Ficool

Chapter 6 - Chapter 6 - Penyesalan.

Malam semakin larut. Kabut dingin menggantung rendah di antara gang-gang sempit Underground. Derap kaki terdengar tergesa, menggema di antara dinding batu yang lembap. Licht berlari di depan, nafasnya berat, tubuhnya gemetar oleh adrenalin dan rasa takut yang tak bisa disembunyikan.

“Lindungi mereka… Lindungi mereka…” Kata-kata itu terus terngiang dalam pikirannya, menenggelamkan segala suara lain. Air mata mengalir tanpa bisa ia tahan, membasahi wajahnya yang tersembunyi di balik tudung jubah hitam.

Di belakangnya, Lisshie menggandeng Ruvein erat. Bocah kecil itu tak memahami situasi sepenuhnya, namun instingnya cukup tajam untuk merasakan bahwa dunia mereka sedang runtuh. Ia tak berkata apa-apa—hanya menggenggam tangan kakaknya lebih erat.

Licht tiba-tiba berhenti di persimpangan. Di ujung gang, sosok bayangan berdiri diam, menunggu. Di atas atap-atap rumah reyot, langkah kaki terdengar berlarian, mendekat. Para pengejar mereka tak hanya datang dari tanah, tapi juga dari langit.

“Ke sini, cepat!” seru Licht, membelokkan arah. Nafasnya terengah, namun pikirannya terus bekerja keras.

Mereka memasuki sebuah gang buntu. Gelap. Sempit. Dindingnya basah. Atapnya ditutupi lembaran besi tua dan kayu-kayu lapuk—tempat yang sempurna untuk menghilang dari mata para Lioren dan prajurit militer yang mengejar mereka dari atas.

Di pojok gang itu, ada tumpukan kotak kayu besar. Licht menurunkan Minea dari gendongannya, menyandarkan gadis itu ke dinding. Nafas Minea tersengal, tangannya refleks memegangi perutnya yang sudah membesar. Jubah hitam menutupinya, tapi bentuk tubuhnya jelas seperti wanita hamil sembilan bulan.

“Kau bisa tunggu sebentar?” tanya Licht dengan suara rendah.

Minea mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar menahan sakit. Licht berjalan ke arah Lisshie dan Ruvein yang berdiri mematung. Lisshie menangis tersedu, menggenggam erat jubahnya seolah berharap itu akan membuat semuanya baik-baik saja.

Licht menyentuh bahu Ruvein, tersenyum lembut meski wajahnya tertutup tudung.

“Lisshie… Ruvein… Bisakah kalian tinggal di sini sebentar sampai aku kembali?” katanya pelan. Ia tidak yakin bisa kembali. Tapi itu bukan sesuatu yang perlu mereka dengar malam ini.

Ruvein menatapnya penuh kekhawatiran. “Lalu… bagaimana denganmu, Licht?”

Licht tersenyum—palsu tapi hangat. “Aku akan membawa Minea ke seorang dokter.”

Lisshie menggigit bibirnya. Ia tahu Licht berbohong.

Tanpa menjawab, Licht membimbing Ruvein masuk ke dalam salah satu kotak kayu besar yang cukup untuk menyembunyikan tubuh anak-anak. Ruvein menuruti, meskipun air mata mengalir di pipinya.

“Lisshie, giliranmu,” ujar Licht pelan.

Tapi Lisshie tak bergerak. Dengan gemetar, ia menampar Licht keras.

Plak.

Tudung jubah Licht terlepas, dan wajahnya terbuka. Ia menunduk. Suara Lisshie gemetar. “K-Kenapa kamu bisa tetap setenang ini, Licht…?”

Kata-katanya tercekat. Matanya memerah.

“...Ibu…” lirihnya.

Sementara itu, Minea merintih pelan, tubuhnya menegang menahan rasa sakit yang datang seperti gelombang. Lisshie menatap Licht. Ia meraih wajah kakaknya dengan kedua tangan. “Maaf…” bisiknya.

Licht menutup mata. Air mata menetes dari sudut matanya, mengalir pelan di pipinya. “Kumohon… bersembunyilah. Ini permintaanku.”

Lisshie memeluknya erat, sebelum akhirnya masuk ke dalam kotak kayu besar bersama Ruvein. Di dalamnya, Lisshie melihat adiknya menutup telinga, berusaha tak mendengar apa pun dari luar. Wajahnya pucat, air mata tak henti mengalir. Lisshie memeluknya.

“J-Jangan khawatir… Kakak akan melindungimu,” ucapnya meski hatinya hancur.

Di luar, Licht berjongkok, menggendong Minea kembali. “Maafkan aku…”

Namun Minea hanya tersenyum, memeluknya erat. “Tidak. Kamu kakak terbaik. Aku… sangat beruntung bisa bertemu denganmu.”

Licht memejamkan mata, meresapi kata-kata itu dalam-dalam.

Ia lalu berbalik, meninggalkan gang gelap itu. Meninggalkan dua adik yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Ia berlari—melintasi lorong-lorong gelap dan sempit, menembus kabut yang menutupi Underground.

Langit malam tertutup awan kelabu. Bulan bersembunyi. Dunia seolah menahan nafasnya.

Licht terus berlari. Dengan napas yang terputus-putus, ia hanya punya satu tujuan: menjauhkan Minea dari Underground, agar iblis yang tumbuh dalam dirinya tidak menghancurkan tempat ini… dan orang-orang yang tak bersalah di dalamnya.

Licht berlari dengan napas terengah-engah, kakinya menghentak tanah, membawa tubuhnya menjauh dari tempat yang tadi ia tinggalkan. Ia memutar rute, berbelok menuju padang rumput luas yang biasa ia singgahi untuk mengambil kayu bakar. Di sana, antara hutan yang mulai gelap dan angin yang berhembus lembut, namun, ia tidak berharap bahwa pengejarnya akan begitu cepat menyusul.

Dengan pikiran yang berputar dan tubuh yang hampir tak sanggup menahan lelah, ia sadar bahwa ia telah mengecoh para pengejarnya. Mereka bukan Lioren—terutama bukan Misty Flores atau pasukan militer terorganisir. Hanya militer biasa yang tak mengenal sepenuhnya medan Underground, dan itu memberi Licht sedikit harapan.

Saat melintasi perbatasan Underground, angin di Grass Wind yang luas menyapu wajahnya. Rumput-rumput hijau yang membentang di hadapannya mulai bergoyang, namun pikirannya kosong, tak bisa fokus selain pada Minea yang kini terengah-engah di belakangnya. Keringat dingin muncul di dahinya.

Minea memegang perutnya dengan tangan gemetar, merintih pelan. Sepertinya rasa sakitnya semakin parah, dan tubuhnya berdenyut seperti ada sesuatu yang tidak semestinya terjadi. Dalam kondisi itu, Minea terasa semakin jauh dari dirinya, seolah tubuhnya bergerak melawan perintah yang diberikan.

"Licht…" Suara Minea nyaris tak terdengar, tapi ia bisa merasakannya dalam hati.

Licht menoleh, wajahnya penuh kecemasan, sebelum ia mendongak ke langit. Sebuah pesawat perang terbang dari arah selatan, dengan logo militer pemerintah dunia yang beroperasi di kerajaan Valdoria jelas tertera di sayapnya. Pesawat itu melintas dari arah gedung kemiliteran yang terlihat seperti benteng megah dari kerajaan.

Mata Licht membelalak, ketakutan mulai merayapi dirinya. Rasa cemas yang begitu dalam mencengkeram dadanya. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan ia terus berlari, tak peduli meski pesawat itu kini menyoroti mereka dengan sinar tajam dari atas. Menembus kegelapan malam.

Seseorang dari dalam pesawat itu melepaskan tembakan peringatan—sebuah ledakan yang menyuarakan amarah tanpa alasan, menembak ke udara tanpa target. Itu adalah peringatan. Namun Licht tidak berhenti.

Ia terus berlari ke arah pohon besar yang berada di tengah padang rumput luas itu. Jika ia bisa sampai ke sana, underground akan aman. Tapi kaki kanan yang terasa berat, menusuk dengan rasa dingin yang tak tertahankan, meruntuhkan langkahnya. Ia terjatuh. Segera, darah mulai mengalir dari kakinya, mencemari tanah yang ia injak. Pemandangan itu, darah yang menyebar di padang rumput, menjadi saksi bisu dari keputusasaannya.

Minea, meskipun tak lagi kuat, masih berusaha. Perlahan, ia bangkit dengan tubuh yang gemetar. Perutnya membesar, nyaris tak bisa ditahan, dan matanya memancarkan sinar redup yang semakin memudar. Namun ia tetap berusaha menarik Licht yang terjatuh, memaksakan tubuhnya bergerak dengan sisa kekuatan yang hampir habis.

Dengan gemetar, Minea berhasil menarik tangan Licht menuju pohon besar tempat mereka untuk istirahat terakhir kalinya. Setiap tetes darah yang berceceran di tanah seperti petunjuk bagi mereka yang mengikutinya—garis kehidupan yang perlahan memudar. Mereka bersandar di pohon, wajah mereka pucat, hampir tak bisa berdiri lagi.

Tiba-tiba, suara keras terdengar. Krak. Dan tubuh Minea yang rapuh mulai bergetar, tulang-tulangnya terasa seperti bergerak dan patah satu per satu. Matanya terbelalak, merasakan sakit yang luar biasa.

Licht menatapnya, tak bisa berkata-kata, hanya bisa menahan rasa sakit yang teramat sangat.

militer yang berkisar lima hingga delapan personil dan tujuh Lioren gereja mulai mengepung mereka. Pesawat yang tadi melintas tetap bertahan di udara, siap memberi bantuan. Namun saat itulah, sebuah suara menderu, mencekam.

DUAR.

Ledakan besar mengguncang tanah di sekitar mereka. Sebuah gelombang tekanan hitam yang luar biasa keluar dari tubuh Minea, memancarkan energi yang seakan bisa menghancurkan sebagian Grass Wind. Tanah di sekitar mereka berputar, membentuk lingkaran besar seperti kawah yang membelah. Pohon yang mereka sandari bergetar hebat, sementara segala yang ada di sekeliling mereka tersapu oleh gelombang energi yang luar biasa.

Lioren yang kuat terpental jauh, terlempar tanpa ampun. Namun pesawat militer dan para prajurit yang hanya dilindungi oleh baju perang mereka, terjatuh dengan keras. Ledakan itu membuat mereka jatuh, meledak, terbakar. Beberapa prajurit mati seketika, keracunan, atau terpapar oleh kekuatan yang datang dari tubuh Minea yang kini sedang melahirkan—bukan bayi manusia, tetapi bayi iblis yang telah merasuki tubuhnya.

Licht merasakan telinga dan kepalanya berdenging. Darah mengalir dari hidung, telinga, dan bibirnya. Seluruh tubuhnya terasa terbakar oleh tekanan yang luar biasa. Tetapi ia masih bertahan, meski kondisi tubuhnya sangat buruk, seakan batas akhir kehidupan sudah begitu dekat.

Dari antara kepulan asap dan suara ledakan yang semakin memudar, muncul seorang pria. Seorang pria dengan penampilan uskup, mengenakan lencana Misty Flores di jubahnya. Wajahnya ramping, kumis tipis, dan matanya tajam menatap Licht dengan rasa prihatin. Ia mengarah ke Minea yang kini telah kelelahan, hanya bisa terbaring dengan sisa-sisa kekuatannya yang hampir habis.

Pria itu mengangkat telunjuknya, dan dengan gerakan yang terampil, sihir api menyembur dari ujung jarinya, menari di udara menuju tubuh Minea.

“Flame of Heaven,” ujarnya dengan suara dalam, penuh wibawa.

Api merah dan oranye yang mematikan membakar tubuh Minea. Suara jeritan Minea bercampur dengan suara mengerikan yang datang dari tubuh yang terbakar. Licht, yang tak bisa berbuat apa-apa, menatap dengan air mata yang tak bisa ia tahan. Ia merasa hatinya hancur melihat adiknya dalam penderitaan yang tak terkatakan, namun di sisi lain ia merasakan lega yang tidak bisa di jelaskan.

Pria itu, usai membakar Minea, melirik ke arah Licht. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, hanya tatapan tajam yang memancar penuh pengetahuan. Ia mengangkat telunjuknya, seakan siap mengakhiri kehidupan Licht juga. Tapi Licht mengangkat tangan dengan lemah, memohon agar pria itu berhenti sejenak.

“A-Aku… tidak ingin mati dengan penyesalan lebih banyak,” suara Licht hampir tidak terdengar, namun ada keteguhan di dalamnya. “Tapi aku menyembunyikan kedua adikku di gang yang atapnya tertutup, dekat dengan kotak besar. Tolong… selamatkan mereka.”

Pria itu menatapnya dengan hati-hati, menyaring kata-kata Licht dengan tatapan tajam namun penuh pertanyaan. “Kenapa kau memberitahuku?” tanyanya dengan suara berat.

Licht tersenyum getir, darah terbatuk keluar dari mulutnya. “Aku… tidak tahu. Tapi mereka bukanlah yang melanggar hukum. Ini semua salahku.” Ia terbatuk lagi, lebih keras kali ini, sebelum melanjutkan, “Ini permintaan terakhirku, bisakah kau menepatinya, Uskup Agung?”

Pria itu mengangguk kecil, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengangkat telunjuknya.

Whooosh.

Api merah menyambar tubuh Licht, persis seperti api yang membakar Minea. Pohon yang mereka sandari ikut terbakar dalam nyala api yang membesar. Segalanya mulai memudar di depan mata Licht.

More Chapters