnya. Ia menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya.

Gelap.

Sunyi.

Sembilan.

Ia menarik napas, lalu memutar gagang pintu.

Cahaya menyilaukan menerobos masuk, lebih terang dari apa pun yang pernah ia lihat. Kilau itu menarik tubuhnya—bukan sekadar membuka jalan, tapi seolah menyeretnya masuk. Saat tubuhnya tertelan cahaya, ia menyadari satu hal:

Ia tak mengenakan sehelai kain pun.

Licht memejamkan matanya saat tubuhnya perlahan tertarik oleh cahaya yang terpancar dari balik pintu itu. Tanpa sadar, dirinya tenggelam dalam sinar tersebut, dan saat ia membuka matanya kembali...

...yang terlihat adalah langit dan hamparan air jernih, memantulkan awan seperti cermin—seolah ada dua langit yang saling menatap satu sama lain. Sebuah dunia yang tak berujung. Langit tanpa batas, air tanpa tepi. Ia mengerutkan kening, terkejut... namun juga anehnya pasrah.

"Lagi-lagi seperti ini," keluhnya dalam hati. Sedikit terkejut namun untuk tidak mempermasalahkannya lebih jauh untuk sekarang.

Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat sebuah kursi tinggi berukir megah berdiri sendirian di atas permukaan air yang tak terbasahi. Kursi itu—dengan sandaran menjulang seperti milik seorang raja—terlihat asing namun megah. Licht belum pernah melihatnya secara langsung, hanya mengenalnya dari dongeng masa kecil atau ilustrasi dalam buku usang.

Dan di atas kursi itu... duduk seorang pria.

Rambut cokelat pria itu tergerai rapi, matanya merah menyala, tajam dan mengintimidasi. Jubah hitamnya panjang, menjuntai menyentuh permukaan air, namun tetap kering—melawan logika dunia. Dengan dagu ditopang tangan, kakinya menyilang santai, pria itu memandang Licht dengan sorot mata seolah menatap seekor serangga yang nyasar ke wilayah kekuasaannya.

“S-siapa dia?” gumam Licht. Banyak pertanyaan muncul di benaknya, namun sulit rasanya melontarkannya secara langsung.

Pria itu mengangkat telunjuk, mengisyaratkan Licht untuk mendekat. Tubuh Licht bergetar, namun ada bisikan tak jelas dalam hatinya yang menenangkan, membuatnya merasa... mungkin ini baik-baik saja.

Dengan langkah pelan, ia mendekat. Saat jarak tinggal dua meter, pria itu menjentikkan jarinya. Di belakang Licht, sebuah kursi muncul dari ketiadaan, mengambang di atas air.

"Sikapnya membuatku muak," gumam Licht dalam hati. Tapi ia memilih untuk menyembunyikan kekesalannya. Ia duduk.

Namun sebelum pria itu berbicara, Licht mendahului, dengan nada tegas.

“Di mana ini? Dan siapa kau?”

Pria itu mendengus, lalu menjawab dengan suara berat dan serak, tapi mengandung wibawa dan tekanan kuat.

“Di dalam jiwamu.”

“Jiwaku?” ulang Licht dalam benaknya, mencoba mencerna.

Ia kembali bertanya, “Lalu siapa kau sebenarnya?”

Pria itu tertawa kecil. “Aku punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan itu.”

Licht menghela napas panjang.

"Aku benar-benar tidak menyukainya," pikirnya.

“Kalau begitu... kenapa aku ada di sini? Seharusnya aku... mati,” lanjut Licht, suaranya terdengar suram.

Pria itu menatapnya tajam.

“Aku menarik jiwamu dan Aku menawarkan kontrak.” Ucapnya, ekspresinya sedikit berubah seakan bertolak belakang dengan perkataanya.

Licht mengernyit. Lagi-lagi jawabannya tidak memuaskan. Tapi kata "kontrak" itu menarik perhatiannya.

“Kontrak seperti apa?” tanyanya.

“Descent.”

Licht menatap kosong.

“Descent?”

Narasi samar menyusup ke dalam pikirannya—seperti bisikan dari dunia lain.

Descent adalah kontrak antara manusia dan entitas mulai dari yang rendah hingga tertinggi. Mereka yang menjalin kontrak ini harus membayar harga mahal: mata, bagian tubuh, usia... bahkan jiwa mereka. Semakin tinggi entitas yang dikontrak, semakin besar pula harganya.

“Apa itu?” tanya Licht lagi, tak menyembunyikan kebingungan.

Pria itu terkekeh. “Apa selama hidup kau terlalu miskin hingga sulit untuk mempelajari sihir dan hal hal seperti itu?” ucapnya merendahkan.

"Aku ingin sekali memukul wajahnya," Licht mendesah dalam hati.

“Descent,” lanjut pria itu, “adalah kontrak antara kau dan aku. Aku bisa membangkitkanmu kembali ke dunia manusia, dan kau akan membayar harga yang pantas.”

Licht membelalak. Kebangkitan? Harapan itu begitu absurd... namun nyata. Tapi naluri kewaspadaannya tak padam.

“...Kalau begitu, apa harganya?” tanyanya, penuh kehati-hatian.

Pria itu tersenyum. Cahaya merah samar menari di matanya. Di sekeliling Licht, angka sembilan muncul satu per satu, mengalir seperti arus tak berujung, melingkupi dan menyelimuti jiwanya. Saat pria itu mengucapkan sesuatu, suara itu lenyap—seolah waktu dan jiwa dibungkam seketika.

Licht terdiam. Tinju tangannya mengepal. Beberapa detik ia menunduk, lalu mengangkat kepalanya perlahan.

“...Baiklah,” ucapnya lirih.

“Lalu siapa namamu, dan harus ku panggil siapa dirimu?”

“Schwarz,” jawab pria itu singkat. seringai di wajahnya

Licht mengangguk. “Ayo kita lakukan.”

Schwarz mengangkat telunjuknya. Jiwa Licht seakan meledak dari dalam, terbakar cahaya, lalu meledak menjadi serpihan... dan hilang ditelan hembusan angin.

---

Licht membuka matanya. Ia bisa merasakan udara—dingin dan tajam menusuk kulitnya. Malam begitu gelap, hanya diiringi suara sungai mengalir di hadapannya.

“...Aku hidup kembali?” bisiknya, seolah tak percaya.

Ia bangkit pelan dan menatap pantulan bulan di permukaan air. Sosok yang ia lihat di sana—sangat berbeda.

Seorang pemuda, 17 hingga 18 tahun, dengan mata merah gelap, kulit pucat dengan tinggi 180 senti meter, dan rambut perak keabu-abuan. Licht menyentuh wajahnya sendiri.

“I-ini… diriku?” gumamnya.

Ia memandang tubuhnya—telanjang sepenuhnya, tanpa sehelai kain.

“Aku lebih tinggi… ini juga efek kontraknya?” bisiknya.

Ia melangkah menjauh dari sungai. Tempat ini tak asing—Grass Wind, dekat lokasi pemburuannya dulu.

“Sial, dingin sekali!” gerutunya, memeluk tubuhnya sendiri sambil menggigil.

Ia menempuh jalur memutar, menghindari jalan utama menuju pohon besar di tengah padang. Ia tahu, walaupun penampilannya telah berubah, ia tak bisa membiarkan identitasnya terbongkar. Jika ada yang mengenali... itu bisa berarti kematian untuk kedua kalinya.

Licht menyusuri hutan selama beberapa menit hingga akhirnya keluar di sisi lain. Di kejauhan, berdiri gedung pemerintahan yang menjulang tinggi di pusat Kerajaan Valdoria—salah satu cabang dari World Government.

Namun, sorot matanya bukan menuju gedung megah itu.

Ia menoleh jauh ke arah lain—ke tempat yang dulu ia sebut rumah: Underground. Deretan lampu padam, kabel-kabel listrik menjuntai tak beraturan, rumah-rumah tua yang rapuh... pemandangan itu membangkitkan emosi yang menyesakkan dada.

Ia memilih jalur sempit di pinggir distrik untuk menghindari perhatian, melangkah memasuki gang gelap khas Underground.

---

Beberapa menit kemudian, ia tiba di sebuah bangunan tua: kamar mandi umum.

Lampu di dalamnya berkedip lemah, memperlihatkan tiga pintu kamar mandi yang berderet. Salah satunya menyala terang—dan terdengar suara desahan samar dari dalam.

Licht mendekat tanpa suara, lalu menghela napas saat menyadari apa yang terjadi.

"Apakah aku benar-benar akan mengganggu ini?"

Namun tubuhnya masih telanjang. Pilihan terbatas. Ia menatap pakaian pria yang tergantung di atas pintu, lalu dengan gerakan cepat, meraih semuanya.

Sebuah kartu nama terjatuh dari kantong long coat biru gelap itu:

Inspektur. Hadllain dom

Dengan cepat, Licht menarik sepatu hitam dari celah bawah pintu. Pria itu terlalu sibuk untuk menyadari apapun.

Licht mengenakan pakaian itu di bilik sebelah, lalu keluar dengan penampilan baru: long coat biru gelap hingga paha, kemeja putih kusut lengan pendek, dasi hitam longgar, celana hitam, sarung tangan hijau gelap, dan sepatu formal kulit hitam.

Ia merogoh saku dan membuka kulit berwarna coklat.

20 Drel. 7 Solmire.

“Dia punya banyak uang...aku tidak mencurinya,” bisiknya dalam hati. “A-aku hanya sedang membutuhkannya.” Memaksa pikirannya dan kembali memasukan dompet itu ke sakunya

Ia melangkah keluar, kini lebih hangat, menuju satu tempat yang salah satu dalam pikirannya: Panti Asuhan Audrey.

---

Licht memasuki gang-gang sempit menghindari keramaiannya malam dari orang-orang yang sibuk untuk bertahan hidup. Namun begitu ia tiba di jalan sempit menuju bangunan tua itu...

...ia terdiam.

Bangunan itu telah hangus terbakar. Garis kepolisian membentang di sekeliling puing. Beberapa wartawan,kepolisian dan Lioren gereja serta lioren militer berjaga. Sisa-sisa kehidupan yang pernah ia kenal—telah musnah.

“Aku tidak bisa ke sana...” bisiknya lirih.

Saat itu, dua orang, laki laki dan perempuan berseragam militer muncul dari reruntuhan—Kael dan Azen.

Licht menunduk, berbalik, lalu pergi diam-diam dari lorong itu. Ia tak ingin dikenali. Dan meskipun Kael sempat menoleh ke arah Licht yang melangkah menjauh, ia tak mengenali siapa pun. Baginya, Licht... telah mati.

More Chapters