Ficool

Chapter 8 - Chapter 8 - Dari kejauhan

Langkah kakinya menyusuri keramaian Underground dengan tenang, seakan ia hanya pejalan kaki biasa yang melebur dalam denyut kehidupan wilayah kumuh itu. Namun pikirannya bekerja lebih cepat daripada langkah kakinya. Tangan kirinya terangkat, jari telunjuk menyentuh dagu—sebuah kebiasaan lama saat ia berpikir dalam diam.

“Yah… mana mungkin dia mengenalku,” pikir Licht sambil mengembuskan napas pelan. “Penampilanku sudah cukup berubah dalam semalam.” Ia berhenti sesaat, kerutan halus terbentuk di keningnya. “T-tunggu… Kael menggunakan seragam militer? Aku tidak yakin bangkit hanya satu malam… Hari apa sekarang? Terakhir kali aku sadar, itu hari Selasa, bukan?”

Kejanggalan waktu menciptakan gejolak baru di dalam dirinya. Namun tak ada waktu untuk bingung terlalu lama—perbatasan antara Underground dan kota Vilvath Barat kini hanya beberapa blok di depan.

Ia mempercepat langkah. Meski wajah dan auranya telah berubah, kewaspadaan terhadap Lioren tetap terpatri kuat di pikirannya. Dunia tak mengenalnya lagi, tapi bahaya tetap mengenali aroma pelarian.

Begitu melewati batas wilayah kumuh, suasana berubah. Jalan lebih bersih, bangunan lebih teratur, dan langit terlihat sedikit lebih luas meski langit-langit kota masih diselimuti polusi dan asap pabrik. Di tengah trotoar yang sibuk, Licht menyeberangi jalan dan menghampiri sebuah toko koran besar. Rak-rak kaca memajang puluhan koran edisi terbaru, dan di dalam toko terlihat pria tua dengan kumis tebal sedang duduk membaca, sementara pegawai-pegawai muda tampak sibuk membersihkan rak dan menyusun dokumen.

Toko ini cukup besar... Kael pernah bilang dia kerja paruh waktu di sini, gumam Licht dalam hati. Tangannya meraih salah satu koran terdekat, lalu mengeluarkan dua koin cresil dan menyerahkannya pada seorang pegawai muda yang sedang menyapu daun-daun di depan toko.

“Terima kasih, Sir. Apa Anda ingin berlangganan koran dan berita dari kami?” tanya si pegawai sopan.

Licht menggeleng pelan. “Tidak, terima kasih,” jawabnya tenang, lalu melanjutkan dalam hati dengan senyum getir, “Aku ini masih muda.”

Ia berjalan lagi, menggenggam koran erat di satu tangan. Pikiran sejenak melayang ke inspektur malang. “Sebenarnya aku merasa bersalah telah mengambil pakaian dan uang si inspektur itu… Y-ya, mau bagaimana pun ini harus kulakukan…”

Tak jauh dari sana, aroma kopi menyambut hidungnya. Di seberang jalan, berdiri sebuah toko kopi bergaya retro modern dengan dinding kaca dan papan kayu bertuliskan “La’Qora Beans”. Licht mendekat. Suara lonceng kecil menyambutnya ketika pintu terbuka.

Hangat. Harum. Tenang. Ruangan itu terasa seperti dunia yang terpisah dari kerasnya kehidupan luar. Interiornya didominasi warna cokelat gelap dan krem, dengan beberapa pelanggan duduk membungkuk di balik cangkir mereka.

Licht menarik napas dalam-dalam. "Sebenarnya… aku tidak tahu cara memesan kopi. Y-yah… berakting layaknya orang kaya," tekadnya.

Ia memilih kursi dekat jendela, menyendiri di pojok ruangan. Tak lama kemudian, seorang wanita dengan seragam hitam mendekat, membawa senyum profesional.

“Ingin memesan kopi jenis apa, Sir?”

"Sir... Sir… aku masih muda, sial!" Licht mendongak ke menu yang tergantung di papan dinding. Matanya terbelalak dalam diam. "S-sial… A-Apa kopi seperti ini begitu mahal?" Namun ekspresinya tetap tenang, dan ia menjawab dengan senyum singkat, “Kopi hitam biasa.”

Wanita itu mengangguk sopan, mencatat pesanan, lalu pergi.

Licht membuka koran yang tadi ia beli. Matanya segera tertuju pada satu artikel besar di halaman utama. Pupillanya mengecil. Nafasnya tercekat.

“Panti Asuhan Kumuh di Underground Terbongkar: Sekte Sesat Pemanggil Iblis.”

“A-Apa?..... Siapa yang membuat berita seperti ini?” Suara batinnya meledak dalam kemarahan, namun wajahnya tetap dingin. Ia mencengkeram tepi koran dengan kuat, kertas itu hampir robek di sudutnya.

Berita itu lanjut menyebutkan:

“Seorang gadis berusia 17 tahun dan seorang anak laki-laki 9 tahun berhasil selamat dari tragedi sekte tersebut.”

Di bawahnya, sebuah foto hitam-putih menunjukkan wajah Lisshie dan Ruvein. Keduanya tampak duduk di ranjang rumah sakit, terlihat lelah namun hidup.

Licht menahan napas. Emosinya turun perlahan seperti ombak yang reda.

“Mereka selamat…” bisiknya pelan. “Uskup agung itu menepati janjinya…”

Senyum kecil muncul di bibirnya. Pelayan tadi datang membawa secangkir kopi, meletakkannya di atas meja dengan anggukan sopan, lalu pergi tanpa suara.

Licht menatap permukaan kopi itu sejenak. Hitam pekat, memantulkan sedikit cahaya dari jendela. Ia menyesapnya perlahan. Pahit. Namun kehangatannya menyebar ke dalam dadanya.

Sepuluh menit kemudian, ia meninggalkan toko dengan langkah mantap. Membayar tanpa banyak bicara, lalu keluar dan kembali ke jalanan kota yang padat.

Kini ia telah memutuskan—ia akan melihat keadaan Lisshie dan Ruvein. Bukan untuk muncul di hadapan mereka. Hanya dari kejauhan. Seorang bayangan dari masa lalu, yang telah mati… dan hidup kembali sebagai orang lain.

Sabtu malam, pukul delapan, langit kota Vilvath Barat telah diselimuti kelam. Lampu-lampu jalan redup memantulkan cahaya kuning pucat di trotoar basah, menyinari langkah Licht yang perlahan menyusuri jalur menuju distrik Housen.

Ia baru saja mengumpulkan cukup informasi. Lisshie dan Ruvein—kedua adiknya—kini tinggal di rumah sederhana atas bantuan dana dari Gereja, sebagai kompensasi dari tragedi yang menimpa panti asuhan mereka. Housen bukan distrik elit, tapi cukup layak untuk bertahan hidup. Sebuah wilayah tenang yang dihuni oleh rakyat jelata, jauh dari hiruk-pikuk militer ataupun kemewahan dunia atas.

Orang-orang masih berlalu lalang di sekitarnya, meskipun waktu telah larut. Licht berbaur dengan langkah-langkah asing itu, menjaga sikap dan sorot mata. Ia berjalan santai, namun waspada. Setiap derap sepatu, setiap suara obrolan pelan, bisa saja menjadi pertanda bahaya bila Lioren berada di dekatnya.

Dua puluh menit kemudian, ia tiba di distrik Housen.

Rumah-rumah kecil berjajar rapi dengan dinding kusam dan atap logam yang sedikit berkarat. Di antara toko-toko kecil yang masih buka, cahaya temaram terpancar dari jendela besar sebuah toko kue. Aroma manis menyusup ke udara malam yang dingin.

Dan di sanalah ia melihat mereka.

Seorang gadis remaja bergaun putih dengan cardigan biru rajutan, rambut biru gelap tergerai lembut di pundaknya. Di sampingnya, anak laki-laki dengan pakaian rapi memegang sebuah kotak kecil berisi roti. Wajah mereka tak berubah. Tak asing. Mereka adalah Lisshie dan Ruvein.

Licht membeku. Dunia di sekitarnya seakan membisu.

Kerongkongannya tercekat. Hatinya ingin melangkah, menerobos pintu toko itu, memeluk mereka, memberitahu bahwa ia hidup. Tapi ia tahu itu tidak mungkin. Bagaimana seseorang yang telah mati bisa kembali begitu saja?

Matanya memanas. Pemandangan sederhana itu, yang seharusnya menenangkan, justru menghantam perasaannya.

Seseorang datang menghampiri mereka. Seorang pria muda mengenakan mantel double-breasted berwarna krem, rambut hitamnya tersisir rapi. Dari cara dia berbicara dan menjaga jarak, Licht menyimpulkan perannya.

“Pengawal dari gereja?” pikirnya, mata masih tertuju pada mereka. Ia menyipitkan mata. “Cukup dekat... berarti tugasnya bukan sekadar formalitas.”

Pria itu tampak sopan. Licht memperhatikan dari balik bayangan gang—tempat persembunyiannya—berusaha tetap tak terlihat saat mereka bertiga keluar dari toko dan menyusuri jalan.

“Terima kasih… Tuan Danitz,” ucap Lisshie. Senyumnya tipis. Terlihat baik-baik saja, namun terasa hampa di mata Licht.

“Ini tugasku dari gereja,” jawab Danitz dengan anggukan kecil. “Aku akan mengawal kalian selama beberapa waktu.”

Mereka berjalan hingga tiba di depan rumah kecil bercat pudar namun bersih. Licht mengikuti dari kejauhan, mengendap di antara gang dan celah bangunan, seperti bayangan masa lalu yang enggan pergi.

“Kalau begitu, aku pamit. Selamat malam,” kata Danitz.

“Selamat malam, dan terima kasih,” balas Lisshie.

Danitz melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua di depan pintu rumah. Licht tetap membisu, menatap dari kegelapan, tanpa keberanian untuk menghampiri. Namun hatinya—walau teriris—merasa lega.

Lisshie menatap Ruvein yang diam dan tampak murung.

"Aku masih merahasiakan semuanya dari dia," gumam Lisshie pelan. Ia belum pernah menceritakan kebenaran tentang kematian Marie, Minea, atau bahkan Licht sendiri kepada adiknya yang masih polos. Ia bahkan menghindari membeli koran hari ini, hanya untuk menjaga Ruvein dari kebenaran pahit dunia.

“Ada apa, Ruvein?” tanyanya lembut, tangannya mengusap rambut bocah itu.

“Lisshie... ini rumah baru kita?” Suaranya pelan dan bingung, walau itu bukan kali pertama ia bertanya.

Lisshie mengangguk. “Iya... ini rumah baru kita.”

Ia berjongkok, menyamakan tinggi tubuh dengan adiknya. Tangannya kembali mengusap rambut Ruvein. Tapi sebelum ia sempat berkata lagi, bocah itu menatapnya dengan mata yang basah.

“Aku tahu… Licht, Minea, dan Ibu sudah mati. Lalu Kael juga… kenapa dia tidak pulang? Apa Kael juga mati?”

Kata-kata itu menghujam Lisshie. Ia terpaku, pupil matanya membesar. Namun sebelum ia bisa menjawab, Ruvein menggenggam tangannya erat.

“Kamu tidak perlu menyembunyikannya… aku… aku sudah membaca beritanya di koran,” bisiknya.

Lisshie menunduk. Dunia di sekitarnya seperti runtuh. Perlahan, ia memeluk adiknya. Hangat dan sunyi.

“Ayo kita masuk,” ajaknya dengan suara nyaris tak terdengar.

Setelah memastikan kedua adiknya cukup aman, Licht meninggalkan distrik Housen dengan langkah ringan namun hati yang masih berat. Kota itu, seperti bagian lain dari wilayah Underground, tak pernah tidur. Hiruk-pikuk manusia yang mencari sesuap makan, lalu lintas kaki yang menyatu dalam denting logam dan debu, menyelimuti jalanan dengan kelelahan tanpa akhir.

Licht berjalan menyusuri gang dan trotoar, menyeberangi jalan yang penuh lubang dan aspal terkelupas. Matanya menatap kosong hingga sesuatu menarik perhatiannya—sebuah bangunan bertingkat tua di tengah blok perkantoran yang sebagian besar telah mati. Warnanya kusam, cat mengelupas di dindingnya, jendela pecah memantulkan cahaya bulan dengan suram. Di pagar kawat yang setengah roboh, papan tua menggantung dengan tulisan pudar: DIJUAL.

"Sepertinya tidak buruk… Mungkin cocok untukku," pikirnya.

Tanpa ragu, ia melompati pagar. Tubuhnya mendarat ringan, nyaris tanpa suara. Bayangan gelap menyelimuti pekarangan kosong itu, namun bagi Licht, tempat ini lebih aman daripada apapun yang ia tinggalkan.

Ia menyusuri bangunan, mencari celah di beberapa pintu yang tertutup terkunci, ada salah satu yang tidak terkunci gagangnya telah rusak. Di lantai satu hanya terdapat puing dan bau debu yang menyesakkan. Namun, di lantai dua, ia menemukan sesuatu yang menarik—sebuah lemari kecil terbuat dari kayu tua, dan di dalamnya… lilin, beberapa batang korek api, serta sisa makanan kaleng di tong sampah besi di dekatnya.

"Apa ada yang tinggal di sini?" gumamnya.

Lilin-lilin itu pernah dipakai, meski terlihat masih baru. Sampah kaleng masih menyisakan aroma asin dari isi yang belum lama dibuang. Licht diam sejenak, mencoba membaca jejak kehidupan yang tersisa.

Ia mengambil satu lilin, membersihkan sebagian lantai dari debu, lalu duduk bersandar ke dinding yang retak. Dari jendela yang terbuka, cahaya bulan menembus masuk, menyinari wajahnya yang kini sepenuhnya berubah sejak kontrak Descent dengan Agera. Rambut putih keperakan terurai tak beraturan, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu lapuk.

Dengan satu gesekan korek, api menyala, dan cahaya temaram dari lilin menari di wajahnya. Kesunyian menyelimuti ruangan itu—dan di tengah kesunyian itulah, Licht mulai berbicara pada dirinya sendiri.

"Tujuan selanjutnya… mencari dalang di balik semua ini. Menghancurkan Pemerintahan Dunia. Aku tidak peduli jika dicap sebagai Sinner. Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi…"

Tatapannya tajam, penuh luka yang belum mengering. Dalam hatinya, luka kehilangan Marie, adik-adik, dan kehidupan lamanya masih membara.

"Minea… Satu-satunya waktu di mana kami tidak bisa menjaganya adalah saat dia berada di sekolah gereja," bisiknya, semakin keras seiring pikirannya menyelam.

Dia merenung. Pertanyaan demi pertanyaan menyergap.

"Minea… Siapa saja orang di sekitarnya? Tidak hanya kami… Tapi siapa lagi yang memiliki cukup akses padanya?"

Mata Licht membelalak perlahan.

"Pendeta Reihim?"

Nama itu mengendap, mengusik pikirannya. Ada perasaan yang belum bisa ia pastikan, namun cukup kuat untuk menimbulkan amarah samar di dasar jiwanya. Pendeta reihim, dia juga seorang kepala sekolah dari sekolah gereja di underground, minea adalah gadis pintar dan berbakat, dia cukup dekat dengan pendeta reihim.

Langkah kaki di tangga kayu mengejutkannya.

Licht diam. Gerakan tubuhnya instingtif, tanpa suara. Seseorang menaiki anak tangga menuju lantai dua. Cahaya lilin yang ia nyalakan kini menjadi satu-satunya sumber penerangan—dan juga petunjuk keberadaannya.

Seorang pria muda muncul di ambang tangga. Rambut pirang kecokelatan acak-acakan, jaket hijau tua dengan kerah berbulu putih membalut tubuhnya, terbuka sebagian dan memperlihatkan kaus merah polos di dalamnya. Di tangannya, ia menggenggam biola—usang, namun terawat.

Matanya menatap lilin dengan ekspresi murka.

"Apa-apaan ini… dia memakai lilinku?!"

Tanpa peringatan, pria itu berlari dan melayangkan tendangan ke arah Licht, yang masih duduk membelakangi. Namun Licht, sudah beradaptasi dengan tekanan hidup dan pertempuran, bergerak sebelum tubuhnya menyadari alasan. Ia berguling ke samping, menghindari tendangan itu dengan mulus.

"Tubuhku… bergerak sendiri? Sepertinya instingku meningkat sejak malam itu."

Mereka saling tatap dalam keheningan. Cahaya lilin di antara mereka.

"Siapa kau?" tanya Licht, tenang tapi siap.

Pria itu mengangkat alis, ekspresinya kesal. "Yang seharusnya bertanya itu aku, sialan. Apa yang kau lakukan di sini?!"

Licht memperhatikan. Pria itu tampak seusianya, dan jelas bukan pemilik bangunan. Tapi gerakannya tangkas, tidak seperti pemuda biasa.

"Dia bukan Lioren atau Sinner… tapi cukup lihai dalam bertarung."

Licht mencoba bicara, namun tinju dilayangkan ke arah wajahnya. Ia mundur, menghindari, lalu melompat ke belakang.

"Heii, tunggu!" serunya, tapi lawannya tak peduli.

"Untuk apa aku mendengarkan pencuri?!" bentaknya, lalu kembali menyerang dengan kombinasi tendangan dan pukulan cepat.

Setelah beberapa detik, Licht menjauh dan mengangkat tangan.

"Maaf, maaf. Aku tidak tahu kalau ada orang lain yang tinggal di sini secara… ilegal," katanya, berusaha meredakan situasi sambil membersihkan debu di bajunya.

"Aku tidak peduli. Ganti rugi lilinku!" bentaknya lagi.

"Berapa?"

"3 Cresil."

Licht mengangkat alis. "Hei, kau ingin merampokku dengan alasan seperti itu? Harga satu lilin cuma 1,2 Cresil!"

Hening sejenak.

"Namaku… Li–" Licht terhenti. Suara di kepalanya mengingatkannya bahwa ia tak bisa lagi memakai nama itu.

"Lyrss Lian," katanya akhirnya.

"Aku tidak peduli," balas lawannya.

"Keras kepala," gumam Licht.

"Aku akan ganti rugi lilinmu dengan mengajakmu makan. Setuju?" tawarnya. Licht sadar, mengajak makan jauh lebih murah—dan perutnya sendiri juga mulai menuntut perhatian.

"T-Tid—" pria itu hendak menolak, namun perutnya mendahului. Suara nyaring dari perut kosong terdengar di antara mereka.

Licht menatapnya.

"Orang ini…" Ia menghela napas panjang.

"R… Ren Isoiji," sahutnya akhirnya, membuang muka.

More Chapters