Ficool

Chapter 9 - Chapter 9 - Bukan harapan tapi tujuan.

Pukul sembilan malam, kota vilvath barat.

Malam menyelimuti langit Vilvath Barat dengan lapisan gelap yang lembut, hanya sesekali tersapu cahaya dari lampu tua yang menggantung di sepanjang jalan. Angin malam membawa aroma tanah dan debu, menyusup masuk ke sela-sela papan kayu yang mulai lapuk. Di pinggiran kota, berdiri sebuah kedai kecil—tak megah, namun penuh cerita. Kedai itu menjadi pelarian sementara bagi para pengelana, buruh lelah, dan orang-orang yang ingin melupakan kerasnya hidup walau hanya sebentar, ditemani minuman hangat dan roti seadanya.

Kedai itu hangat dalam cara yang sederhana. Dindingnya dari kayu tua yang dipenuhi noda waktu. Bau arang terbakar berpadu dengan aroma roti panggang, mengisi udara malam dengan rasa rumah bagi mereka yang tak punya rumah. Suara tawa parau, dentingan gelas, dan gesekan kursi kayu memenuhi ruang, namun tak satupun yang memperhatikan dua sosok yang duduk di pojok ruangan.

Di sana duduk Licht—atau kini dikenal sebagai Lyrss Lian, nama baru yang ia kenakan seperti jubah, menyembunyikan masa lalu yang pahit. Di sampingnya, seorang pemuda yang memeluk biolanya seolah itu bagian dari jiwanya—Ren Isoiji.

Licht menoleh pelan, menatap Ren dengan alis sedikit terangkat.

“Namamu... Ren Isoiji, kan?” tanyanya, tenang, nyaris seperti angin malam.

Ia tahu—di kota seperti ini, nama bukanlah sesuatu yang bisa dianggap pasti. Banyak orang hidup tanpa identitas, tanpa masa lalu, tanpa masa depan. Mereka hanyalah bayangan yang terlempar dari sistem dunia yang menolak mereka.

Ren tidak langsung menjawab. Ia tetap diam, hanya memeluk biolanya lebih erat. Namun akhirnya, ia membuka suara dengan nada yang lebih tajam dari yang dimaksudkan.

“Kau pikir aku berbohong hanya karena aku tinggal secara ilegal?! Jangan samakan aku dengan mereka!”

Licht tidak bereaksi. Tidak marah. Ia paham. Kemarahan Ren adalah kemarahan yang ia kenal. Kemarahan yang lahir dari dilupakan.

Di Valdoria, terutama di kota-kota tua seperti Vilvath Barat, orang-orang tanpa nama berkeliaran tanpa arah. Anak-anak yang ditinggalkan, orang tua yang diusir, dan jiwa-jiwa yang tersesat dalam sistem yang menggilas mereka hidup-hidup. Identitas bukan hanya hilang, ia dicuri oleh dunia yang pura-pura tidak melihat.

“Baiklah, baiklah…” Licht menghela napas panjang.

Seorang pelayan mendekat—wajahnya lelah, mengenakan celemek yang lusuh, matanya kosong seperti sudah terlalu lama menatap dunia yang tak berubah. Licht segera memesan setelah melihat daftar menu, cepat dan sederhana.

“Dua roti dan dua telur cincang. Untuk minumnya, air putih.”

Pelayan itu mengangguk dan pergi. Ren menatap Licht, mengerutkan kening.

“Kau... pelit sekali.”

“Itu harga yang setara dengan lilin milikmu yang kugunakan,” Licht membalas ringan, seolah bercanda, meski di balik senyumnya tersembunyi niat menghemat tiap koin.

Licht kembali melirik Ren. “Dari namamu... kau berasal dari Benua Utara?”

Ren menggeleng. Rambutnya bergoyang pelan, menutupi sebagian wajahnya.

“Aku hanya dirawat oleh sepasang suami istri. Wanita itu berasal dari Utara. Dia yang mengasuh dan membesarkanku... Sial, kenapa aku harus memberitahumu?!”

Ia menunduk, tiba-tiba menyadari bahwa ia sudah bicara terlalu banyak. Biola di pelukannya digenggam lebih erat, seolah menjadi satu-satunya pelindung dari dunia yang kejam.

“Aku mengerti... Kurasa kita punya kesamaan soal itu.” Licht tersenyum samar, tanpa penjelasan lebih lanjut.

Ren menatapnya, bingung. “Apa maksudmu?”

Namun Licht hanya tertawa pelan. “Tidak… Kau seorang pemusik jalanan?”

Ren jawab pelan. “Ya.”

Beberapa saat kemudian, pelayan kembali dengan dua piring roti isi telur cincang, disiram saus merah khas Vilvath yang pedas dan hangat. Makanan sederhana, tapi cukup untuk mengisi malam yang dingin.

“Makanlah,” ujar Licht.

Ren menatap makanan di hadapannya dengan tatapan kosong. Seolah lidah dan perutnya sendiri lupa bagaimana rasanya makanan sungguhan. Perlahan, ia mengambil roti dan mulai makan dalam diam.

Di atas meja mereka, cahaya lilin bergoyang pelan. Nyala kecil itu menyinari dua jiwa yang mulai memahami bahwa mereka tak benar-benar sendiri dalam luka yang sama.

---

Sepuluh menit berlalu dalam keheningan. Sisa makanan telah habis. Hanya sisa remah dan percikan saus yang tersisa di piring mereka. Setelah itu mereka pergi dari kedai itu dan berjalan di tepi jalan yang sunyi disinari cahaya bulan dan lampu jalan yang hampir redup.

Licht berhenti, Kemudian berkata.“Ren…” Licht bersuara tiba-tiba, matanya menatap jauh ke kedai yang mulai menjauh dari pandangnya “Apa kau punya tujuan?”

Pertanyaan itu terdengar sederhana, namun baginya, itu adalah refleksi dari pergulatan,dalam hatinya. “Aku harus menjadi lebih kuat, menemukan dalang di balik tragedi yang menimpa keluargaku, dan membangun kekuatan untuk menggulingkan sistem dunia ini…” pikir Licht, mengingat kehancuran panti asuhan yang telah mencuri segalanya darinya.

Ren terlihat terkejut, namun ia segera menyembunyikan ekspresinya.

“Kenapa kau bertanya seperti itu? Jelas aku punya…” jawabnya, walau suaranya terdengar kosong.

“Apa itu?”

“Kau tidak perlu tahu!” Ren menepis, mencoba mempertahankan benteng dirinya.

Licht tertawa kecil, lalu menepuk pundak Ren. “Kenapa? Apa tujuanmu begitu memalukan untuk ditunjukkan?”

Ren memejamkan matanya, menarik napas panjang. “Aku ingin menjadi Maestro yang hebat… dan bisa memainkan semua alat musik,” bisiknya pelan, menghindari tatapan Licht.

Licht tersenyum—tulus, namun juga dipenuhi rencana.

“Itu hebat… Aku menawarkan sesuatu padamu. Bergabunglah dengan organisasiku dan jadilah rekanku, dan gulingkan pemerintahan dunia dengan musikmu.”

Langkah waktu seolah terhenti.

Ren terdiam. Cahaya rembulan tertutup awan dan lampu jalan yang redup menyinari wajahnya yang bingung dan bimbang. Biola di pelukannya terasa lebih berat.

“K-Kau seorang... Sinner?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.

Licht menoleh, matanya dingin namun jujur.

“Aku tidak peduli soal Sinner atau Lioren.”

Ren mengepalkan tinjunya. “Lalu… apa tujuanmu?”

“Untuk menggulingkan dunia. Menghancurkan sistem dunia yang menjijikkan ini.”

Ren menatapnya, Suaranya berat dan pelan. “Benarkah...? Itu tujuan yang konyol…”

“Kau benar… Itu sangat konyol dan terdengar bodoh. Tapi apa kau akan terus hidup dalam sistem seperti ini?” Licht berdiri, menatap Ren dari balik bayangan. “Kebebasan adalah keadilan, Ren. Kau bisa memainkan musikmu tanpa takut, tanpa kelaparan, tanpa harus tidur di jalanan!”

Ren menggertakkan giginya. “Hentikan… bodoh… Jangan memberiku harapan…” suaranya lirih seakan memiliki luka yang sama dan harapan yang sama.

Licht menunduk sedikit, lalu menatap Ren lurus-lurus.

“Aku tidak memberimu harapan. Aku mengajakmu mencari kebenaran, kebebasan, dan keadilan. Harapan itu menyakitkan.”

Mereka saling menatap. Mata yang terluka dan mata yang tak ingin terluka lagi.

Jika malam itu memiliki suara, maka diam merekalah yang paling lantang.

“Jika itu tidak terwujud… aku akan membunuhmu.” ucap Ren akhirnya, pelan tapi penuh tekad. Ia mendekat, menatap Licht dengan serius. “Aku ikut denganmu.”

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Licht tersenyum dengan sungguh-sungguh.

“Jangan seolah kau dekat denganku!!” Ungkap ren, memalingkan wajah namun hatinya terasa bergerak dan mulai memiliki tujuan hidup.

Di pikiran Ren teringat sebuah kata dan suara, kata terakhir yang ia dengar dari orang terdekatnya ”Kau harus tetap hidup dan cari tujuanmu” Suara yang mengingatkannya. Ren menundukan kepalanya, tersenyum tanpa terlihat.

Langkah kaki mereka menggema di jalanan berbatu Vilvath Barat yang sepi. Lampu-lampu gantung memancarkan cahaya redup kekuningan, menggambar bayangan panjang di belakang dua sosok yang kini berjalan berdampingan.

Licht menyilangkan tangan di belakang kepala, masih tersenyum setengah tak percaya.

"Ku kira kau akan menolak," ujarnya santai, namun nada suaranya menyimpan ketulusan yang jarang ia tunjukkan.

Ren mendengus pelan, tanpa menoleh.

"Kalau kau tidak mau aku ikut, aku bisa pergi sekarang juga," ucapnya, terdengar seperti menggertak—tapi lebih seperti sindiran samar yang hanya separuh bercanda.

Licht terkekeh kecil, lalu mempercepat langkah untuk sejajar dengan Ren.

"Bukan begitu maksudku. Hanya saja... aku tak menyangka orang sekeras batu sepertimu bisa berubah pikiran begitu cepat. Lagi pula, kita bahkan baru saja bertemu."

Ren tak menanggapi secara langsung. Matanya lurus ke depan, tatapan tajam namun kosong.

"Tak peduli... Tapi berapa banyak anggota organisasi ini? Dan... apa namanya?" tanyanya, kini terdengar lebih serius.

Licht mengangkat bahu.

"Anggotanya? Saat ini cuma kau. Dan namanya..." Ia menatap langit yang mulai bersih dari awan, menampakkan bulan purnama yang mengambang diam di atas sana.

"...aku belum memutuskan."

Ren menghentikan langkahnya sejenak, menatap Licht seperti menatap orang gila. Ia mengusap dahinya dengan satu tangan dan menghela napas panjang.

"Jadi kita dua orang idiot dengan mimpi besar tanpa nama dan tanpa rencana?"

"Mimpi besar adalah awal dari semua revolusi," jawab Licht santai.

Mereka kembali melangkah. Jalanan makin sunyi. Angin dingin menyusup di antara celah-celah rumah tua, membawa aroma laut dari kejauhan.

"Kalau begitu... tujuan kita selanjutnya, apa, Kapten?" tanya Ren, melirik ke samping, nada suaranya sedikit mengejek.

Licht menoleh, menyeringai.

"Mencari anggota lain. Kau pikir revolusi bisa dimulai hanya dengan dua orang?"

Ia terdiam sesaat, lalu bertanya, "Omong-omong, kau bisa menggunakan sihir?"

Ren mengangguk.

"Tentu saja." Jawabnya percaya diri.

Licht tampak sedikit terkejut, namun cepat menyembunyikannya. Ia mengalihkan pandangan ke langit.

"Bagus..." gumamnya, lalu bergumam dalam hati, “Aku sendiri bahkan belum menguasai sihir satu pun… Kalau saja si brengsek Schwarz mau mengajarinku waktu itu.”

"Jadi kau juga seorang Sinner?" tanya Licht pelan, seolah hanya ingin memastikan apa yang sudah ia duga sejak awal.

Ren menjawab tanpa ragu,

"Ya."

Tak ada keterkejutan. Tak ada penolakan. Di dunia ini, gelar “Sinner” sudah kehilangan makna—tak lebih dari cap sistem yang membusuk.

"Baiklah," Licht mengangguk, lalu menambahkan,

"Kalau begitu, mari kita cari yang lain."

"Berapa orang yang kau incar?" Ren bertanya sambil menyelipkan biolanya ke punggungnya setelah memasukannya kedalam tas biolanya.

Licht melangkah ringan, tangan di saku, suara santainya kembali.

"Enam orang. Kita butuh enam orang untuk memulai kekacauan kecil."

Ia menoleh dengan senyum tipis yang menyimpan seribu rencana.

"Cukup untuk jadi mimpi buruk bagi dunia."

Ren hanya mengangguk pelan, namun untuk pertama kalinya sejak lama, langkahnya terasa sedikit lebih ringan.

More Chapters