Ficool

Chapter 13 - chapter 13

Kabut turun dari lereng Gunung Kembang seperti tirai putih yang menutup seluruh dunia. Malam itu terasa berbeda

lebih berat, lebih pekat, seperti udara mengandung sesuatu yang tidak sepenuhnya milik manusia.

Setiap helaan napas seakan mengusung ribuan rahasia yang selama ratusan tahun tertanam dalam perut gunung.

Di tengah keheningan yang merayap, Raiman berdiri di tengah lingkaran batu tua. Jejak lumut menutupi sebagian besar pahatan purba yang tersisa, sementara akar-akar besar mencengkeram tanah di sekelilingnya bagai penjaga kuno yang tertidur dengan mata terbuka.

Tempat itu sudah berabad-abad dilarang disentuh. Bahkan prajurit istana yang memiliki kesaktian tinggi pun tidak berani melangkah melewatinya tanpa restu para tetua.

Namun malam itu… tidak ada restu, tidak ada izin, dan tidak ada larangan yang cukup kuat untuk menghentikan seorang anak yang hidupnya hanya diisi rasa hina.

Raiman datang bukan sebagai pewaris bangsawan.

Ia datang sebagai seseorang yang bahkan dunia enggan mengakui keberadaannya.

Ia datang… karena dipanggil.

 

"siro WIS siap nerimo ing titah?”

Suara itu muncul tanpa wujud, tanpa arah, seakan lahir dari kabut yang menggantung rendah di antara batu-batu tua.

Suaranya bukan hanya terdengar,

tetapi juga dirasakan, merayap di belakang telinga, menekan dada, dan membuat bulu kuduk Raiman berdiri.

Tidak ada sosok di depannya, tetapi hawa dingin menyusup dari tengkuk hingga tulang belakang, membuat hatinya bergetar seperti daun tersentuh angin.

Raiman menelan ludah, lalu menjawab dengan suara kecil yang nyaris pecah,

“ingsun siap nerimo ing titah ,ingsun namung ngarepake kadikdayan.”

Ia mengangkat wajahnya, meski matanya tak tahu harus menatap ke mana.

“Supoyo, menungso mingkem saking celo. Supoyo ingsun biso urip.”

Kabut tampak bergerak.

Bukan karena angin.

Kabut menggulung, tersibak, lalu membelah, seolah ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.

Dari celah kabut itu, muncul sebuah siluet. Bukan manusia.

Dan jelas bukan roh leluhur yang diajarkan dalam kitab-kitab istana.

Wujud itu seperti bayangan yang sulit fokus. Kadang tinggi, kadang pendek. Kadang memiliki tangan, kadang tidak. Seolah tubuhnya diciptakan dari kegelapan yang tidak mengenal bentuk.

Namun mata makhluk itu yang membuat Raiman gemetar.

Dua cahaya kecil.

Hitam pekat di tengahnya.

Berkilat seperti bara yang menunggu angin.

“Kadikdayan ora diparingke,”

bisik makhluk itu. Suaranya seperti seseorang berbicara dari dalam sumur yang sangat dalam.

“kadikdayan…kudu dibayar .”

 

Raiman menarik napas, tapi udara malam itu tidak menenangkan sama sekali.

Hatinya berdegup keras, seperti mencoba keluar dari dadanya.

Namun ketakutan itu tidak cukup kuat untuk menghentikan langkahnya maju.

“opo bayarane ?” , suara kecil raiman terdengar lebih berani daripada yang ia rasakan.

Makhluk itu tertawa.

Tawa yang tidak seperti tawa manusia..

serak, pecah, dan bergetar seperti suara yang keluar dari tenggorokan makhluk yang sudah lama mati.

Suara itu menghantam udara, membuat lingkaran batu terasa lebih sempit.

“getih Siro … ora cukup kanggo mbayar,” ucap makhluk itu pelan.

“Tapi anak turunmu…”

Raiman tertegun. Rasanya seperti ada tangan dingin yang meremas jantungnya.

“anak turunku… ?”

Makhluk itu tidak segera menjawab. Ia bergerak perlahan, atau mungkin melayang, hingga berada tepat di hadapan Raiman.

Udara di sekitar mereka menjadi lebih gelap, seolah kabut enggan mengganggu percakapan itu.

“Kadikdayan ora teko tanpo tondo,” ucap makhluk itu.

“Yadiwa sirah nampa ing ratri puniki… tan weninga, saben putra pinraos saka raktamu bakal ngasta chāyā saka ratri puniki.”

Raiman memejamkan mata sejenak.

Ia mencoba mengerti.

Tapi kenyataan hidupnya terlalu pahit untuk membuatnya mundur hanya karena ancaman yang belum bisa ia bayangkan.

Apa… kuwi artine aku bisa dadi kuwat?”

“Kowé bakal dadi luwih saka mung kuwat.”“

Hawa gelap merambat dari ujung jari makhluk itu, seperti asap yang bergerak berlawanan arah angin.

Nanging para turunmu… boten badhé naté gesang kanthi tentrem.”

Raiman menunduk.

Ia teringat ayahnya yang lebih memilih menjaga kehormatan keluarga daripada menjaga kehidupan istri dan anaknya.

Ia teringat sepupu-sepupunya,

tatapan jijik mereka, tawa mereka yang terdengar setiap kali ia jatuh.

Ia teringat ibunya yang mati sendirian, tanpa upacara, tanpa doa, tanpa siapa pun kecuali dirinya.

Harapan, cinta, dan masa depan..

semua itu sudah dicabut dari dirinya sejak lama.

Ia mengangkat wajahnya.

Mata kecil itu menatap kegelapan tanpa ragu.

"kawulo tampi ing titah.”

 

Langit di atas Gunung Kembang bergemuruh.

Petir membelah cakrawala, membuat bayangan pohon-pohon besar meliuk seperti raksasa yang tengah bangkit dari tidur panjangnya.

Suara dentumannya menggema hingga jauh ke lembah, membuat burung-burung malam terbang berhamburan.

Makhluk itu mengulurkan sesuatu ke arah Raiman ,sebuah bentuk kabut yang mengeras di ujungnya, menyerupai jemari, meski tidak persis jemari.

“Letakkan tanganmu di sini.”

Raiman menaruh tangannya.

dengan gemetar

Ketakutan.

Dingin masuk seketika.

Bukan dingin biasa.

Dingin itu merayap seperti cairan hitam yang hidup, menyusup ke bawah kulitnya, menyambar urat-uratnya, masuk ke sumsum tulang, lalu mencengkeram jantungnya.

Raiman menjerit.

Jeritan itu pecah di udara, tapi segera tenggelam oleh suara lain:

Ribuan bisikan.

Ribuan nama.

Ribuan rahasia dunia yang terkubur di bawah tanah, terkunci dalam kitab-kitab yang hilang, atau disimpan oleh arwah yang tidak pernah kembali ke bumi.

“Kanthi pratandha puniki…

sira wus ngijolaken jana-wari tilaranmu

kagem śakti ingkang tan kagungan dening manungsa liya.”

Tangan Raiman terbakar oleh cahaya hitam.

Kulitnya memucat.

Urat-uratnya menggelap.

Dan ketika ia membuka mata

sukmanya bukan seorang anak yang dihina.

Sukma itu adalah seseorang yang telah meninggalkan dirinya sendiri.

Kabut menutup gelang batu.

Makhluk itu memudar bersama kegelapan.

Namun sebelum benar-benar menghilang, ia berbisik:

Sumanggaa tindak, hé putraning lelémbut…”

-

Dan ketika matahari merayap naik dari balik punggung gunung, dunia tampak lebih tenang.

Embun menggantung di dedaunan,

burung-burung mulai berkicau, dan istana kecil di lereng barat Gunung Kembang bersiap membuka rutinitas harian.

Di tengah ketenangan pagi itu, seorang anak berjalan melewati gerbang.

Raiman dengan langkahnyayang pelan.

Tidak terburu-buru.

Tapi udara di sekelilingnya tampak patah..

seperti terusik oleh sesuatu yang tidak terlihat. Para penjaga istana yang biasanya tak memedulikan kehadirannya kini menoleh.

Bukan karena mengenal, tetapi karena merasakan sesuatu merayap di kulit mereka.

Bulu kuduk mereka berdiri tanpa tahu alasan.

Mata mereka mengikuti Raiman.

Namun setiap kali mereka mencoba menatap lebih dekat, ada rasa nyeri yang samar..

seolah melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat manusia.

Anak itu tidak lagi berjalan seperti bayangan.

Tidak lagi terlihat seperti beban keluarga.

Tidak lagi tampak kecil atau rapuh.

Ia berjalan seperti badai yang menyamar jadi manusia.

Tenang di permukaan..

namun penuh petir di dalamnya.

Dan tanpa ada yang menyadari…

malam itu telah menyalakan kutukan

yang kelak akan menghancurkan seluruh keturunannya.

Kutukan yang mulai berdetak

sejak Raiman melangkah masuk kembali ke istana.

Sejak kabut menutup perjanjian yang tak boleh disebut.

Sejak seorang anak kecil mengorbankan masa depan yang bukan hanya miliknya…

melainkan milik semua yang akan lahir dari darahnya..

More Chapters